Sebenarnya, saya tidak terlalu tertarik—bahkan tidak terlalu percaya—pada hal-hal gaib semacam hantu, kuntilanak, makhluk halus, dan semacamnya. Bahkan meski pernah menyaksikan hantu secara langsung (seperti yang pernah diceritakan di sini), saya tetap belum terlalu yakin. Bisa jadi, penglihatan saya waktu itu sedang mengalami masalah, sehingga mata saya melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada.
Tetapi, tampaknya, ketidakpercayaan (atau kekurangpercayaan) itu harus berbenturan dengan realitas yang seolah memaksa saya untuk percaya.
Ada banyak orang dan banyak cerita faktual yang mengisahkan keberadaan hantu dengan berbagai varian. Ada yang menceritakan pernah melihat kuntilanak, ada yang pernah dikejar sundel bolong, ada yang pernah menyaksikan penampakan, dan lain-lain. Tidak hanya orang asing yang tak saya kenal, bahkan teman-teman yang saya kenal pun pernah menceritakan hal semacam itu, dan saya tahu mereka orang-orang jujur.
Ada teman yang pernah berfoto bersama sekelompok orang, dan hasil foto menampakkan sesosok wanita berbalut kain putih dengan wajah mengerikan di antara mereka. Foto itu dibuat lewat ponsel, dan saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa makhluk-mengerikan-entah-apa-itu memang ada dalam foto tersebut. Ketika menyaksikan “penampakan” itu, mau tak mau saya seperti dipaksa untuk percaya.
Selain aneka kisah dan foto misterius tersebut, cerita misterius serupa juga pernah saya dengar, kali ini bahkan lewat tuturan para tetangga.
Di depan rumah orangtua saya ada mushala. Di mushala itu ada sebuah amben (balai-balai) yang terbuat dari kayu jati. Amben itu sumbangan seorang warga, dan biasa digunakan jika ada orang meninggal. Jadi, kalau ada warga meninggal dunia, dan kebetulan di rumahnya tidak ada amben untuk membaringkan si mati, para tetangga akan mengambil amben di mushala untuk keperluan tersebut.
Karena amben kuno dan terbuat dari kayu jati, amben itu pun sangat berat. Setidaknya dibutuhkan empat pria dewasa untuk dapat menggotong amben tersebut. Jika tidak digunakan, amben itu biasa diletakkan di belakang mushala yang menyatu dengan tempat wudhu. Nah, amben itu memunculkan kisah yang sangat aneh, yang bahkan telah disaksikan atau didengar suaranya langsung oleh orang-orang di sekitar mushala.
Agar kalian bisa membayangkan yang akan saya ceritakan, biar saya jelaskan dulu peta bangunan mushala tersebut. Mushala itu menghadap ke utara, dan di samping kiri mushala terdapat lorong cukup panjang selebar 1,5 meter. Lorong itu menuju belakang mushala, dan di bagian belakang terdapat tempat wudhu. Tempat wudhu dan tempat shalat dibatasi dinding, dan pada dinding itulah amben tadi disandarkan dalam posisi miring.
Kemudian, jika mushala tidak digunakan (khususnya setelah shalat isya’ sampai waktu shalat subuh), pintu-pintu mushala akan dikunci, sementara depan lorong mushala akan ditutup dan digembok. Dengan kata lain, setelah shalat isya’, tidak ada orang bisa masuk area mushala (kecuali pada bulan Ramadan, yang biasanya ada shalat tarawih dan pembacaan Al-Qur’an sampai larut malam).
Pertama kali saya mendengar keanehan amben itu dari adik saya. Waktu itu, adik saya baru pulang dari rumah teman, dan hari telah larut malam. Saat dia akan masuk rumah, terdengar suara keras dari samping mushala. Suaranya seperti sesuatu yang sedang diseret dengan kasar. Adik saya langsung paham, itu suara amben yang sedang ditarik atau diseret di lorong samping mushala. Yang tidak dia paham, siapa yang malam-malam menyeret amben?
Waktu itu mushala sudah gelap, karena telah larut malam. Dengan merinding, adik saya buru-buru masuk rumah. Tetapi, sampai dia akan tidur di kamarnya, suara-suara keras seperti amben diseret itu masih terdengar. Besok paginya, dia bertanya-tanya pada tetangga di kanan-kiri mushala, dan mereka semua juga mendengar suara yang sama. Bahkan, menurut para tetangga, itu bukan pertama kali. Sebelum malam itu, suara-suara serupa sudah sering terdengar.
Pernah ada yang nekat melihat untuk memastikan suara apa itu sebenarnya, dan ternyata memang amben di belakang mushala itu sedang diseret di lorong samping mushala. Yang misterius, sosok si penyeret tidak terlihat. Jadi yang tampak hanya amben itu bergerak-gerak terseret di lorong samping mushala. Yang lebih misterius, besoknya amben itu telah berada di tempatnya semula—di tempat wudhu—seolah tidak pernah bergerak sama sekali.
