Anak-anak percaya pada orangtuanya. Lalu apa
yang dipercaya orangtua? Kita percaya sistem otoritas.
Lalu apa standar nilai otoritas?
—@noffret
yang dipercaya orangtua? Kita percaya sistem otoritas.
Lalu apa standar nilai otoritas?
—@noffret
Izabel Laxamana baru berusia 13 tahun, dan dia memutuskan mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Gadis yang tinggal di Tacoma, Seattle, AS, itu terjun dari jembatan ke Interstate 5, jalan raya utama di pantai barat Amerika Serikat, pada 29 Mei 2015. Dia sempat dibawa ke rumah sakit di Seattle, dan meninggal pada 6 Juni 2015. Keputusan bunuh diri itu gara-gara merasa dipermalukan ayahnya lewat video yang diunggah ke YouTube.
Kisah tragis itu diawali niat Izabel yang ingin mendaftar ke organisasi (semacam ekstrakurikuler) di sekolahnya. Ayah Izabel, Jeff Laxamana, tidak mengizinkan. Izabel marah, lalu terjadi cekcok antara ayah dan anak. Hasilnya, Jeff menganggap Izabel membangkang, dan menggunduli rambut Izabel. “Konsekuensi membangkang adalah kau akan kehilangan rambut indahmu!” ujar Jeff pada putrinya.
Tidak cukup hanya menggunduli rambut Izabel, Jeff juga merekam aksi “hukuman” tersebut, dan mengunggah video rekamannya ke YouTube. Izabel merasa dipermalukan—teman-temannya menonton video itu, orang-orang lain melihat video itu, dunia menyaksikan video itu. Tak sanggup menanggung malu, Izabel memutuskan bunuh diri.
Mungkin kematian Izabel sia-sia, tapi aksi bunuh diri yang dilakukannya telah membuka mata dunia bahwa orangtua tidak selamanya benar. Jeff Laxamana, ayah Izabel, mungkin menganggap perbuatan yang ia lakukan pada putrinya adalah hal benar. Sebagai orangtua, dia merasa punya hak untuk memutuskan sesuatu dan menghukum anaknya jika dinilai membangkang. Tapi sejauh mana kebenaran orangtua bisa dianggap benar?
“Anakmu bukan anakmu,” kata Kahlil Gibran. Seberapa banyak orangtua di dunia menyadari kebenaran itu? Disadari atau tidak, sebagian besar orangtua menganggap anak adalah miliknya dalam arti harfiah. Pemahaman semacam itu menjadikan kebanyakan orangtua menatap anaknya sebagai semacam benda mati yang dapat diperlakukan seperti apa pun sesuai kehendak orangtua.
Karena menganggap anak adalah hak milik dalam arti harfiah, kebanyakan orangtua pun merasa bebas menentukan langkah bahkan nasib untuk anak-anaknya. Hal itu pun kemudian dilegitimasi oleh pepatah klise berbunyi, “Tidak ada orangtua yang ingin menjerumuskan anaknya.”
Oh, well, tidak ada orangtua yang ingin menjerumuskan anaknya. Kedengarannya mulia, tapi benarkah memang seperti itu?
Di berbagai media, cetak maupun online, kita sangat mudah menemukan berbagai kejahatan dan kebejatan yang dilakukan orangtua kepada anak-anaknya. Ada orangtua yang melacurkan anaknya. Ada orangtua yang membunuh anaknya. Ada orangtua yang menjual anaknya. Ada orangtua yang mengubur hidup-hidup anaknya. Ada orangtua yang meracuni anaknya. Ada orangtua yang memperkosa anaknya. Daftarnya masih panjang.
Tidak ada orangtua yang ingin menjerumuskan anaknya? Oh, hell, tutup mulutmu, bastard!
Kejahatan-kejahatan yang saya sebut barusan—dari melacurkan anak sampai memperkosa anak—adalah kejahatan yang bisa dilihat dengan gamblang sebagai kejahatan. Sebegitu jelas dan gamblang, hingga idiot mana pun bisa menyadari itu kejahatan. Tapi bagaimana dengan kejahatan-kejahatan terselubung yang dilakukan orangtua terhadap anak-anaknya? Seperti perbuatan yang dilakukan Jeff Laxamana terhadap Izabel, misalnya.
