Yang agak membingungkan, “imperfection” terdengar elegan.
Mungkin definisinya memang seperti itu.
—@noffret
Mungkin definisinya memang seperti itu.
—@noffret
Semua orang—khususnya yang cukup gaul—tentu kenal Christian Sugiono. Cowok yang cukup sering main sinetron itu bahkan digilai banyak cewek. Tetapi, sejujurnya, saya memendam dendam pribadi kepadanya. Masalahnya sepele. Dia menikah dengan Titi Kamal! Butuh waktu lama bagi saya untuk bisa merelakan perkawinan mereka. (Omong-omong, memangnya saya ini siapa, ya?)
Nah, sekarang cowok itu bikin masalah lagi dengan saya. Suatu Minggu, beberapa bulan yang lalu, saya membaca majalah, dan di dalamnya terdapat foto Christian Sugiono bersama Titi Kamal. Mereka tampak mesra seperti biasa. Tapi yang menarik perhatian saya bukan itu. Di foto tersebut, Christian Sugiono mengenakan jaket kuning cerah yang tampak elegan.
Entah bisikan setan dari mana, saya jadi kepengin punya jaket seperti itu. Padahal, selama ini, saya selalu berusaha menjauhi baju-baju berwarna cerah, karena merasa lebih nyaman mengenakan pakaian berwarna gelap.
Saya pandangi jaket dalam foto itu cukup lama, dan membayangkan jaket itu melekat di badan saya. Sepertinya elegan sekali, pikir saya menimbang-nimbang. Jadi, tanpa pikir panjang, saya menyobek halaman majalah itu, lalu pergi ke swalayan. Dan awal malapetaka dimulai.
Di swalayan, saya langsung menuju bagian pakaian pria, dan mencari-cari jaket seperti yang saya inginkan. Karena tidak juga ketemu, saya pun menemui salah satu pramuniaga di sana, dan menyodorkan sobekan kertas majalah yang saya bawa. Saya bilang pada si pramuniaga, “Mbak, saya lagi nyari jaket yang kayak gini. Ada?”
Mbak-mbak pramuniaga itu memandangi sobekan kertas majalah yang saya sodorkan kepadanya. Dia memperhatikan foto Christian Sugiono di sobekan kertas itu. Tapi saya curiga, dia bukan memperhatikan jaketnya, melainkan orang yang memakainya. Seharusnya tadi kepala Christian Sugiono digunting saja, pikir saya sambil menunggu mbak-mbak itu memelototi foto di kertas.
“Ada, Mbak?” tanya saya.
“Oh, eh... ada, Mas,” sahutnya. Kemudian dia membawa saya ke salah satu bagian rak. Sesaat dia membongkar-bongkar tumpukan pakaian yang ada di sana, kemudian mengambil sesuatu yang tampaknya masih terbungkus plastik. Dengan cakatan dia membuka plastik pembungkusnya, dan... voila! Jaket kuning cerah Christian Sugiono segera terhampar di depan mata.
“Kayak gini kan, Mas?” tanya si mbak pramuniaga sambil memegangi jaket itu.
Saya memperhatikannya, dan membandingkan dengan yang ada di kertas majalah. Warna cerahnya, bentuk kerahnya, bagian sakunya, ritsletingnya, garis hiasannya—semuanya tampak persis, sis, sis. Ini memang jaket yang dikenakan bocah ganteng itu, pikir saya dengan yakin. Saya pun mengangguk pada si mbak pramuniaga. “Ya, ini yang saya cari.”
Tanpa perlu mencobanya di kamar pas, saya sudah yakin kalau jaket itulah yang telah membawa saya ke swalayan. Jadi, begitu semuanya oke, saya pun membawanya ke kasir. Dan membayarnya, lalu membawanya pulang.
Di rumah, saya langsung mencoba jaket itu, dan... alakazam! Entah cermin di rumah sedang berdusta atau mata saya tiba-tiba sakit, jaket kuning cerah itu tampak tidak pas di tubuh saya. Bukan ukurannya yang tidak pas, tapi... oh, well, bagaimana saya harus menjelaskannya? Jaket itu sama sekali tidak tampak elegan seperti yang saya bayangkan, tapi justru tampak aneh!
