Pada akhirnya, hidup dan hiruk-pikuk dunia akan membawa
kita pada ujung sunyi untuk menertawakannya.
—@noffret
kita pada ujung sunyi untuk menertawakannya.
—@noffret
Bertelepon atau bermain ponsel sambil mengemudi mungkin sudah populer, tapi bagaimana dengan memotong kuku sambil mengemudi? Jika menggunakan ponsel sambil mengemudi sudah dianggap berbahaya, memotong kuku sambil mengemudi tentu jauh lebih berbahaya. Tetapi hal itulah yang dilakukan seorang sopir bus di Singapura.
Pada 26 Juli 2014, SG Share mengunggah sebuah video ke akun Facebook mereka, yang memperlihatkan seorang sopir bus mengemudi sambil memotong kuku. Dalam video itu tampak si sopir menyandarkan tangan kirinya ke kemudi, sementara tangan kanannya memegang gunting kuku. Dia juga beberapa kali mengangkat tangan kirinya dari kemudi, untuk melihat kuku tangannya setelah dipotong.
Pengelola SG Share menyatakan, video itu diambil sehari sebelum diunggah, dan adegan sopir memotong kuku sambil mengemudi itu direkam di sebuah bus yang keluar dari Bandara Changi ke kawasan pinggiran utara Singapura.
Atas munculnya video tersebut, SMRT—operator bus di Singapura—segera mengambil langkah tegas. Mereka sepakat dengan orang-orang lain yang menyaksikan video tersebut, bahwa yang dilakukan pengemudi bus sangat membahayakan penumpang. Juru bicara SMRT menyatakan, “Kami sudah menyelidiki insiden itu, dan sudah mengambil langkah yang diperlukan terhadap pengemudi bus. Dia sudah dipecat.”
Kepada reporter AFP, juru bicara SMRT juga menambahkan, “Kami ingin menekankan bahwa keamanan penumpang adalah prioritas kami, dan para pengemudi sudah diingatkan serta didorong untuk menerapkan cara mengemudi yang aman di jalan raya.”
Meski begitu, manajemen SMRT menolak untuk menyebutkan identitas si pengemudi. Karenanya, saat menulis catatan ini, saya tidak tahu siapa sopir bus yang kini telah dipecat karena memotong kuku sambil mengemudi. Saya juga tidak tahu bagaimana nasibnya sekarang setelah dipecat dari pekerjaannya. Di atas semua itu, saya tidak tahu mengapa dia sampai memotong kuku ketika sedang mengemudi bus.
Mungkin bukan cuma saya. Orang-orang lain di dunia yang kebetulan menyaksikan video di atas juga tidak tahu mengapa seorang sopir bus sampai memotong kuku sambil mengemudi bus. Bahkan, mungkin, pihak manajemen SMRT yang memecat si sopir juga tidak sempat menanyakan pertanyaan penting itu. Mereka hanya tahu bahwa sopirnya telah mengemudi dengan cara berbahaya—memotong kuku sambil menyetir bus—sehingga membahayakan penumpang, dan mereka kemudian memecatnya.
Tapi apakah mereka bertanya, “Mengapa?”
Saya benar-benar gelisah memikirkan hal itu. Seorang sopir bus yang memotong kuku sambil mengemudi tentu berbahaya, bagi diri sendiri, bagi penumpang bus, juga bagi orang lain di jalan raya. Sopir bus mana pun tentu menyadari kenyataan itu. Tetapi, mengapa dia sampai memotong kuku sambil mengemudi?
Akar kegelisahan saya terhadap hal ini, karena insiden di Singapura itu mengingatkan saya pada sebuah kisah di masa kanak-kanak. Dulu, saya memiliki tetangga yang biasa berjualan wedang ronde di terminal bus. Dia seorang lelaki yang telah berkeluarga, usianya sedikit lebih muda dari ayah saya, dan terkenal sebagai sosok yang jujur bahkan lugu.
Setiap malam, sekitar pukul 21:00, tetangga saya akan mendorong gerobak wedang ronde ke terminal, lalu berjualan di sana sampai subuh. Seusai subuh, dia akan kembali mendorong gerobaknya untuk pulang, lalu tidur. Siang hari, seusai istirahat, dia pergi ke pasar untuk membeli bahan-bahan wedang ronde, lalu mulai membuat dan menyiapkan wedang ronde yang nanti malam akan kembali dijajakan.
