Aku menulis untuk alasan yang sama dengan mengapa aku bernapas;
jika aku tidak melakukannya, aku akan mati.
—Isaac Asimov
jika aku tidak melakukannya, aku akan mati.
—Isaac Asimov
Dulu, ketika era teenlit (teen literature) sedang naik daun, tak terhitung banyaknya novel-novel teenlit menyerbu toko-toko buku. Hampir di toko buku mana pun selalu ada novel teenlit. Bahkan, orang-orang yang semula tidak kenal atau kurang akrab dengan buku, mulai coba-coba baca buku karena kehebohan teenlit. Hal tak jauh beda terjadi pada beberapa teman saya. Mereka yang semula asing dengan buku mulai mencoba membaca buku, gara-gara penasaran dengan teenlit.
Baca: Media Online Paling Memuakkan
Rata-rata, novel teenlit memiliki alur dan plot yang sama—mengalir lancar, mudah dipahami, tanpa alur rumit dan plot berbelit. Karena novel genre itu memang ditujukan untuk remaja, namanya juga teen literature. Bahkan, pada sebagian besar novel teenlit, jalan ceritanya bisa dibilang mirip kisah keseharian, tentang cowok yang naksir cewek, atau sebaliknya, lalu kisah berjalan lancar, diiringi dialog-dialog yang cair, hingga berakhir happy ending.
Beberapa novel teenlit ada yang bisa dikategorikan sangat bagus. Meski sama ditujukan untuk remaja, dan isinya juga tak jauh dari keseharian remaja, novel-novel teenlit yang bagus memiliki alur dan plot yang lebih baik, meski tetap lancar, dengan aneka twist tak terduga. Novel-novel teenlit bagus biasanya ditulis penulis berpengalaman, atau bisa pula ditulis penulis pemula yang memang berbakat. Sementara novel-novel teenlit yang ditulis rata-rata pemula memiliki kualitas biasa—tidak bisa dianggap bagus, meski juga tak bisa dibilang buruk.
Ada cukup banyak teman saya yang membaca novel teenlit, dan kadang mereka berkomentar, “Kalau cuma nulis kayak gini, aku juga bisa!”
Komentar itu muncul karena jalan cerita novel teenlit yang mungkin dianggap mengalir dan mudah dipahami, serta lekat dengan keseharian. Karenanya, mereka pun menganggap menulis novel teenlit bukan hal sulit. Ketika mendengar komentar semacam itu, saya biasanya tersenyum, dan menyahut, “Kalau kamu memang bisa menulis novel kayak gitu, cobalah tulis. Setelah naskah novelmu selesai, aku akan tahu apakah naskahmu layak terbit atau tidak. Kalau memang layak terbit, nanti aku bantu mengurus penerbitannya.”
Sebagian dari mereka tertarik, dan mulai menulis. Tetapi, sampai berbulan-bulan kemudian, tidak ada satu pun dari mereka yang berhasil menyelesaikan naskahnya! Pernah ada satu orang yang berhasil menyelesaikan naskah, setelah menghabiskan waktu sekitar tujuh bulan, tapi dia malu menunjukkannya kepada saya, karena menurutnya naskah karyanya sangat buruk. Sebegitu buruk, sampai dia lebih memilih untuk tidak menunjukkan.
Apa moral cerita ini?
Well, menulis mungkin memang mudah. Tapi tidak “semudah itu”.
Ketika membaca suatu buku, fiksi atau nonfiksi, dan menikmati isinya yang mengalir lancar serta mudah dipahami, sebagian orang yang bukan penulis mungkin berpikir, “Mudah sekali menulis buku seperti ini.” Tetapi, ketika diminta menulis buku semacam itu, kita baru menyadari betapa sulit menulisnya. Sesuatu yang tampak mudah dilakukan ternyata membutuhkan ketekunan dan kerja keras luar biasa!
Itulah salah satu penyakit calon penulis—menganggap remeh atau menilai mudah pekerjaan menulis, atau menggampangkan pekerjaan menulis. Faktanya, jika sebuah buku sampai ke tangan kita—atau sampai di rak toko buku—artinya buku itu dinilai layak terbit oleh penerbitnya. Pertimbangan layak terbit adalah pertimbangan “hidup matinya” penerbit, suatu pertimbangan yang tidak main-main. Dan untuk dapat menulis naskah yang layak terbit, percayalah... tidak setiap orang bisa.
Setiap hari, penerbit-penerbit di negeri ini menerima, membaca, dan mempelajari ribuan naskah yang masuk. Setiap hari, ada banyak naskah yang terbit menjadi buku, tapi lebih banyak naskah yang ditolak! Ada ribuan orang yang pernah mencoba menulis, mengirimkan naskah ke penerbit, berharap karyanya bisa terbit menjadi buku, tapi berakhir dengan penolakan. Kadang mendapat penolakan satu kali, kadang dua kali, kadang sampai puluhan kali. Sebagian mereka terus berusaha, sebagian lain tumbang dan menyerah.
Menulis mungkin memang mudah. Tapi tidak “semudah itu”. Karena ada perbedaan antara “asal menulis” dan “menulis secara profesional”. Menulis asal-asalan mungkin memang mudah, dan siapa pun bisa melakukan. Tapi menulis secara profesional, dalam arti suatu tulisan memiliki nilai sehingga layak terbit dan layak jual, bukanlah pekerjaan gampang. Tak jauh beda dengan pekerjaan profesional lain, menulis secara profesional juga membutuhkan pengetahuan.
