Di Twitter, ada akun dengan username @Kesindirr. Identitas yang ada di bio-nya bernama Indri. Saya tidak tahu siapa Indri, tapi saya salah satu follower-nya, dan menyukai tweet-tweet-nya yang sering nyindir dengan cara sinis, bahkan kadang frontal dan sarkastis. Bagi saya, membaca tweet-tweet Indri sama artinya latihan mental, untuk menguji bahwa mental saya (masih) sehat.
Jika seseorang yang saya kenal menulis tweet sindiran, dan kemudian saya merasa tersindir, bisa jadi saya akan berpikir atau bahkan menuduh dia sengaja menulis tweet sindiran itu untuk saya. Sebaliknya, jika saya yang menulis tweet sindiran, dan kebetulan tweet itu dianggap menyindir seseorang yang saya kenal, bisa jadi dia akan berpikir kalau saya sengaja menyindirnya.
Nah, hal semacam itu tidak terjadi antara saya dengan Indri, karena saya tidak tahu siapa Indri, dan Indri juga tidak kenal saya. Artinya, apa pun yang dicelotehkan Indri melalui tweet sindirannya sama sekali tidak ditujukan untuk saya. Jika kemudian saya tersindir, itu salah saya sendiri. Karena latar belakang semacam itulah, saya menganggap tweet-tweet Indri sebagai penguji kesehatan mental saya.
Seperti yang pernah saya tulis di sini, kita sangat sensitif dengan sindiran. Kadang-kadang, seseorang menulis atau mengucapkan sesuatu yang sama sekali tidak berhubungan dengan kita, tetapi kita merasa tersindir oleh tulisan atau ucapannya. Padahal orang itu sama sekali tidak ingat kita—atau bahkan tidak kenal kita—ketika dia menulis dan mengucapkan kata-kata itu. Tetapi, karena sensitifitas kita yang luar biasa terhadap sindiran, kita pun tersindir.
Mungkin tidak masalah jika kita tersindir dan kemudian selesai. Ada kalanya—dan ini sungguh memalukan—ada orang yang marah-marah pada orang lain gara-gara merasa tersindir, kemudian mencaci-maki orang yang telah (ia anggap) menyindirnya. Itu sungguh lucu dan kekanak-kanakan, karena seolah-olah di dunia ini hanya ada satu orang, yaitu dirinya. Jika ada sesuatu yang dianggap sindiran, dia akan menganggap itu sindiran untuknya. Konyol!
Mengapa kita bisa merasa tersindir? Bagi saya, kita tersindir jika mendapati sesuatu yang berhubungan dengan sifat atau kebiasaan buruk yang kita miliki, namun tidak mau kita akui. Misalnya, jika saya mendapati tweet, “Ada lho, orang yang hidupnya gak jelas antara siang dan malam,” maka saya mungkin akan tersindir, karena merasa memiliki kebiasaan semacam itu.
Dalam hidup sehari-hari, kadang saya memang bingung kapan siang dan kapan malam. Kadang tidur di siang hari, dan asyik kerja di malam hari. Mungkin itu buruk, karena tidak sesuai peruntukan waktu yang benar (siang untuk bekerja dan beraktivitas, sedang malam untuk tidur dan istirahat). Karenanya, saya pun merasa tersindir.
Tetapi, kalau sewaktu-waktu saya mendapati tweet, “Tuh orang sok suci banget! Kayaknya dia mikir yang paling bener tuh cuma dia,” maka saya tidak akan tersindir. Kenapa? Jawabannya sangat jelas, karena saya tidak merasa punya sifat semacam itu. Bahkan terus terang saya juga tidak suka pada orang yang bawaannya merasa paling benar sendiri, paling suci sendiri, kemudian menganggap orang lain yang berbeda dengannya pasti salah.
Jadi, merasa tersindir sebenarnya sinyal yang memberitahu agar kita membenahi diri, agar mengakui bahwa kita memiliki sifat atau perilaku tertentu yang mungkin kurang baik. Karenanya pula, cara paling sehat menghadapi sindiran bukan menyalahkan apalagi mencaci-maki pihak yang membuat kita tersindir, melainkan introspeksi untuk memperbaiki diri.
Hal itu pulalah yang saya terapkan pada diri sendiri ketika membaca tweet-tweet Indri di Twitter. Saya yakin dia tidak kenal saya, sebagaimana saya tidak mengenalnya. Kapan pun dia ngoceh tentang apa pun di timeline-nya, saya akan menganggapnya sebagai pelajaran untuk berkaca. Jika sewaktu-waktu ada tweet Indri yang terasa menyindir saya, maka saya tidak punya alasan untuk menyalahkan atau membenci dia.
