Rindu hari biasa, yang tenang, damai, dan hening, seperti biasa.
Ramadan adalah bulan baik. Kita semua, khususnya yang muslim, sepakat dengan hal itu. Bagaimana tidak baik? Selama Ramadan, satu bulan penuh, kita diminta untuk berpuasa. Berbeda dengan ibadah lain, puasa adalah ibadah yang tidak bisa—atau setidaknya sulit—dipamer-pamerkan. Karenanya, ibadah yang paling mungkin dilakukan dengan ikhlas adalah puasa. Karena hanya Tuhan dan pelakunya yang tahu.
Setelah seharian berpuasa, malam hari juga ada kegiatan sebulan penuh berupa salat tarawih. Karenanya, siang malam, selama Ramadan, umat muslim terus beribadah. Di sela-sela ibadah penting itu, banyak pula orang yang menjalankan ibadah lain, semisal rajin membaca kitab suci, hingga khatam sekali atau bahkan beberapa kali dalam sebulan. Banyak pula yang salat malam sendirian, dan lain-lain. Semuanya adalah hal baik.
Selama Ramadan pula, banyak orang baik muncul di mana-mana, yang memberi dan membagi-bagikan takjil untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan, agar mereka—yang berpuasa—bisa berbuka saat magrib tiba.
Sejujurnya, hati saya selalu tersentuh setiap kali menyaksikan pemandangan itu. Orang-orang yang tidak kita kenal, membagi-bagikan makanan dan minuman pada orang-orang yang tidak mereka kenal, dan mereka memberikan kebaikan itu sambil tersenyum. Mereka tidak mengharapkan apa pun, selain murni ingin membantu orang-orang lain yang berpuasa agar bisa berbuka. Itu pemandangan indah yang hanya mungkin kita temui di bulan Ramadan.
Kemudian, saat Ramadan hampir berakhir—atau menjelang datangnya lebaran—orang-orang kaya mulai menghitung dan menyisihkan harta untuk berzakat pada orang-orang sekitar. Semakin kaya, semakin banyak yang bisa dibagikan. Itu pun hal baik yang bisa kita temukan selama Ramadan. Bulan Ramadan tidak hanya menjadi kesempatan untuk makin rajin beribadah, tapi juga kesempatan untuk berbagi.
Dan daftar kebaikan selama Ramadan bisa ditambah dan ditambah lagi, karena memang begitu banyak.
Sayangnya, selama Ramadan, juga ada hal-hal yang bisa dibilang buruk. Sederet keburukan yang, ironisnya, juga hanya muncul selama Ramadan. Setidaknya, saya menemukan beberapa keburukan tersebut.
Pertama, kebisingan yang makin parah.
Bagi sebagian orang, Ramadan tampaknya juga menjadi kesempatan untuk mengumbar kebisingan sedemikian parah. Dari menjelang subuh, sampai siang, sampai sore, sampai malam, sampai dini hari, sampai subuh lagi, kebisingan nyaris tak berhenti. TOA di masing-masing musala dan masjid seperti berlomba menjadi yang terkeras. Dan terbising.
Di lingkungan tempat saya tinggal, kira-kira seperti ini ilustrasi kebisingan yang terjadi: Menjelang subuh, atau sekitar usai makan sahur, muncul suara TOA dari masjid yang menyuarakan orang berselawat, sampai tiba azan subuh. Setelah salat subuh usai, muncul suara TOA kembali, kali ini suara pengajian. Sampai satu-dua jam suara TOA bergema di lingkungan tempat saya tinggal, dan hal itu terus berlangsung setiap hari.
Usai pengajian tadi, lingkungan mulai tenang, tanpa suara. Biasanya, orang-orang mulai berangkat kerja. Tengah hari, saat dhuhur, kebisingan kembali melanda. Usai dhuhur, kebisingan belum berhenti, karena TOA sekali lagi menyuarakan apa saja, dari suara orang berselawat sampai pengajian. Lalu hal sama terulang pada waktu asar. Sampai magrib tiba.
