Pada akhirnya nanti, setiap orang harus menebus hukuman
atas perbuatan-perbuatannya yang salah. Jika orang selalu ingat
hukum ini, ia pasti tidak akan mencerca, tidak akan menyalahkan,
tidak akan melukai hati siapa pun.
—Epictetus
atas perbuatan-perbuatannya yang salah. Jika orang selalu ingat
hukum ini, ia pasti tidak akan mencerca, tidak akan menyalahkan,
tidak akan melukai hati siapa pun.
—Epictetus
Usia anak lelaki itu mungkin baru 5 atau 6 tahun, dan dia menangis sore itu, tepat ketika saya sedang keluar rumah untuk membeli siomay yang lewat di komplek kami.
Sambil berdiri di dekat gerobak siomay, saya menyaksikan anak lelaki itu mengadu pada ayahnya, bahwa dia dijelek-jelekkan temannya. Gayanya mengadu sangat provokatif. Dicampur dengan suara tangisannya yang menyayat. Saya tidak akan heran kalau si ayah segera mendatangi anak-anak nakal yang telah membuat putranya menangis, dan melabrak mereka.
Tapi sang ayah tipe lelaki bijaksana. Mendengar pengaduan anaknya, dia tidak buru-buru terprovokasi. Yang dia lakukan adalah menenangkan anaknya yang masih menangis, dan bertanya kenapa dia sampai dijelek-jelekkan teman-temannya. Sang anak—karena masih bocah—menjawab dengan jujur, bahwa dia lebih dulu mengejek temannya.
Mendengar itu, sang ayah tersenyum. Kemudian, dengan suara menenangkan yang hanya dapat dilakukan seorang ayah bijaksana, dia berkata, “Kalau kamu tidak suka diejek atau dijelek-jelekkan, kamu juga tidak boleh melakukan hal itu pada temanmu.”
Si anak menjawab dengan nada seorang bocah, “Tapi temanku nggak menangis kok, waktu aku ejek.”
Sekali lagi sang ayah tersenyum. “Kalau begitu, seharusnya kamu juga tidak boleh menangis.”
Ketika saya mulai menikmati siomay sore itu, saya terbayang pada kisah yang saya alami setengah bulan sebelumnya. Kisahnya, saya dolan ke rumah seorang teman yang tempatnya cukup jauh. Di rumah teman, kami ngobrol-ngobrol dengan asyik, sampai kemudian saya kehabisan rokok. Maka kami pun lalu pergi ke toko dekat rumah teman saya, untuk membeli rokok dan camilan.
Di toko, sore itu, pembeli cukup ramai, dan saya pun harus menunggu dilayani. Salah satu pembeli di toko itu adalah lelaki cukup tua, dengan tubuh agak gemuk, yang tampaknya kurang sehat. Saya perhatikan, lelaki itu terus menyandar ke pintu samping toko, seolah tidak punya tenaga yang cukup untuk bisa berdiri.
Nah, setelah selesai belanja, lelaki tua itu melangkah tertatih, menghampiri sebuah motor matic yang mungkin kendaraannya, sambil menenteng tas plastik di tangan. Tampak sekali dia memang kurang sehat. Langkahnya terseret. Dan ketika akhirnya ia sampai di motor matic itu, dia terjatuh saat akan menaikinya.
Secara naluri, saya bergerak ingin menolong. Tapi teman saya segera meraih lengan saya, dan berbisik, “Biarkan saja.”
Saya kaget. Bagaimana bisa dia melarang saya menolong seorang tua yang jelas butuh pertolongan? Yang membuat saya lebih kaget lagi, orang-orang yang ada di sana sama sekali tak tergerak untuk menolong orang itu. Beberapa orang di toko sempat menengok ketika mendengar lelaki tua tadi terjatuh, tapi kemudian segera memalingkan muka kembali, seolah tak terjadi apa-apa. Sementara si lelaki tua kini susah-payah berusaha bangkit, di sela-sela napasnya yang tersengal.
Ketika akhirnya lelaki tua tadi berhasil menaiki motornya dan pergi, saya menatap teman saya dengan bingung, dan bertanya dengan bingung pula, “Apa yang terjadi tadi?”
Teman saya hanya menggelengkan kepala, dan menatap saya dengan tajam, seolah ingin mengatakan, “Diamlah, nanti kuceritakan.”
Dan diam-diam saya mulai mencari kamera yang mungkin sedang menyorot kami, karena tiba-tiba saya terpikir sedang ada dalam reality show konyol yang disiarkan televisi konyol. Sampai akhirnya kami selesai belanja di toko itu, teman saya tetap bungkam. Dan saya masih berpikir kalau kami memang sedang masuk dalam adegan reality show konyol.
Tapi ternyata adegan tadi bukan skenario reality show untuk konsumsi televisi. Itu benar-benar reality show dalam makna harfiah. Ketika kami telah pulang dan mulai duduk berdua di rumahnya, teman saya pun menceritakan kejadian tadi. Ternyata, yang menjadikan orang-orang di toko tadi tidak mau menolong si orang tua yang terjatuh, karena dendam sosial.