Sering kali, tweet Indri tidak sampai menyentuh insting tersindir saya, dan biasanya saya hanya tersenyum atau tertawa ketika membacanya. Misalnya, ada tweet-nya yang berbunyi, “Musim fotografi lo ikut, musim skateboard lo ikut, musim musik metal lo ikut. Dan semua lo tinggalin pas udah gak musim lagi. Norak ya.”
Terus terang saya tertawa membaca tweet itu, dan tidak merasa tersindir sama sekali. Tak peduli seberapa lama saya introspeksi diri, saya tidak merasa punya sifat seperti yang disindirkan Indri dalam tweet itu. Saya tidak suka fotografi, dari dulu maupun sekarang. Saya juga tidak suka skateboard, dari zaman anak-anak sampai dewasa kini. Selain itu, musik metal yang saya suka juga terbatas, dan cuma itu-itu saja. Intinya, saya sama sekali tidak tersindir.
Tetapi, saya yakin ada banyak orang di luar sana yang tersindir oleh tweet itu, khususnya bocah-bocah labil yang masih sering terpengaruh lingkungannya, atau orang-orang telat dewasa yang masih suka diombang-ambingkan tren. Bisa jadi mereka tidak tertawa ketika membaca tweet itu, tapi mungkin misuh-misuh di depan timeline. Bisa jadi pula, mereka akan langsung unfollow Indri gara-gara tweet itu.
Di tweet yang lain, Indri menulis, “mentang2 baru putus gembor2 dirinya jomblo, kalau merasa cantik ya gak usah promosi berlebihan, NORAK!” Beberapa hari kemudian, muncul tweet ini, “Yang jauh lebih cantik dari lo banyak kali neng.” Sekali lagi saya tertawa ketika membaca tweet-tweet itu. Tetapi, sekali lagi, saya juga yakin ada banyak orang yang akan tersindir habis-habisan.
See? Merasa tersindir adalah sinyal yang memberitahu bahwa ada yang tidak beres dengan kepribadian kita.
Oh, well, kadang-kadang saya juga merasa tersindir oleh tweet Indri. Misalnya, pada 12 April 2013, dia menulis, “Udah lah. Gak semuanya yang lu inginkan bisa terwujud di dunia ini.” Kebetulan, waktu itu saya sedang serius menghadapi sesuatu seperti yang tercermin dalam tweet itu. Karenanya, begitu membaca tweet tersebut, saya merasa tersindir, dan bengong, dan mikir, “Ini kayaknya si Indri lagi nyindir aku nih.”
Dalam perspektif yang idealis, saya selalu menginginkan kehidupan pribadi saya benar-benar tepat seperti yang saya harapkan. Sering kali berhasil, dan biasanya memang begitu. Namun, pada waktu itu, sesuatu yang sedang saya kerjakan tidak terwujud seperti yang saya inginkan. Dan saya galau campur risau. Pada waktu itulah saya membuka timeline di Twitter, dan tweet Indri nongol. Saya langsung merasa tersindir.
“Udah lah. Gak semuanya yang lu inginkan bisa terwujud di dunia ini.”
Jika saya menghadapi tweet itu dengan pikiran negatif, saya membayangkan Indri sedang mengejek saya, meremehkan kemampuan saya, bahkan merendahkan harga diri saya. Sebaliknya, jika saya menghadapi tweet itu dengan pikiran positif, saya membayangkan Indri duduk di samping saya, menepukkan tangannya dengan lembut ke bahu saya, menyadarkan bahwa di dunia ini memang tidak ada yang sempurna.
Saya punya dua pilihan dalam menghadapi tweet itu. Merasa tersindir dan terejek, atau merasa menemukan teman yang menyadarkan. Untungnya, saya memilih yang kedua, dan bukannya buru-buru memencet tombol unfollow. Dengan segala tweet sindirannya yang sinis bahkan sarkastis, saya lebih memilih untuk berpikir bahwa Indri sedang berlaku sebagai teman yang mengingatkan, bukannya sebagai cewek jutek yang menjengkelkan.
Akhirnya, seperti yang dikatakannya sendiri dalam tweetnya, “Jangan ke ge-eran deh jadi orang. Emangnya semua twit gue buat lo? Bukan lo doang kali yang baca twit gue.”
Dia benar, bukan hanya saya yang membaca tweet-nya. Setidaknya, ada sepuluh ribu orang lain di Twitter yang juga membaca tweet-nya. Sungguh tolol campur konyol kalau saya sampai marah apalagi membenci Indri gara-gara celotehnya.