Diakui atau tidak, di sekitar kita masih banyak orangtua yang menganggap perlakuan buruk terhadap anak sebagai kebenaran, padahal sebenarnya kejahatan. Jeff Laxamana menggunduli rambut putrinya, dan menganggap itu sebagai kebenaran—hukuman orangtua terhadap anak. Tidak cukup menggunduli, dia bahkan merekam aksi itu dan mengunggah video rekamannya ke YouTube, dengan harapan dunia bisa menyaksikan. Apakah Jeff merasa bersalah atas perbuatannya? Tidak!
Begitu pula orangtua-orangtua lain yang melakukan perbuatan tak jauh beda seperti yang dilakukan Jeff. Mereka sama merasa tidak bersalah, karena berpikir yang mereka lakukan adalah hukuman untuk anak yang membangkang. Sebagai orangtua, mereka merasa dan menganggap bahwa titahnya adalah kebenaran yang mereka pikir pasti baik untuk anaknya. Jika si anak menolak atau tak setuju, mereka merasa punya hak prerogatif untuk menganggapnya pembangkangan, dan memberi hukuman. Dan mereka tidak merasa bersalah ketika menjatuhkan atau memberi hukuman apa pun, karena mereka—sebagai orangtua—merasa pasti benar.
Inilah masalah terbesar anak-anak sedunia. Mereka sama-sama menghadapi orangtua yang memiliki pemikiran kolot yang sama—bahwa orangtua pasti benar, dan anak pasti salah. Bahwa anak harus menjaga perasaan orangtua, tapi orangtua tidak perlu menjaga perasaan anaknya. Bahwa anak harus menghormati orangtua, tapi orangtua tidak perlu menghormati anaknya. Bahwa anak harus mengikuti kehendak orangtua, tapi orangtua tidak perlu memikirkan kehendak anaknya. Bahwa anak harus menjadi manusia yang baik, tapi orangtua bebas mau menjadi manusia seperti apa pun. Oh, well!
Sedari kecil, tanpa disadari, kita lebih banyak mendapat ajaran tentang pentingnya menghormati orangtua, tetapi jarang—bahkan tidak pernah—mendengar ajaran pentingnya menghormati anak. Padahal, sebagaimana orangtua, anak juga manusia. Yang sama punya pikiran, perasaan, emosi, kehendak, harga diri, dan kehormatan. Kenapa anak dituntut menjaga perasaan orangtua, sementara orangtua tidak pernah dituntut hal yang sama? Kenapa anak diminta agar menjaga sikap dan perilaku terhadap orangtua, tapi orangtua tidak diminta hal yang sama?
Tidak di Barat tidak di Timur, anak-anak menghadapi masalah yang sama—ketimpangan dalam relasi orangtua dan anak. Padahal, relasi orangtua dan anak adalah relasi antarmanusia, bukan relasi antara manusia dengan benda mati. Dengan kata lain, jika anak dituntut setumpuk aturan tentang memperlakukan orangtua secara layak, maka seharusnya orangtua juga dituntut setumpuk aturan yang sama.
Tetapi itulah masalahnya. Dalam relasi antara orangtua dan anak, dunia telah berlaku tidak adil. Menempatkan posisi orangtua terlalu ke atas, dan menempatkan posisi anak terlalu ke bawah. Realitas itu dijustifikasi oleh kenyataan bahwa orangtua merasa berjasa terhadap anak-anaknya—merekalah yang melahirkan, merekalah yang membesarkan, merekalah yang memberi makan, pendeknya merekalah yang memberi penghidupan.
Tetapi justifikasi itu sebenarnya sangat rapuh. Karena, memangnya siapa yang pernah menuntut setiap orangtua punya anak...?
Tidak ada yang menuntut siapa pun agar punya anak. Di sisi lain, tidak ada anak yang meminta dilahirkan. Orangtua memiliki anak karena memang keinginannya, kehendaknya, pilihannya. Karena memilih dan memutuskan punya anak, maka orangtua punya tanggung jawab terhadap pilihannya. Tanggung jawab itu di antaranya membesarkan, mendidik, dan menghormati anak sesuai porsinya. Ketika si anak mulai beranjak besar, remaja, dan dewasa, orangtua juga punya kewajiban menjaga perasaan, kehormatan, dan harga diri anak.
