Ibu guru di kelas bertanya apa cita-cita para muridnya, dan bocah-bocah yang menjadi murid di kelas itu pun menjawabnya satu per satu. Ada yang umum—seperti ingin jadi dokter atau insinyur—ada pula yang unik dan tak terbayangkan.
Seorang bocah berkata, “Saya ingin jadi Superman, Bu Guru!”
Ibu guru tersenyum. “Tentu saja kamu tidak bisa jadi Superman. Ia tokoh fiksi yang hanya ada dalam komik.” Kemudian, dia memberikan sugesti, “Bagaimana kalau jadi ilmuwan saja? Kalau Superman punya kekuatan super, ilmuwan punya otak yang super.”
“Kedengarannya hebat,” sahut si murid dengan antusias. “Ya, saya ingin jadi ilmuwan, Bu Guru!”
Lalu ibu guru berpaling pada murid lainnya. “Kamu, Diana? Ingin jadi apa kalau sudah besar nanti?”
Diana menjawab dengan yakin, “Saya ingin jadi Elektra!”
“Jadi... apa?”
“Elektra, Bu Guru,” sahut Diana. Kemudian, karena melihat gurunya seperti bingung, Diana menjelaskan, “Elektra itu, cewek jagoan yang pintar berkelahi, terus menolong orang-orang.”
Bu guru manggut-manggut, segera paham bahwa Elektra yang disebut Diana pastilah tokoh semacam Superman yang hanya ada dalam kisah fiksi. “Tapi, Diana,” ujar ibu guru kemudian, “Elektra kan hanya ada dalam film. Bagaimana kalau cita-citamu jadi dokter saja? Meski dokter mungkin tidak pintar berkelahi, tapi dokter juga menolong orang-orang.”
Diana terdiam sesaat, lalu bertanya, “Apakah dokter boleh berpenampilan keren?”
“Tentu saja boleh,” sahut gurunya sambil tersenyum.
Diana bertanya lagi, “Apakah dokter punya senjata?”
“Ya, dokter punya senjata—stetoskop, pengukur tensi darah, dan lainnya.”
“Apakah dokter punya guru yang akan melatihnya?”
“Ya, dokter punya guru yang mengajar dan melatihnya, agar bisa menjadi dokter yang hebat.”
Diana tersenyum. “Kedengarannya seperti Elektra. Ya, saya mau jadi dokter, Bu Guru!”
Lalu ibu guru berpaling lagi pada murid yang lain—seorang bocah pendiam yang duduk di bangku paling belakang. Sebegitu pendiamnya, sampai-sampai ibu guru sering lupa nama bocah itu.
“Nah,” katanya pada si bocah, “kalau besar nanti, apa cita-citamu?”
Bocah itu menjawab dengan yakin, “Saya Magneto.”
Ibu guru tersenyum. Dia tahu siapa Magneto. Anak-anaknya di rumah suka serial X-Men, dan sering menyebut-nyebut nama Magneto, tokoh yang mampu menggerakkan logam dengan kekuatan pikirannya. Kemudian, sambil tersenyum, ibu guru berkata, “Tentu saja kamu tidak bisa menjadi Magneto. Tidak ada orang yang punya kemampuan seperti dirinya.”
Si bocah bergeming. “Sepertinya Anda tidak mendengarkan saya, Bu Guru. Saya tidak bilang ‘ingin menjadi Magneto’. Yang saya katakan, ‘saya Magneto’.”
Ibu guru kebingungan. Dengan bingung pula ia menyahut, “Jadi, kamu Magneto?”
“Ya, saya Magneto.”
“Apa yang akan kamu lakukan, sebagai Magneto?”
“Tergantung bagaimana masyarakat memperlakukan saya.”
....
....
Begitulah pahlawan diciptakan, dan monster dilahirkan.