“Setiap orang harus mendapat hukuman atas kesalahannya,
agar menyadari kesalahannya.” | Kedengarannya biasa,
tapi ternyata penting sekali.
—@noffret
agar menyadari kesalahannya.” | Kedengarannya biasa,
tapi ternyata penting sekali.
—@noffret
Pada waktu saya masih remaja, di Semarang ada sebuah tabloid yang sangat keren. Kita sebut saja namanya Tabloid X, yang menjadi bacaan ribuan remaja di Semarang dan kota-kota lain di Jawa Tengah. Seperti umumnya tabloid remaja, isi Tabloid X juga seputar berita artis, kegiatan sekolah dan belajar, puisi, cerpen, serta artikel-artikel yang berhubungan dengan dunia remaja.
Tetapi yang paling menarik bukan materinya semata, melainkan pengemasannya. Sebagai media yang terbit di Semarang, Tabloid X benar-benar mencerminkan remaja Jawa Tengah. Idiom-idiom yang digunakan, serta materi-materinya terasa sangat dekat dengan remaja Semarang khususnya, dan anak-anak muda Jawa Tengah umumnya. Cerdas, tapi bersahaja.
Seminggu sekali Tabloid X terbit, dan saya selalu tak sabar menantikannya. Kadang-kadang, saya juga mengirimkan tulisan ke tabloid itu—beberapa kali dimuat, beberapa kali ditolak. Tapi saya tak peduli, karena kecintaan saya pada Tabloid X sangat besar, sebesar remaja lain mencintainya. Meski di Indonesia ada puluhan bahkan ratusan media yang ditujukan untuk remaja, tapi Tabloid X benar-benar tak tergantikan. Keberadaannya telah melekat di hati kami.
Beberapa tahun Tabloid X terbit secara rutin, dan makin lama kualitasnya semakin bagus, baik dalam materi maupun dalam pengemasan. Kertasnya yang dulu buram berganti kertas HVS yang putih dan tebal. Halamannya yang dulu hanya 20-an, bertambah hingga 30-an. Harganya memang naik, tapi kami tak peduli. Kenyataannya kualitas Tabloid X semakin bagus, dan kami memang mencintainya. Penggemar Tabloid X pun semakin banyak, dan saya yakin tiras tabloid itu semakin tinggi.
Sampai suatu hari, tabloid kesayangan kami itu—entah bagaimana asal usulnya—bekerjasama dengan sebuah tabloid terbitan Jakarta. Mungkin, tujuan kerjasama itu salah satunya agar Tabloid X bisa memiliki jangkauan pasar lebih luas, dengan menggunakan jalur distribusi tabloid terbitan Jakarta. Lagi pula, tabloid Jakarta yang bekerjasama dengan Tabloid X juga tergolong tabloid terkenal.
Kabar kerjasama itu dirilis dalam salah satu terbitan Tabloid X, dan kami sebagai pembaca pun harap-harap cemas menunggu seperti apa tampilan Tabloid X versi baru. Redaksi Tabloid X—dalam pengantarnya—menyatakan bahwa nantinya Tabloid X akan lebih keren, lebih funky, lebih gaul, pokoknya lebih segalanya dibanding semula. Maka kami pun makin tak sabar menantikannya.
Tabloid X versi baru di-launching pada suatu hari, dengan acara yang lumayan megah. Edisi pertamanya—menggunakan jalur distribusi tabloid terbitan Jakarta—segera tersebar ke seluruh penjuru Indonesia. Saya dan ribuan remaja lain di Jawa Tengah pun segera pergi ke toko koran untuk membelinya, dengan harapan yang melambung tinggi. Akhirnya tabloid kesayangan kami menasional!
Dan harapan yang melambung tinggi itu, sayangnya, harus kandas di tengah jalan. Tabloid kesayangan kami, yang semula tampil bersahaja dan terasa dekat dengan kami, sekarang telah berubah menjadi sosok lain yang nyaris tidak kami kenal. Jika dulu sampulnya bersahaja, sekarang glamor dan mewah. Materi dan artikel yang dulu terasa lekat dengan keseharian kami, sekarang berganti topik-topik metropolis. Dan idiom-idiom “asing” seperti “Lu” dan “Gue” menghiasi hampir seluruh halamannya.
Ini bukan tabloid kesayangan kami yang dulu, pikir saya ketika membaca edisi pertamanya. Ternyata, kerjasaman antara Tabloid X dengan tabloid terbitan Jakarta itu tidak hanya dalam jalur distribusinya, tetapi juga pada perombakan materinya. Mungkin, karena ditujukan untuk segmen pembaca yang lebih luas, materi dalam Tabloid X pun harus dipermak agar lebih Jakarta-sentris, sebagaimana umumnya tabloid remaja lain yang menasional.
Ini benar-benar kesalahan.
Seminggu sekali, Tabloid X masih rutin terbit, dengan tampilannya yang baru. Tapi semua ciri khas yang dulu kami kenali sudah tak ada lagi. Tidak ada lagi kesan bersahaja, tidak ada lagi idiom-idiom yang lekat dengan keseharian kami, tidak ada lagi kesederhanaan yang kami cintai. Tabloid itu telah malih rupa menjadi sosok asing yang bahkan tak kami kenali.