Hanya karena melahirkan dan membesarkan, orangtua tidak bisa mengungkit-ungkit hal itu sebagai jasanya kepada anak. Karena, sekali lagi, tidak ada anak yang meminta dilahirkan. Setiap anak yang lahir ke dunia adalah pilihan dan kehendak orangtua. Karenanya, tanggung jawab membesarkan dan mendidik memang ada di tangan orangtua, dan orangtua tidak bisa menjadikan hal itu sebagai legitimasi atas perlakuan sewenang-wenang terhadap anak. Pola pikir semacam itu seharusnya telah disadari jauh-jauh hari sebelum siapa pun memilih dan memutuskan untuk punya anak.
Hidup adalah soal pilihan. Punya anak atau tidak adalah soal pilihan. Setiap orang bertanggung jawab atas pilihan yang diambilnya, dan tidak bisa menimpakan tanggung jawab kepada pihak lain, termasuk kepada anaknya. Karenanya, sungguh tidak adil jika kesuksesan anak diklaim sebagai kesuksesan orangtua, sedangkan kegagalan anak dianggap sebagai kegagalan anak semata. Tetapi kenyataan semacam itulah yang terjadi di sekitar kita, di mana-mana, di seluruh dunia.
Ketika anak mendapat prestasi atau keberhasilan, orangtua menepuk dada penuh kebanggaan. Di sisi lain, ketika anak gagal atau mendapat nilai jeblok di sekolah, orangtua memarahi anak, bahkan tidak jarang menghukum mereka. Padahal, sebagaimana anak sukses karena didikan orangtua, anak yang gagal pun karena didikan yang sama. Anak adalah cermin terbaik bagi orangtua untuk berkaca. Seperti apa anaknya, seperti itulah orangtua.
Anak-anak tidak hanya perpaduan darah dan daging orangtua—mereka juga mewarisi gen, tabiat, perilaku, kebiasaan, bahkan kapasitas otak orangtuanya. Karenanya, anak-anak tidak hanya memiliki tampilan fisik yang menyerupai kedua orangtua, tetapi juga memiliki kebiasaan, perilaku, dan kapasitas fisik serta psikis yang juga dimiliki orangtuanya. Dengan kata lain, jika anakmu dinilai nakal dan gagal, koreksi dirimu, bukan malah menghukum dan menista anakmu!
Bagaimana pun, ada anak-anak cerdas yang lahir dari orangtua bodoh, dan ada anak-anak sukses yang lahir dari orangtua miskin. Kenyataan semacam itu terjadi bukan semata karena keajaiban, tetapi sering kali karena kemampuan orangtua mendidik dan membesarkan anak dengan cara yang benar.
“Mendidik dan membesarkan anak dengan cara yang benar” itulah yang menjadi inti paling penting dalam hubungan antara orangtua dan anak, dan setiap orangtua semestinya telah menguasai pengetahuan itu jauh-jauh hari sebelum memutuskan punya anak. Karena anak bukan uji coba atau trial and error dalam laboratarium percobaan. Punya anak adalah pilihan paling penting yang dilakukan setiap manusia, dan pilihan itu menyangkut nasib, kehidupan, serta masa depan manusia lain.
Anak yang mendapat didikan tidak benar dari orangtua mungkin tidak menyadari kesalahan orangtuanya. Tetapi dia akan mewarisi hal itu, dan sering kali akan meneruskan hal yang sama pada anak-anaknya kelak. Begitulah lingkaran setan terjadi. Bagaimana orangtuamu mendidikmu, hampir bisa dipastikan akan sama dengan kakek nenekmu mendidik orangtuamu. Dan kelak, kau pun akan cenderung mendidik anak-anakmu seperti cara didikan orangtua terhadapmu. Pertanyaan besarnya adalah, bagaimana jika didikan yang diwarisi turun temurun itu ternyata keliru?
Jeff Laxamana di Amerika mungkin terbiasa mendapat perilaku kekerasan dan perlakuan memalukan dari orangtuanya. Ketika dia kemudian punya anak, dia pun melakukan hal yang sama pada anaknya. Bedanya, anak Jeff Laxamana memilih bunuh diri daripada menanggung malu. Mungkin kematiannya sia-sia, tapi setidaknya bisa membuka mata dunia, dan menghidupkan kesadaran kita.