Kamis, 13 Agustus 2015

Misteri yang Tidak Saya Pahami (2)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Saya kaget mendengar cerita itu. Saya tanya pada Teguh, jam berapa tadi dia datang? Teguh bilang sekitar jam delapan. Saya menjelaskan, waktu itu saya sudah keluar dari rumah, dan saat ini baru saja pulang. Pacar saya menjadi saksi, bahwa kami tadi keluar makan sekitar jam 19:30, dan tentu saja selama itu saya tidak ada di rumah. Saya dan pacar bahkan sampai bersumpah kalau kami benar-benar baru pulang (waktu itu sekitar pukul 21:00). Tetapi, Teguh juga sampai bersumpah kalau tadi dia benar-benar melihat saya di dalam rumah!

“Mungkin yang kamu lihat bukan aku, Guh,” ujar saya waktu itu dengan heran.

“Yang tadi kulihat itu kamu,” sahut Teguh yakin. “Bahkan kaus yang dipakai pun sama, seperti yang kamu pakai sekarang!” (Waktu itu saya pakai kaus hitam). Lalu dia melanjutkan, “Aku kenal kamu sejak lama, jadi tentu aku bisa membedakan itu kamu atau bukan. Yang tadi aku lihat benar-benar kamu! Tapi kamu cuma berdiri di sono, dan menatap aku, nggak bergerak, nggak ngomong apa-apa, sampai aku jadi bingung!”

Lalu Alkaf menimpali, “Kalau pun yang tadi dilihat Teguh bukan kamu, lalu siapa? Wong kamu tadi sedang keluar rumah, dan baru saja pulang?”

Teguh memang menyatakan, bahwa dia melihat ruang belakang agak gelap, yang artinya lampu di sana mati, dan tanda itu memberitahu Teguh bahwa saya sedang keluar. Tetapi karena dia melihat sosok saya di dalam rumah, Teguh pun menyimpulkan saya di rumah, terlepas lampu ruang belakang mati atau tidak.

(Sekadar catatan, rumah yang saya tempati itu dulunya milik juragan batik, sehingga interior rumah didesain mirip showroom. Dari ruang depan sampai ruang belakang berbentuk lurus panjang sekaligus lebar, bersih dan terang benderang, sehingga tidak memunculkan kesan wingit atau menakutkan sedikit pun, bahkan ketika lampu ruang belakang dimatikan.)

Malam itu, kami tidak memperoleh kesepakatan apa pun. Saya bersikukuh baru saja pulang ke rumah, yang dikuatkan oleh kesaksian pacar, sementara Teguh juga bersikukuh melihat saya di rumah saat tadi dia datang. Saya menyimpulkan, mungkin Teguh salah lihat, meski dia sangat yakin pada yang dilihatnya. Kenyataannya, tidak ada orang lain di rumah selain saya. Jika saya sedang keluar, artinya tidak ada siapa pun di dalam rumah.

Apakah cerita ini sudah selesai?

Mungkin kisah misterius itu akan terlupa dan hilang sendiri, kalau saja ceritanya berhenti sampai di situ. Tapi ternyata tidak!

Sekitar empat bulan setelah peristiwa itu, saya janjian dengan Topik. Jika Teguh adalah teman kuliah, Topik adalah teman bermain. (Topik kuliah di kampus lain; tidak sekampus dengan kami). Topik dan Teguh juga tidak saling kenal. Tetapi, anehnya, mereka mengalami hal serupa!

Sebelumnya, Topik telah sering datang ke rumah saya, bahkan beberapa kali menginap. Di rumah saya ada perpustakaan, dan Topik senang membaca-baca buku koleksi saya, bahkan kadang sampai tertidur di sana. Selama waktu-waktu itu tidak ada kejadian apa pun. Sampai suatu hari....

Hari itu, saya dan Topik tanpa sengaja ketemu. Saya sedang beli siomay yang berhenti di depan rumah, dan melihat Topik lewat bersama kakaknya. Topik pun berhenti sesaat, lalu bilang ingin dolan nanti malam. Rencananya, dia sekalian mau pinjam komputer saya untuk mengetik tugas makalah. “Udah lama nggak ngobrol asyik sama kamu,” ujarnya waktu itu.

Kebetulan, nanti malam saya akan keluar, dan bisa jadi akan cukup lama. Namun, karena tidak ingin mengecewakan Topik, saya pun memberikan kunci pintu rumah saya, dan bilang kepadanya, “Gini aja, Pik. Sambil nanti malam kamu nunggu aku pulang, kamu bisa mengetik makalahmu di komputerku. Jadi, kalau pas kamu datang dan aku belum pulang, kamu bisa masuk rumah dengan kunci itu.”

Topik menerima kunci yang saya berikan. Saya tidak membutuhkan kunci tersebut, karena biasa keluar masuk rumah lewat garasi. Saya juga berani mempercayakan kunci rumah pada Topik, karena saya memang percaya kepadanya.

