Penipuan itu terjadi di depan mata kita—sewaktu-waktu—dan kita sering kali ikut terlibat di dalamnya, berpura-pura seolah itu tidak terjadi. Kita tahu itu penipuan, tapi kita pura-pura tak tahu, begitu pula orang lain, dan orang yang sedang menjadi korban penipuan.
Penipuan itu terus berlangsung dari waktu ke waktu, semakin banyak korban yang tertipu. Dan semua orang tetap pura-pura tak tahu. Beberapa korban kadang menyadari telah tertipu, tetapi kebanyakan mereka malu mengakui. Alih-alih mengakui dan memberitahu orang lain agar tidak ikut tertipu, mereka justru berusaha agar orang-orang lain tertipu seperti mereka.
Maka gaya hidup baru pun dimulai. Orang-orang yang telah menjadi korban penipuan berusaha menarik orang-orang lain agar tertipu seperti mereka. Bukannya memberitahu orang lain atas jebakan tipuan yang telah memerangkap mereka, orang-orang itu justru berusaha menipu orang-orang lain tentang kondisinya.
Seiring waktu, penipuan itu pun menjadi kebudayaan, dan diwariskan turun temurun. Kita adalah anak-anak hasil tipuan yang memerangkap orang-orang dari masa lalu. Dan, bisa jadi, kita pun akan terus melanjutkan perjalanan penipuan itu, dan mewariskannya kepada anak-anak kita.
....
....
Kadang-kadang aku ngeri menjadi manusia.