Bagaimana ini bisa terjadi, pikir saya dengan panik. Masih mengenakan jaket itu, saya mengambil sobekan kertas majalah yang di dalamnya ada foto Christian Sugiono. Lalu membandingkannya. Di kertas majalah, Christian Sugiono tampak sangat elegan mengenakan jaket itu. Di cermin, sosok saya tampak sangat aneh. Saya sebut aneh, karena yang tampak di cermin itu seperti bukan saya, tapi... seperti orang lain.
Ada yang tidak beres, pikir saya. Dengan panik, saya melepas jaket itu dari badan, lalu memakai baju yang biasa. Dan kembali bercermin. Saya lihat diri saya tampak wajar dan biasa—seperti yang saya kenali selama ini. Lalu saya coba lagi jaket sialan tadi. Hasilnya sama. Sosok saya tampak aneh lagi. Berarti yang salah bukan cerminnya, pikir saya dengan idiot.
Kenapa ini bisa terjadi...? Dengan penasaran, saya membongkar isi lemari dan mencoba-coba baju serta jaket saya yang lain, yang biasa saya pakai. Ketika bercermin, semuanya tampak pas. Tidak terlihat mewah, tapi elegan, dan membuat saya nyaman mengenakannya. Lalu saya coba lagi jaket kuning cerah tadi. Dan kembali sosok saya tampak aneh di cermin, yang membuat saya tidak nyaman melihatnya.
Tiba-tiba saya merasa ingin membunuh Christian Sugiono!
Jelas, ini semua kesalahan cowok itu! Cermin di rumah tidak bersalah. Jaket kuning itu tidak bersalah. Pakaian-pakaian saya yang lain tidak bersalah. Mbak-mbak di swalayan tadi juga tidak bersalah. Yang membuat saya tampak aneh ketika mengenakan jaket sialan itu, karena saya bukan Christian Sugiono! Masalahnya sesederhana itu.
Christian Sugiono, kita tahu, punya wujud setampan setan. Sedang saya, oh, well... mungkin semanis iblis. Dua pribadi yang berbeda. Yang tampak hebat bagi Christian Sugiono belum tentu hebat pula bagi saya. Begitu pun sebaliknya. Membayangkan diri saya tampak hebat dengan meniru Christian Sugiono adalah kesalahan yang seharusnya saya sadari sejak awal, sebelum pergi ke swalayan.
Dan sekarang, jaket kuning cerah itu jadi tak menarik lagi, setelah saya sadari tidak pas bagi diri saya sendiri. Yang membuat kita merasa nyaman bukan ketika tampak hebat di mata orang lain, tapi ketika kita tampak hebat bagi diri sendiri.
Selama ini, baju-baju yang biasa saya pilih umumnya berwarna gelap—hitam, cokelat, atau setidaknya biru. Mungkin tidak tampak hebat di mata orang lain. Tapi saya nyaman mengenakannya, dan rasa nyaman dengan pilihan kita sendiri adalah sesuatu yang tak bisa diganti apa pun.
Akhirnya, dengan hati yang patah, saya pun melipat jaket kuning yang baru saya beli, dan memasukkannya kembali ke dalam pembungkusnya. Terus terang saya tidak akan pernah memakai jaket itu, karena membuat saya tidak nyaman, karena menjadikan saya tampak aneh dan asing... bahkan di mata saya sendiri.
Sejak itu pula, saya pun mengingat peristiwa itu sebagai pelajaran yang tak akan pernah saya lupakan. Setiap kali menyaksikan apa pun yang tampak hebat bagi orang lain, saya tidak akan buru-buru menginginkannya. Karena yang tampak indah bagi orang lain belum tentu indah pula ketika kita yang memilikinya.
Postscript:
Kalau Christian Sugiono—entah bagaimana caranya—bisa-bisanya membaca catatan sinting ini, tolong tidak usah dimasukin ke hati ya, pal. ☺