Dia rutin melakukan hal itu setiap hari. Jadi, inilah jadwal atau rutinitas hariannya: Siang hari, seusai istirahat, dia pergi ke pasar untuk membeli bahan-bahan. Lalu mulai menyiapkan bahan-bahan itu untuk membuat wedang ronde. Sambil menunggu malam, dia mengurusi dan mengerjakan hal-hal sehubungan rumah tangga, dari membantu istri di rumah sampai bermain dengan anak-anak.
Malam hari, pukul 21:00, dia telah menyiapkan wedang ronde di gerobaknya, lalu melangkah perlahan-lahan menuju terminal bus, dan berada di sana sampai subuh. Seusai subuh, dia pulang bersama gerobaknya, dengan badan letih dan mata mengantuk setelah semalaman berjualan. Sesampai rumah, dia pun tidur, beristirahat, agar tenaganya kembali pulih, agar bisa kembali bekerja.
Sekali lagi, dia telah melakukan rutinitas itu setiap hari, selama bertahun-tahun. Sebelum saya lahir, dia telah berjualan wedang ronde. Saat saya tumbuh menjadi anak-anak, dia masih berjualan wedang ronde. Saat saya mulai dewasa, dia tetap berjualan wedang ronde. Jualan yang sama, di tempat yang sama, rutinitas yang sama.
Nah, ada satu cerita menyangkut penjual wedang ronde itu, yang sampai hari ini tidak bisa saya lupakan.
Saya masih SD waktu itu, dan sedang bermain-main dengan ayah saya di depan rumah, suatu sore saat ayah pulang kerja. Ayah sedang mengajari saya membuat origami, dan kami membuat burung dengan selembar kertas. Kebetulan, tetangga kami yang jualan wedang ronde juga sedang bermain-main bersama anaknya. Melihat kami di depan rumah, dia mendekati. Lalu ayah pun mengobrol dengannya, sementara anaknya bermain dengan saya. (Rumah kami cukup dekat; hanya sepelemparan batu).
Selama mengobrol dengan ayah, si penjual wedang ronde tampak terkantuk-kantuk. Ayah menanyakan hal itu, lalu si penjual wedang ronde curhat. Dengan lugu, dia menceritakan sering kurang tidur, bahkan tidak tidur sama sekali, karena rutinitas dan kesibukan yang harus dijalaninya setiap hari. Dia punya lima anak, masih kecil-kecil. (Anaknya yang tertua, perempuan, kebetulan satu kelas dengan saya).
Seperti yang saya jelaskan tadi, si penjual wedang ronde biasa tidur seusai berjualan sehabis subuh. Tetapi, dia kadang tidak bisa tidur, karena berbagai sebab. Kadang anak-anaknya rewel, atau anak-anaknya minta ditemani bermain tanpa tahu si ayah harus istirahat. Kadang pula ada berbagai kesibukan rumah tangga yang harus segera dilakukan, sehingga dia pun terpaksa kurang tidur atau bahkan tidak sempat tidur sama sekali. Dan hal-hal semacam itu nyaris terjadi setiap hari.
“Saya sering ketiduran saat sedang jualan,” ujarnya menceritakan pada ayah. “Di terminal, saat tidak ada pembeli, saya kadang tertidur sambil duduk, dan biasanya terbangun saat ada pembeli yang membangunkan.”
Tetapi tidur saat sedang jualan bukan bagian klimaks. Karena seringnya kurang tidur, atau bahkan tidak sempat tidur sama sekali, dia juga pernah mendorong gerobaknya dari rumah ke terminal... sambil tidur!
Itulah kisah yang sampai saat ini tidak bisa saya lupakan, meski kisah itu telah saya dengar ketika masih anak-anak, bertahun-tahun lalu. Jadi, penjual wedang ronde itu menceritakan, bahwa suatu hari dia merasa kelelahan dan sangat mengantuk akibat kesibukan di rumah yang membuatnya tidak bisa tidur. Dari pulang jualan di pagi hari sampai saat akan berangkat jualan lagi di malam hari, dia belum sempat tidur sama sekali. Sementara badan juga sangat letih.
Tetapi dia harus tetap jualan, karena keluarganya butuh makan. Jadi, pada pukul 21:00 seperti biasa, dia kembali mendorong gerobaknya menuju terminal. Namun, karena matanya sudah sangat mengantuk, tanpa sadar dia tertidur sambil terus mendorong gerobak ke terminal. (Jarak dari rumah kami ke terminal sekitar 1 KM, dan waktu itu jalan raya belum seramai sekarang).