Kisah itu telah diceritakan banyak orang, jadi bisa dipastikan bukan karangan adik saya atau cerita rekaan satu dua orang. Bahkan, untuk meyakinkan diri, saya telah menanyakan hal itu pada para tetangga, dan mereka menyatakan hal yang sama. Bahwa, di waktu-waktu tertentu, amben di mushala itu bergerak sendiri dengan misterius, dan menimbulkan suara-suara yang dapat didengar siapa pun. Sebegitu sering, hingga orang-orang di sekitar mushala pun lama-lama jadi terbiasa—tidak terlalu ketakutan seperti sebelumnya.
Apakah cerita ini sudah menakutkan? Well, tunggu sampai kalian mendengar cerita selanjutnya....
Pada waktu awal kuliah, saya mengontrak sebuah rumah, seperti yang saya ceritakan di sini. Rumah yang saya tempati waktu itu memiliki fentilasi (lubang angin) di bagian depan yang cukup lebar. Di depan rumah, di bawah jendela, juga terdapat sedikit tembok yang bisa dipanjat, karena ada bidang yang dapat dijadikan tumpuan kaki. Jadi, kalau teman-teman saya datang, dan mereka sudah mengetuk pintu tapi saya tidak muncul, mereka biasanya akan memanjat tembok tadi untuk melihat lewat lubang angin, untuk memastikan apakah saya di rumah atau tidak.
Biasanya, kalau saya sedang keluar malam hari, lampu ruang belakang akan saya matikan. Sementara, kalau siang hari, gorden samping rumah—yang bersebelahan dengan taman—akan saya tutup, sehingga ruang tengah akan sedikit gelap. Tanda itu menjadi acuan teman-teman saya untuk memastikan apakah saya di rumah atau tidak. Jika mereka datang siang hari, dan mendapati ruang tengah agak gelap, artinya saya sedang keluar. Begitu pula kalau mereka datang malam hari, dan mendapati lampu ruang belakang mati, artinya saya juga sedang keluar.
Sebaliknya, jika mereka datang, namun tanda-tanda itu tidak ada, tapi saya tidak juga muncul membukakan pintu, mereka pun akan memahami, mungkin saya sedang di kamar mandi, dan biasanya mereka akan menunggu sesaat. Atau bisa pula saya sedang tidur (ketiduran), dan mereka akan mengetuk atau menelepon ke ponsel saya. Intinya, teman-teman yang biasa datang ke rumah telah memahami hal-hal tersebut.
Nah, suatu malam, ada seorang teman bernama Teguh datang ke rumah. Kebetulan, waktu itu, saya sedang keluar untuk makan malam bersama pacar. Teguh mengetuk pintu, tapi saya tidak juga muncul. Seperti kebiasaan yang biasa dilakukan, Teguh pun memanjat tembok depan rumah untuk melihat lewat lubang fentilasi. Berdasarkan pengakuannya, Teguh menyatakan bahwa waktu itu ruang belakang tampak gelap, yang artinya saya sedang keluar. Tetapi...
Tetapi... inilah yang sangat mengerikan.
Meski Teguh melihat ruang belakang tampak gelap, tapi dia mengaku melihat diri saya di dalam rumah. Menurut ceritanya kemudian, dia melihat saya berdiri di ruang tengah, menatap Teguh yang sedang mengintip lewat fentilasi. Teguh yakin yang ia lihat itu saya, karena sosoknya benar-benar diri saya. Yang tidak dipahami Teguh, waktu itu saya hanya berdiri, tak bergerak, dan hanya menatapnya.
Teguh menunggu sesaat, menanti saya membukakan pintu rumah. Tapi saya tidak juga muncul. Perasaan Teguh tidak enak, tapi waktu itu dia belum curiga apa-apa, selain menyimpulkan, “Apa mungkin Hoeda lagi jengkel sama aku?”
Karena menunggu saya tidak juga membukakan pintu rumah, dan Teguh jadi tidak enak, dia pun lalu pergi ke rumah Alkaf, sohib saya yang lain (waktu itu rumah Alkaf tergolong cukup dekat dari rumah saya). Kepada Alkaf, Teguh menceritakan bahwa dia baru datang ke rumah saya, tapi saya hanya menatapnya dari dalam rumah, dan tidak membukakan pintu. Mendengar penuturan itu, Alkaf pun berinistiatif untuk mengklarifikasi. Jadi, dia lalu bersama Teguh datang ke rumah saya.
Kebetulan, beberapa saat sebelum Alkaf dan Teguh datang, saya sudah pulang ke rumah bersama pacar. Kami masuk rumah lewat garasi. Dari garasi, pacar saya menuju ruang depan, sementara saya ke belakang untuk menyalakan lampu sekalian mengambil minum. Sesaat kemudian, saya bercakap-cakap dengan pacar di ruang tamu. Baru beberapa menit bercakap, Alkaf dan Teguh datang.
Saya menerima mereka tanpa berpikir macam-macam, dan menyambut mereka seperti biasa. Lalu Alkaf menceritakan, bahwa tadi Teguh datang ke rumah, dan melihat saya di dalam rumah, tapi tidak membukakan pintu meski telah lama ditunggu. “Kamu lagi jengkel sama Teguh?” tanyanya waktu itu.
Lanjut ke sini: Misteri yang Tidak Saya Pahami (2)