Untuk memudahkan cerita, kita sebut saja orang tua yang terjatuh tadi dengan sebutan Mister X. Teman saya mengisahkan, Mister X telah menjadi semacam public enemy di kalangan masyarakatnya. Dan hal itu telah dimulai bertahun-tahun lalu, bahkan sejak teman saya masih anak-anak. Kisahnya benar-benar mirip sinetron ala Hidayah yang pernah populer di televisi.
Dulu, bertahun-tahun lalu, Mister X adalah lelaki muda yang memiliki jabatan tertentu, yang membuat ia dihormati masyarakatnya. Tapi dia menyalahgunakan jabatannya untuk berbuat sewenang-wenang. Dia menyerang siapa pun yang dapat diserang, menindas siapa pun yang dapat ditindas, merampas apa pun yang dapat ia rampas dari masyarakatnya.
Sebenarnya, jabatan Mister X waktu itu tidak terlalu istimewa. Tapi ia hidup di kalangan masyarakat yang terbilang tradisional, sehingga ia bisa memanipulasi jabatannya untuk sok kuasa. Saya tidak perlu menjelaskan hal buruk apa saja yang telah dilakukan Mister X pada para tetangganya, tapi yang jelas masyarakat di sana mengumpulkan kebencian atas tingkah lakunya. Mereka membenci Mister X, dan kebencian itu terkumpul tahun demi tahun.
Seiring bergantinya tahun, Mister X semakin tua, dan jabatannya pun ditanggalkan karena pensiun. Setelah dia tidak lagi memiliki jabatan, dia hanya lelaki biasa—lelaki tua biasa yang tak jauh beda dengan lelaki tua lain—rapuh, dan tak berdaya. Yang membedakannya dengan lelaki tua lain, dia dibenci masyarakatnya. Dan karena Mister X tak lagi memiliki jabatan yang membuatnya dihormati, masyarakat pun diam-diam berpikir saat pembalasan telah tiba.
Jadi itulah yang terjadi. Masyarakat mengumpulkan kebencian mereka bertahun-tahun, sementara Mister X semakin tua dan mulai sakit-sakitan. Istri Mister X sudah meninggal, sementara anak-anaknya telah hidup bersama keluarga masing-masing. Mister X hidup sendirian—tua, rapuh, tak berdaya, dan dibenci masyarakatnya. Sebegitu benci masyarakat kepadanya, hingga mereka tak sudi menolong ketika Mister X terjatuh saat akan menaiki motornya.
Ketika mendengar cerita itu, saya pun mulai memahami. Jika saya meletakkan diri pada posisi masyarakat di sana—dan menghadapi perlakuan serta menyaksikan perbuatan Mister X ketika ia masih muda—mungkin saya pun akan memiliki sikap yang sama. Tidak ada yang lebih berbahaya di dunia ini selain orang-orang yang bersatu karena sama-sama merasa teraniaya.
....
....
Setiap kali manusia melakukan sesuatu kepada manusia lainnya, perbuatannya tak jauh beda dengan melemparkan benih ke tanah. Kapan pun waktunya, benih itu akan tumbuh. Semakin banyak benih yang kita lemparkan, semakin besar yang akan ia tumbuhkan. Benih kebaikan, pun benih kejahatan.
Kita mungkin lupa pernah melemparkan benih itu, tapi bumi adalah tanah yang jujur, dan alam selalu tahu cara menagih utang. Itulah Hukum Semesta. Kapan pun waktunya, di mana pun tempatnya, setiap kita akan diharuskan membayar setiap perbuatan yang telah kita lakukan, dari yang remeh temeh seperti mengejek orang lain, sampai yang besar seperti merampas hak yang bukan milik kita.
Kalau hari ini saya merampas milikmu, mungkin kau tidak membalas—entah mengikhlaskan, atau karena tak berani melawan. Tapi kapan pun waktunya, sesuatu dalam diri saya akan balas dirampas oleh kehidupan—kesehatan saya, harta saya, kebahagiaan dan ketenteraman saya, atau bahkan usia saya. Teteskan darah orang lain, maka alam semesta akan meneteskan darahmu—kapan pun waktunya, bagaimana pun caranya.
Yang menakutkan dalam hidup bukan hukum tertulis buatan manusia. Ia mudah dimanipulasi, rentan dikorupsi. Jika hidup hanya berdasar hukum manusia, bumi ini telah lama hancur binasa. Yang menjaga langit tetap ada di tempatnya, dan matahari tetap terbit serta tenggelam pada waktunya, karena adanya Hukum Semesta. Ia yang menjaga keseimbangan hidup—menumbuhkan benih segar, dan mematikan tangkai yang busuk.
Di hadapan Hukum Semesta, manusia tidak memerlukan pledoi dan sederet dalih pengacara. Karena hukum tak tertulis itu bekerja dalam diam, perlahan-lahan—sebegitu diam dan perlahan hingga kita sering kali tidak sadar. Ketika vonis telah dijatuhkan, setiap kita pun mendapatkan hukuman setimpal. Yang mengejek akan diejek, yang merampas akan dirampas, yang melukai akan dilukai. Tidak ada yang luput dari jerat Hukum Semesta.
Karenanya, sungguh tepat nasihat tetangga saya pada anaknya, “Kalau kamu tidak suka diejek atau dijelek-jelekkan, kamu juga tidak boleh melakukan hal itu pada temanmu.” Saya berharap, anak lelaki itu akan selalu mengingat nasihat ayahnya yang bijaksana.