Jika dulu kebanyakan artikelnya berisi materi bermanfaat seperti tip dan kiat belajar, sekarang materi yang paling banyak menyita halaman tabloid itu adalah berita artis dan gosip selebritis. Jika dulu cara penyajian artikelnya terasa dekat karena menggunakan bahasa sehari-hari kami, sekarang telah berubah menjadi gaya Betawi. Sebagai pembaca setia, saya tidak lagi merasa itu tabloid yang dulu saya cintai. Tabloid itu kini terasa asing.
Semula, saya berusaha bertahan dengan perubahan itu, dan berharap suatu hari Tabloid X mengembalikan penampilannya semula. Tetapi yang saya tunggu tak pernah tiba. Tabloid X memang telah berubah, bahkan berubah jauh. Sampai kemudian, karena merasa tak tahan lagi, saya pun berhenti berlangganan tabloid itu, dan tak pernah membacanya lagi.
Rupanya, yang merasakan hal semacam itu bukan cuma saya. Di Semarang dan sekitarnya, mungkin ada banyak remaja lain yang merasakan hal sama, kemudian juga memutuskan berhenti membaca Tabloid X. Ending-nya sangat mengenaskan. Suatu hari, Tabloid X berhenti terbit! Yang saya dengar, tabloid itu sudah tidak laku lagi. Bertahun-tahun kemudian, sampai hari ini, tak pernah lagi terdengar kabar mengenai Tabloid X.
Sekarang, ketika menulis catatan ini, saya kembali menyayangkan langkah yang ditempuh Tabloid X. Saya tentu memahami awak redaksi tabloid itu mungkin berharap Tabloid X bisa lebih luas distribusinya, semakin banyak pembacanya, dan oplahnya semakin tinggi. Tetapi mengubah tampilan dari sederhana menjadi (sok) glamor adalah kekeliruan. Sama kelirunya mengubah gaya Semarang yang bersahaja menjadi gaya lu-gue ala Jakarta.
Daya tarik utama Tabloid X, hingga saya mau membaca dan jatuh cinta kepadanya, justru pada kesederhanaannya. Berbeda dengan puluhan tabloid remaja lain, Tabloid X tampil bersahaja. Di situlah daya tarik utamanya! Saya pikir, ribuan remaja lain di Jawa Tengah mencintai Tabloid X juga karena faktor yang sama—karena tabloid itu sederhana, dan ditulis dengan gaya bersahaja. Karenanya, ketika kesederhanaannya diganti tampilan yang glamor, kami justru patah hati. Ending-nya, Tabloid X berhenti terbit.
Berkaca pada kehidupan dan kematian Tabloid X, kita melihat bahwa melepaskan jati diri adalah kesalahan terbesar yang bisa dilakukan manusia. Benar, bahwa sebagai manusia kita perlu memperbaiki diri. Tetapi memperbaiki diri tidak berarti melepaskan jati diri atau mengubah diri yang asli.
Jika bocah Semarang kuliah di Jakarta, kemudian lupa bahasa kampungnya ketika pulang, ia bukan memperbaiki diri, tapi kehilangan jati diri. Begitu pula jika bocah Jakarta kuliah di Jerman, lalu lupa bahasa Indonesia ketika pulang, dia juga bukan memperbaiki diri, tapi kehilangan jati diri. Perbaikan diri tidak mengilangkan diri yang asli.
Tabloid X, yang saya ceritakan tadi, mungkin berniat memperbaiki diri. Tapi upayanya juga mungkin “kebablasan”, hingga sampai kehilangan jati diri. Kenyataannya, ciri khas yang semula melekat pada tabloid itu sudah tak ada lagi. Kesederhanaan berganti tampilan glamor, sosok bersahaja berubah kosmopolit. Ketika ciri khasnya sudah hilang, para pembacanya ikut menghilang. Tabloid X pun tinggal kenangan.
Jati diri adalah kesadaran bahwa yang hebat itu tidak jauh di luar sana, tetapi di sini, di dalam diri kita sendiri. Artinya, berusaha menjadi sosok lain dengan melepaskan jati diri sama halnya melepaskan kehebatan dan kelebihan yang sebenarnya telah kita miliki. Ketika kita melepaskan kelebihan kita dengan tujuan agar bisa mendapatkan kelebihan yang dimiliki orang lain, hasilnya adalah bunuh diri. Kelebihan yang kita tuju tidak bisa dimiliki, sementara kita telanjur kehilangan jati diri.
Ada ribuan penyanyi, boyband, dan group musik, yang biasa muncul di televisi. Siapakah yang paling kita kagumi? Benar, yang memiliki jati diri! Ada jutaan blog personal di internet yang ditulis beragam orang dari berbagai belahan bumi. Kira-kira blog manakah yang paling banyak memiliki pembaca setia? Jawabannya sama saja, yang punya jati diri!
Jati diri adalah titipan istimewa yang dianugerahkan secara khusus untuk masing-masing kita. Melepaskan jati diri sama saja membuang sesuatu yang berharga. Itu kesalahan terbesar yang bisa dilakukan manusia.