Malam harinya, selepas maghrib, saya keluar rumah—lewat garasi. Seperti biasa, saya pun mematikan lampu belakang, agar siapa pun yang datang bisa tahu kalau saya sedang keluar. Sekitar jam sembilan malam, Topik datang ke rumah. Rencananya, dia akan mengetuk pintu. Kalau tidak ada sahutan dari dalam, artinya saya belum pulang, dan Topik akan menggunakan kunci yang saya berikan untuk masuk rumah. Tetapi...

Tetapi... inilah misteri yang sampai saat ini tetap tidak saya pahami.

Ketika Topik sampai di rumah saya, dia memang mengetuk pintu depan. Tetapi, di luar dugaan, seseorang membukakan pintu! Dan, berdasarkan pengakuan Topik, orang yang membukakan pintu adalah saya!

Jadi, saat mendapati pintu rumah dibukakan dari dalam, Topik pun mengira saya sudah pulang. Kenyataannya dia berani bersumpah bahwa orang yang membukakan pintu untuknya memang saya. Tanpa curiga atau berpikir macam-macam, Topik menyerahkan kunci rumah yang tadi siang saya berikan kepadanya. Menurut Topik, sosok yang ditemuinya waktu itu menerima kunci tersebut, dan mengangguk. Setelah itu, mereka duduk di ruang tamu. Topik berhadap-hadapan dengan seseorang yang ia yakin diri saya... padahal waktu itu saya sedang keluar dan tidak ada di rumah!

Ketika duduk di ruang tamu, Topik melihat lampu belakang yang padam, dan dia sempat menanyakan hal itu pada sosok yang duduk bersamanya di ruang tamu. Tetapi, menurut Topik, sosok itu hanya mengangguk, dan menjawab, “Ya, padam.”

Bahkan suara yang didengar Topik juga suara saya. Waktu itu, Topik benar-benar yakin sedang duduk berhadapan dengan saya. Tetapi, menurut Topik, yang membuatnya merasa agak aneh, saya tampak pucat, dan tidak secerah biasanya. “Tapi waktu itu aku mengira kamu sedang punya beban pikiran,” ujar Topik belakangan. Selama mereka duduk berdua di ruang tamu, percakapan juga terasa kaku atau tidak secair biasanya, menurut Topik.

Yang jelas, sekitar seperempat jam setelah Topik datang, saya pulang ke rumah. Saat sampai rumah, seperti biasa, saya masuk lewat garasi. Ketika membuka pintu garasi, saya melihat pintu depan rumah dalam keadaan terbuka, dan saya menyimpulkan, “Berarti Topik udah datang.”

Dari garasi, saya masuk rumah lewat pintu tengah, lalu menemui Topik di ruang tamu. Saya pun tersenyum melihatnya duduk sendirian di ruang tamu, dan langsung menyapa, “Udah lama nunggu?”

Tapi Topik hanya menatap saya seperti melihat hantu.

Saya pun duduk di sofa, dan dengan santai menyalakan rokok, seperti biasa, seperti hari-hari lain. Topik terus diam dan memperhatikan saya dengan tatapan bingung. Pandangannya mengarah pada saya, lalu menatap ke ruang belakang, begitu terus menerus. Saya mulai curiga ada yang tidak beres. Lalu bertanya pada Topik, “Kenapa, Pik?”

“Ini benar kamu? Kamu baru pulang? Ini benar kamu?” dia mengulang-ulang pertanyaan itu seperti orang linglung.

Saya memastikan, “Ya, ini aku. Aku baru pulang.”

Sekarang Topik menampakkan ekspresi ngeri, dan berbisik, “Jadi yang tadi itu siapa?”

Kalau saja tidak menyaksikan ekspresi Topik yang tampak nyata, saya pasti akan berpikir kalau Topik sedang bercanda atau ingin mengerjai saya. Tapi ekspresinya benar-benar jujur, dan saya tahu dia sedang shock. Saya bahkan sempat ikut terpengaruh dengan kengerian yang ditunjukkannya.

Lalu saya tanya apa yang telah terjadi, dan Topik menceritakan sambil ketakutan. Bahwa tadi, saat dia datang, seseorang membukakan pintu, dan dia yakin orang itu saya, karena wujudnya benar-benar serupa saya, bahkan pakaian yang dikenakan juga sama (waktu itu saya memakai celana jins dan kemeja kasual biru muda). Topik yakin itu benar-benar saya, dan mengira saya telah pulang. Lalu mereka sempat duduk dan bercakap.

Saya langsung tanya, “Lalu ke mana orang itu?”

Topik menjelaskan, sekitar semenit sebelum saya pulang, orang yang dilihatnya tadi bilang akan ke belakang. Lalu dia pun pergi ke belakang—Topik sempat mengira orang itu akan ke kamar mandi atau ke dapur untuk membuat minum. Topik tetap duduk di ruang tamu. Semenit kemudian, saya—yang benar-benar saya—datang ke rumah dan masuk lewat garasi. Lalu menemui Topik di ruang tamu. Dan Topik pun shock.