Ketika keluar dari gang, dia menuturkan, dia masih kuat menahan mata agar terus terbuka. Tapi saat sampai di jalan raya, dia benar-benar tidak kuat lagi menahan kantuk. Jadi, dia benar-benar tertidur sambil terus melangkah perlahan-lahan menuju terminal. Dia baru menyadari dirinya tertidur saat sampai di terminal, ketika telinganya mendengar suara-suara keras dan akrab yang biasa didengarnya di terminal. Lalu dia terjaga dari tidur, dan mendapati dirinya telah berada di terminal, tempatnya biasa berjualan.
Kisah tentang tidur sambil berjalan hingga ke terminal tanpa nyasar sebenarnya tidak luar biasa, karena kebiasaan yang dilakukan setiap hari menjadikan alam bawah sadar setiap orang dapat melakukan sesuatu secara otomatis. Karena tetangga saya setiap hari berjalan dari rumah ke terminal, dan telah melakukannya puluhan tahun, alam bawah sadarnya pun hafal rutinitas itu, dan “menuntunnya” sampai ke terminal.
Yang luar biasa bagi saya adalah, kenyataan bahwa seorang lelaki sampai kehabisan waktu untuk dirinya sendiri, hingga sampai tertidur ketika sedang berjalan mendorong gerobak ke tempat kerjanya! Itulah kenyataan “mengerikan” yang sampai sekarang tidak pernah bisa saya lupakan! Seorang manusia, seorang lelaki, kehabisan waktu sampai tidak bisa tidur, hingga terpaksa tidur sambil berjalan mendorong gerobak!
Jadi, ketika saya menyaksikan video seorang sopir bus di Singapura sampai memotong kukunya sambil mengemudi, saya bertanya-tanya, “Mengapa?”
Fakta bahwa dia dapat menjadi sopir bus di Singapura tentu karena dinilai waras dan memiliki kemampuan yang layak. Tapi mengapa seorang lelaki waras sampai memotong kukunya ketika sedang bekerja mengemudikan bus? Saya khawatir, jangan-jangan dia terpaksa memotong kukunya sambil bekerja, karena benar-benar tidak punya waktu saat di rumah.
Mungkin dia sopir yang baik, pengemudi yang bertanggung jawab pada para penumpangnya. Tetapi, bisa jadi dia punya banyak kesibukan di rumah—dari mengurusi anak-anak sampai membantu istri—sehingga benar-benar tidak punya waktu, meski sekadar untuk memotong kuku. Jadi, dia pun terpaksa memotong kuku saat busnya masuk jalan tol, agar kuku tangannya tetap rapi. Sialnya, waktu itu, seseorang menangkap hal tersebut dan merekamnya dalam video, yang kemudian berakhir dengan pemecatan.
Seperti tetangga saya yang jualan wedang ronde. Dia pasti menyadari bahwa tidur saat berjalan mendorong gerobak tentu sangat berbahaya. Bisa saja ada pengendara di jalan yang tanpa sengaja menabraknya, atau bisa saja dia sendiri yang tanpa sadar menabrak orang lain. Tapi dia terpaksa tidur—atau ketiduran—ketika sedang berjalan mendorong gerobak, karena memang tidak punya waktu lagi untuk tidur di rumah!
Kini, saat telah dewasa, dan teman-teman saya telah banyak yang menikah, kadang saya merasa kesepian dan kehilangan. Dulu, saat kami masih sama-sama lajang, kami sering berkumpul bersama, kapan pun dan di mana pun, mengerjakan banyak hal, bercerita tentang apa saja, dan menikmati canda tawa menyenangkan. Lalu satu per satu dari mereka menikah, berkeluarga, punya anak-anak, dan teman-teman saya pun menghilang perlahan-lahan.
Sering saya merindukan saat-saat dulu, ketika kami masih bisa bersama kapan saja dan di mana saja. Tapi kerinduan saya sepertinya tak pernah berujung. Karena teman-teman saya sudah sibuk dengan kehidupan yang sekarang—mengurusi keluarga, menemani istri dan anak-anak, dan hal-hal lain yang tidak saya tahu. Kadang saya datang ke rumah mereka, karena didorong rasa rindu. Namun saya tidak berani lama-lama, karena khawatir kedatangan saya telah mengganggu.
Setiap kali bertemu dan bercengkerama dengan teman-teman yang telah menikah dan berkeluarga, saya seperti diingatkan bahwa mereka bukan lagi yang dulu. Mereka bukan lagi teman-teman yang saya kenal pernah menghabiskan banyak waktu di masa lalu. Mereka kini orang-orang sibuk—dengan wajah lelah, menua, dan mengantuk—sebab mungkin kurang tidur, atau tak punya waktu memotong kuku, karena... bagi mereka, kehidupan telah berubah menjadi butir-butir waktu.