Rabu, 26 Agustus 2015

Metamorfosa

Bagi diri setiap orang, hidup adalah putaran nasib.
Bagi kehidupan yang luas, hidup adalah putaran sejarah.
@noffret


Catatan ini saya tulis sebagai respons atas banyaknya “kegalauan” teman-teman yang berencana drop out dari kampus setelah membaca Catatan Mahasiswa Drop Out. Meski sudah diposting cukup lama, catatan itu masih mendatangkan berbagai respons, yang isinya kira-kira, “Saya ingin drop out dari kampus, tapi masih bingung,” atau, “Saya mau drop out, tapi apa yang harus saya katakan pada orangtua?”, bahkan ada yang menyatakan, “Semula, saya masih ragu untuk drop out, tapi setelah membaca tulisanmu, saya jadi mantap untuk drop out dari kampus.”

Pertama, saya ingin menegaskan bahwa saya menulis Catatan Mahasiswa Drop Out tidak untuk memprovokasi siapa pun agar drop out dari kampus. Seperti pada catatan-catatan lain di blog ini, catatan itu pun sebenarnya bentuk kejujuran saya, bahwa saya bukan lulusan universitas atau perguruan tinggi mana pun.

Ketika memposting catatan itu, yang ada dalam pikiran saya kira-kira seperti ini, “Kalau catatan itu dibaca orang yang kebetulan tidak bisa kuliah karena kemiskinan, misalnya, semoga mereka termotivasi. Bahwa untuk dapat membangun kehidupan tidak harus melalui kuliah. Bahwa untuk meraih cita-cita tidak harus punya titel atau gelar.”

Jadi, catatan itu sebenarnya lebih ditujukan kepada orang-orang yang kebetulan tidak bisa kuliah karena berbagai alasan dan latar belakang, bukan ditujukan untuk orang-orang yang sudah atau sedang berkuliah. Kalau kalian sedang kuliah di mana pun, sebaiknya teruskanlah. Apalagi jika kalian kuliah dengan biaya orangtua. Tentunya orangtua ingin melihat kalian lulus, wisuda, dan mendapatkan gelar. Kalau pun kemudian kalian menganggur setelah lulus kuliah, well... setidaknya kalian telah cukup membahagiakan orangtua.

Kedua, saya juga ingin menegaskan, bahwa saya drop out bukan karena apa pun, melainkan karena keputusan pribadi. Dan keputusan itu juga bukan keputusan spontan, melainkan keputusan yang telah saya pikir matang. Ketika drop out, saya telah menyelesaikan seluruh teori mata kuliah—tinggal mengikuti KKN dan menggarap skripsi. Jika saya mau ikut KKN dan bikin skripsi, maka saya pun lulus dan wisuda. Artinya, saya drop out bukan karena malas kuliah.

Ketiga, saya kuliah dengan biaya sendiri, artinya bukan dibiayai orangtua. Ketika memutuskan drop out dari kampus, saya tidak terlalu punya beban moral, karena tidak terlalu mengecewakan orangtua. Lebih dari itu, saya kuliah di kampus saya dulu bukan karena apa pun, melainkan semata-mata karena ingin menemui perempuan yang membuat saya jatuh cinta. Karena dia kuliah di sana, saya pun kuliah di sana. (Cerita selengkapnya, silakan baca di sini).

Jadi, Kawan-kawan, kalau kalian masih atau sedang kuliah, dan tidak atau belum punya rencana jelas serta matang menyangkut hal-hal yang akan dilakukan, sebaiknya teruskanlah kuliah. Memang drop out adalah soal pilihan, sebagaimana kuliah juga soal pilihan. Tetapi jangan lupa, setiap pilihan mengandung konsekuensi. Jika kita memilih drop out, maka beban moral kita jauh lebih besar daripada lulus kuliah.

Umpamakan saja kalian lulus kuliah, dan menganggur. Setidaknya masalah kalian cuma satu—masih menganggur. Untuk hal itu, blak-blakan saja, kalian tidak terlalu malu, karena kenyataannya banyak lulusan sarjana yang menganggur. Asal mau kerja apa saja, yang penting halal, mendapat kerja pasti tidak sesulit yang dibayangkan.

Tetapi, jika kalian memilih drop out dari kampus, dan kemudian menganggur, kalian menghadapi dua masalah. Pertama, kalian menganggur. Kedua, kalian akan menghadapi omelan orangtua yang menyesali keputusan drop out. Belum lagi kadang ada mulut-mulut usil yang nyinyir, “Makan tuh, drop out! Pakai sok-sokan drop out segala! Bill Gates kok ditiru!”