Karena Topik mengatakan orang tadi ke belakang, saya pun mengajak Topik untuk mengecek ke belakang rumah. Sambil ketakutan, Topik menemani saya mengecek. Saya menyalakan semua lampu hingga rumah terang benderang, dan mengecek ruang demi ruang—kamar mandi, dapur, gudang, perpustakaan, taman, kolam ikan, halaman belakang—bahkan kami sempat menyisir kamar tidur serta garasi. Tapi orang yang katanya tadi dilihat Topik tidak ada sama sekali. Kesimpulannya, rumah benar-benar kosong, tidak ada siapa pun, selain saya dan Topik!

Hanya ada dua kemungkinan—Topik berbohong, atau Topik tidak berbohong.

Tetapi, berdasarkan ekspresi yang ditunjukkannya, saya percaya Topik tidak berbohong. Dia benar-benar menceritakan yang memang dialaminya. Lebih dari itu, saya jadi teringat pada cerita Teguh beberapa waktu sebelumnya. Tak jauh beda dengan Topik, Teguh juga mengalami hal serupa—menyaksikan sosok yang ia yakin diri saya, padahal bukan saya. Malam itu pun, Topik tak mau berlama-lama di rumah saya. Dia ingin segera pulang.

Sepulang dari rumah saya malam itu, Topik mengalami demam hingga seminggu.

Cerita itu pun—mengalir dari mulut ke mulut—diketahui banyak orang, dan mereka seketika gempar. Itu jenis cerita yang tidak bisa ditahan apalagi dibungkam. Tetangga-tetangga membicarakan di mana-mana, teman-teman mengobrolkan sampai berhari-hari, hingga orangtua saya ikut mendengar kisah tersebut. Bahkan, sejak itu, orang-orang yang saya kenal seperti mulai punya kebiasaan baru. Setiap kali mereka bertemu atau berpapasan dengan saya, mereka akan bilang, “Ini benar-benar kamu?”

Kalau saja cerita aneh itu hanya dialami Teguh atau hanya dialami Topik, mungkin banyak dari kami yang tidak akan percaya. Atau, setidaknya, kami tidak akan terlalu terpengaruh. Bisa saja Teguh salah lihat, atau bisa saja Topik berbohong dan mengarang-ngarang cerita. Tetapi cerita yang tak masuk akal itu dialami dua orang—kisah Teguh seolah dikonfirmasi oleh kisah Topik. Mau tidak mau, orang akan percaya, bahkan saya sendiri pun akhirnya juga percaya.

Sejujurnya, ketika dulu Teguh menceritakan kisahnya—bahwa dia melihat diri saya di dalam rumah, padahal saya sedang keluar—saya tidak terlalu percaya. Selama waktu-waktu itu, saya berpikir bahwa Teguh mungkin salah lihat. Dia mungkin melihat sesuatu yang ia sangka dilihatnya, padahal sebenarnya tidak ada. Itu kejadian umum yang bisa dialami siapa pun. Dalam psikologi, hal semacam itu disebut scotoma.

Tetapi, ketika kisah serupa dialami Topik, keyakinan saya mulai goyah. Teguh dan Topik tidak saling kenal. Topik juga tidak pernah mendengar kisah Teguh. Jadi, ketika Topik menceritakan kisah aneh itu, dengan segenap ekspresi ketakutan—bahkan dia sampai mengalami demam akibat shock—saya pun mau tak mau seperti dipaksa untuk percaya.

Tapi percaya apa...?

Itulah pertanyaan krusialnya. Percaya bahwa ada sosok lain yang serupa dengan diri saya, yang dilihat Teguh dan Topik di rumah, padahal saya sedang keluar? Percaya bahwa ada makhluk entah apa yang bisa menyerupakan dirinya hingga benar-benar mirip saya, yang lalu dilihat Teguh dan Topik pada waktu berbeda? Jika sosok misterius itu benar-benar ada, saya tidak pernah melihat apalagi menemuinya—dan saya tetap bingung untuk percaya atau tidak percaya.

Kini, saat menulis catatan ini, saya tetap tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi bertahun-tahun lalu itu. Saya yakin, Teguh, Alkaf, Topik, maupun teman-teman lain, masih mengingat kisah itu, sebagaimana saya masih mengingatnya. Semua orang sepakat bahwa kisah itu benar-benar terjadi, dan pelan-pelan saya pun menerima bahwa kisah itu mungkin memang benar-benar terjadi. Tetapi, meski begitu, saya tetap tidak mampu memahami apa yang sebenarnya telah terjadi.

....
....

Mungkin memang tidak semua hal dalam hidup harus dapat dipahami. Beberapa hal mungkin harus tetap menjadi misteri. 

 
;