Seperti aktivitas menyanyi, misalnya. Setiap orang bisa menyanyi, sebagian dari kita bahkan bisa menyanyi dengan baik. Tapi apakah kemudian setiap orang bisa masuk dapur rekaman dan membuat album? Tentu saja tidak! Untuk setiap satu demo rekaman yang menjadi album dan beredar di pasar, ada ratusan demo rekaman yang ditolak! Kalau kita punya teman anak band, tanyakan pada mereka tentang hal itu, dan mereka akan menjelaskan betapa sulit menembus dapur rekaman, padahal mereka memiliki skill hebat, lagu-lagu hebat, dan penampilan hebat.
Kangen Band bisa dijadikan contoh untuk kasus ini. Ketika Kangen Band muncul, banyak orang mencibir, mengolok-olok, bahkan merendahkan. Bukan hanya lagu-lagu Kangen Band yang menjadi sasaran olok-olok, tapi bahkan vokalisnya, karena tampilannya dinilai “tidak layak terbit”. Anak-anak band yang merasa memiliki skill lebih baik sering bilang, “Bagaimana bisa band seperti ini menghasilkan album?”
Tapi nyatanya Kangen Band menghasilkan album, dan album mereka terjual dalam jumlah besar, serta memiliki penggemar fanatik yang tak kalah besar. Omong-omong, saya bukan penggemar mereka! Tetapi fakta bahwa mereka berhasil menembus dapur rekaman, karena produser telah menilai dan mempertimbangkan hal-hal itu. Kangen Band, dengan segala kekurangan yang mungkin mereka miliki, dinilai mempunyai sesuatu yang unik dan bisa dijual. Fakta itulah yang memungkinkan mereka menembus dapur rekaman, dan menghasilkan album.
Jangankan band dengan kualitas biasa, bahkan band dengan kualitas luar biasa pun sering kesulitan menghasilkan album. Pada Juli 2002, misalnya, muncul album kompilasi yang mengumpulkan 10 band yang dinilai memiliki kualitas hebat. Sepuluh band itu adalah Peterpan, Quarto, Benua, Second Egg, Tulip, Ha I Pe, Two One, Gelas, Strip Band, dan Puber. Masing-masing band diminta membuat single khusus untuk album kompilasi tersebut, yang lalu dirilis dengan titel “Kisah 2002 Malam”.
Album kompilasi itu beredar di pasar, dan seleksi alam mulai terjadi. Stasiun-stasiun radio di seluruh Indonesia dipantau, untuk melihat single band mana yang paling sering di-request pendengar. Hasilnya, dari sepuluh band hebat yang dikumpulkan dalam album kompilasi itu, Peterpan—dengan single “Sahabat”—dinilai paling unggul. Karena kenyataan itu, Peterpan pulalah satu-satunya band yang kemudian membuat album. Satu tahun kemudian, pada 2003, Musica Studio’s merilis album pertama mereka, dengan titel “Taman Langit”. Dan, sejak itu, Indonesia mulai mengenal Ariel Peterpan.
Kita lihat, bahkan band-band yang dinilai hebat pun masih kesulitan untuk eksis. Mereka telah berhasil masuk dapur rekaman, dengan memulai debut lewat album kompilasi. Tetapi, setelah berhasil menembus dapur rekaman, mereka masih harus menghadapi seleksi alam. Dalam seleksi hukum alam, hanya yang benar-benar unggul yang akan tetap eksis. Faktanya, sembilan band yang pernah tergabung dalam album kompilasi itu sekarang tak jelas kabarnya, sementara Peterpan—yang sekarang bermetamorfosis menjadi Noah—makin eksis.
Hal tak jauh beda terjadi di dunia penerbitan. Tantangan setiap penulis dan calon penulis bukan hanya menghasilkan naskah yang bagus dan layak terbit, bukan hanya menembus dapur penerbitan, tapi juga menghadapi seleksi alam. Untuk hal terakhir itulah yang paling sulit. Menghasilkan naskah yang bagus mungkin bisa dipelajari dengan pembelajaran yang tekun, menembus dapur penerbitan juga bisa dilakukan dengan menulis naskah yang bagus serta layak terbit. Tapi menghadapi seleksi alam... itulah yang paling sulit, karena ada banyak hal yang tak bisa diprediksi, dan selalu ada anomali.
Di Indonesia, misalnya, ada ribuan penulis—jika definisi “penulis” adalah orang yang pernah menulis secara profesional. Tetapi berapa banyakkah yang eksis? Berapa banyak yang masih terus menghasilkan karya? Berapa banyak yang masih terus menulis dan menerbitkan buku? Dan... berapa banyak yang sekarang menghilang tanpa kabar? Yang menghilang hampir bisa dipastikan jauh lebih banyak daripada yang terus berkarya.
Mereka yang menghilang bisa disebabkan berbagai alasan—karena kesibukan di luar aktivitas menulis, karena bosan, karena kehabisan ide, atau bisa pula karena buku-bukunya tak laku sehingga berpikir untuk beralih profesi.
Menulis mungkin memang mudah. Tapi tidak “semudah itu”. Menjadi penulis mungkin juga tampak mudah. Tetapi, sebenarnya, juga tidak “semudah itu”.