Jadi, sekali lagi, pikirkan seribu kali sebelum kalian memutuskan untuk drop out, khususnya jika kalian kuliah dengan biaya orangtua. Fakta bahwa kalian kuliah dibiayai orangtua, dengan jelas menunjukkan kalian belum bisa mandiri. Kalau kuliah saja belum bisa mandiri, apalagi menjalani kehidupan di luar kampus?

Memang, banyak orang sukses bahkan hebat, padahal drop out dari kampus. Tetapi, ingatlah fakta penting ini: Mereka drop out setelah memiliki rencana dan arah jelas yang akan dituju. Artinya, mereka drop out bukan untuk bersenang-senang karena terbebas dari aktivitas kuliah. Ketika mereka keluar dari kampus, perjuangan dan kerja keras yang dihadapi jauh lebih berat daripada aktivitas belajar di kampus. Selain itu, yang juga patut diingat, jauh lebih banyak orang sukses yang lulus kuliah daripada yang sukses karena drop out!

Untuk hal ini, saya bisa menceritakan kisah adik saya sendiri. Saya punya adik, laki-laki. Ketika lulus SMA, dia tidak bisa kuliah atau melanjutkan pendidikan, karena tidak ada biaya. Daripada menganggur, dia pun lalu mencari kerja. Sendirian, dia membawa ijazah SMA-nya, kemudian pergi keluar masuk toko. Dia memasuki setiap toko yang dilewatinya, dan bertanya pada si pemilik toko, “Apakah di sini membutuhkan pekerja baru?”

Cukup lama dia melakukan itu, dan entah berapa banyak toko yang telah ia masuki, yang rata-rata menjawab, “Tidak.”

Sampai kemudian dia memasuki sebuah toko tekstil, dan menemui pemiliknya. Seperti pada toko-toko lain, dia bertanya, “Apakah di sini membutuhkan pekerja baru?”

Si pemilik toko mengangguk, dan menyatakan tokonya sedang butuh pekerja baru. Adik saya mengangsurkan ijazahnya, tapi dijawab, “Tidak perlu pakai ijazah. Kamu bisa mulai bekerja besok, jadi pelayan di sini.”

Besoknya, adik saya bekerja sebagai pelayan di toko tekstil itu.

Pekerjaan menjadi pelayan toko ditekuni adik saya sampai sekitar satu tahun. Sering, saya kebetulan lewat di depan tokonya, dan menengok, dan menyaksikan adik saya sedang melayani pembeli yang datang. Atau kebetulan toko sedang sepi, dan dia tampak duduk-duduk di depan toko bersama teman-temannya sesama pelayan. Dia berangkat kerja jam sembilan pagi, dan pulang sekitar jam delapan atau sembilan malam.

Selama menyaksikan hal itu, saya membatin, “Ada baiknya dia menjalani hal semacam itu, agar tahu arti hidup.”

Yang ada dalam bayangan saya, waktu itu, sederhana. Kapan pun waktunya, adik saya akan menyadari bahwa hidup ini berat, bahwa mencari penghidupan itu sulit. Setelah dia sampai pada kesimpulan itu, dia akan mulai berpikir dan memaksa pikirannya untuk bekerja. Jika pikirannya telah bekerja, dia akan menemukan jalan untuk bermetamorfosa—berubah dari masa lalu menuju masa depan, berubah dari kekalahan menuju kemenangan, berubah dari kegagalan menuju kesuksesan.

Saya berpikir dalam kerangka seperti itu, karena saya juga mengalami hal semacam itu. Sebagaimana dulu saya berhasil melakukan metamorfosa setelah terbentur pada kerasnya hidup dan pahitnya kegagalan, saya pun berharap adik saya menemukan jalan yang sama.

Tapi rupanya adik saya memilih jalan berbeda.

Suatu hari, adik saya bercerita bahwa dia ingin kuliah. Ketika pertama kali mendengar niatnya kuliah, saya terkejut. Lalu tertawa. Kemudian, menertawakannya. Saya masih ingat yang saya katakan waktu itu, “Kamu mau kuliah? Wong aku yang kuliah saja drop out, kamu malah ingin kuliah. Percayalah, kuliah cuma buang-buang waktu! Daripada menghabiskan banyak waktu untuk kuliah, lebih baik manfaatkan waktu untuk bekerja!”

Tapi adik saya bertekad ingin kuliah, dan tidak mau mendengarkan ocehan saya, tidak mau percaya yang saya katakan. (Kelak, saya sangat bersyukur bahwa adik saya menentang ucapan saya, dan tetap berpendirian teguh pada niatnya).

Waktu itu, saya sempat menanyakan bagaimana dia akan kuliah? Dari mana biayanya? Adik saya menceritakan, dia mendengar ada kampus yang menawari beasiswa untuk calon mahasiswa yang memiliki nilai tinggi. (Saat lulus SMA, adik saya memang mendapat nilai tinggi di sekolahnya). Jadi, dia ingin mencoba mendaftar ke kampus tersebut, dengan harapan mendapat beasiswa.

Saya kembali bertanya, bagaimana dengan biaya semesteran? Adik saya menjelaskan, bahwa kampus tersebut juga memberikan beasiswa setiap semester bagi mahasiswa yang mampu mempertahankan nilai tinggi. “Aku akan belajar dengan giat, agar selalu dapat beasiswa.”

Jujur saja, ketika mendengar tekadnya, saya merasa skeptis, dan rasanya seperti mendengar utopia. Tapi adik saya telah bertekad. Dia menemui majikannya di toko, dan memberitahukan niatnya untuk kuliah. Karena dia akan kuliah sore, dia pun menyatakan tidak bisa bekerja sampai malam seperti biasa. Majikannya tidak mempersoalkan. Jadi, sejak itu, adik saya bekerja menjadi pelayan toko dari pagi sampai sore. Lalu pulang, kemudian berangkat kuliah ke kampus sampai malam.

Hal itu dijalaninya semester demi semester. Dan, Tuhan menjadi saksi, selama semester demi semester itu adik saya terus mendapat beasiswa, hingga tidak pernah membayar biaya semesteran serupiah pun! Jika kalian takjub, saya ingin mengatakan... bahkan saya yang kakaknya pun takjub, karena tidak menyangka dia akan membuktikan ucapannya!

Dia benar-benar bekerja dan belajar dengan baik, hingga selalu berhasil mendapat nilai tinggi, dan terus mendapat beasiswa dari kampus. Dan dia berhasil lulus, hingga wisuda. Pada hari wisuda, saya datang ke kampusnya bersama nyokap, dan mendapati adik saya mengenakan jubah serta toga, dan diberitahu bahwa dia menjadi salah satu lulusan mahasiswa dengan nilai terbaik.

Apa yang terjadi setelah itu? Tidak ada apa-apa. Adik saya masih menjadi pelayan toko, seperti biasa. Tapi sekarang dia telah memiliki ijazah perguruan tinggi, dengan gelar pada namanya. Menggunakan ijazahnya, dia berencana mencari pekerjaan yang lebih baik. Keinginannya berhasil—lamarannya diterima sebuah perusahaan barang-barang toiletris, lalu dia bekerja di sana. Dia mendapat pekerjaan lebih baik, dengan penghasilan lebih baik. Tapi cerita ini belum selesai.

Suatu hari, adik saya dihubungi salah satu dosennya di kampus. Sang dosen memberitahu, “Ada perusahaan di Tangerang yang datang ke sini (ke kampus). Mereka sedang mencari pekerja baru, tapi dengan syarat memiliki kualitas nilai terbaik. Kami merekomendasikan namamu. Kalau kamu bersedia, kami bisa mempertemukanmu dengan mereka.”

Adik saya bersedia. Dan selanjutnya adalah sejarah.

Karena kualifikasi yang dimilikinya dianggap cocok seperti yang diinginkan, adik saya pun berangkat ke Tangerang, dan bekerja di sana... sampai sekarang. Dengan pekerjaan yang jauh lebih baik, dengan penghidupan yang jauh lebih baik, juga dengan penghasilan yang ribuan kali lipat lebih baik dari yang pernah didapatnya. Saat ini, dia bahkan sedang kuliah lagi, dengan biaya perusahaan.

Sekarang, setiap kali melihat adik saya—kalau kebetulan dia pulang—saya sering membayangkan, apa jadinya kalau dulu dia mengikuti kata saya? Apa jadinya kalau dulu dia percaya pada saya untuk tidak kuliah? Apa jadinya kalau dia mengikuti jejak saya? Meski dulu dia menentang ucapan saya, tetapi saya bersyukur, karena penentangannya membuahkan hasil yang lebih baik, kehidupan yang lebih baik.

Kini, saat menulis catatan ini, saya menyadari. Bahwa setiap orang memiliki jalan dan pilihan berbeda untuk bermetamorfosa. Jalan hidup yang saya lewati mungkin tidak sama dengan jalan hidup orang lain. Pilihan terbaik yang saya ambil belum tentu tepat bagi orang lain. Keputusan drop out yang saya pilih juga belum tentu menghasilkan kebaikan yang sama bagi orang lain. Karena bahkan adik kandung saya sendiri pun memiliki jalan dan pilihan berbeda. Masing-masing orang memiliki cara sendiri untuk melakukan metamorfosa.

 
;