Usai magrib, suasana tenang sejenak, lalu muncul isya, dan salat tarawih dimulai. Selesai tarawih, orang-orang biasanya membaca Alquran sampai tengah malam, tentu juga dikeraskan TOA. Dan itu berlangsung setiap malam, sebulan penuh.
Semua suara yang saya sebutkan di atas bukan hanya berasal dari satu sumber, tapi dari beberapa sumber sekaligus. Jadi, kadang suara TOA dari masjid “bersaing” dengan suara-suara TOA dari musala-musala di sekitar. Akibatnya, yang terdengar adalah perang kebisingan yang sahut menyahut. Dan itu, tentu saja, berlangsung sebulan penuh selama Ramadan.
Kalau kalian pergi ke Mekkah atau ke negara-negara berbahasa Arab—entah untuk berhaji, umrah, atau urusan lain—coba perhatikan orang-orang di sana, saat membaca Alquran. Orang-orang di negara berbahasa Arab umumnya membaca Alquran dengan suara lirih, atau bahkan dalam keheningan tanpa suara. Kenapa? Karena mereka tahu apa yang dibaca!
Ketika membaca Alquran, mereka tahu arti ayat-ayat yang mereka baca, jadi mereka pun membaca dengan kekhusyukan. Berbeda dengan kita, orang Indonesia umumnya, yang membaca Alquran sekadar membaca. Kita tidak tahu apa arti ayat yang kita baca. Dan seperti orang tidak tahu umumnya, kita pun membaca Alquran dengan suara keras, bahkan sampai dikeraskan TOA.
Pengetahuan selalu memeluk hening. Ketidaktahuan berteriak dalam bising.
Masih ingat zaman kita SD dulu, ketika baru bisa membaca aksara? Kita sangat senang membaca dengan suara keras, meski yang dibaca sekadar IBU BUDI PERGI KE PASAR, dan cara kita membaca juga terdengar menggelikan. Tapi kita senang melakukannya. Kenapa? Karena kita sebenarnya tidak tahu apa yang kita baca!
Setelah dewasa, apakah kita masih melakukan ketololan semacam itu? Tentu saja tidak! Ketika membaca novel, misalnya, dan kita tenggelam dalam kisah di dalamnya, kita membaca dalam hati, tanpa usaha mengeraskan bacaan kita. Kenapa? Karena kita benar-benar tahu apa yang sedang kita baca! Hal sama terjadi pada orang-orang di negara berbahasa Arab. Ketika membaca Alquran, mereka tahu apa yang sedang mereka baca, dan mereka pun khusyuk serta “tenggelam” saat membaca.
Kesadaran memeluk hening, kenaifan berteriak bising.
Begitu pula dengan pengajian di masjid, atau di musala. Kenapa kita tidak melirihkan suara, hingga hanya didengar orang-orang yang datang? Bukankah itu lebih khusyuk, sebagaimana mestinya orang belajar? Kenapa pengajian—yang merupakan aktivitas belajar—harus dikeraskan TOA, hingga kebisingan menjalar ke mana-mana? Tidak semua orang nyaman dengan kebisingan. Dan pengajian atau bukan pengajian, kebisingan tetap kebisingan.
Itu “keburukan” pertama selama Ramadan, yaitu kebisingan tanpa henti, dari TOA yang saling bersahutan, dan nyaris tak pernah usai.
Keburukan kedua, petasan.
Demi segala demi, saya benar-benar tidak paham dengan petasan. Setiap kali Ramadan datang, setiap kali pula petasan muncul. Memang, pelarangan petasan akhir-akhir ini menjadikan petasan banyak berkurang, tapi bukan berarti tidak ada. Selalu ada orang-orang kurang kerjaan yang entah bagaimana caranya bisa memiliki petasan, lalu menyulutnya, dan menambah kebisingan.
Suara TOA dan ledakan petasan adalah kombinasi yang menjadikan Ramadan serupa pasar malam.
Yang ketiga, anak-anak bermain di jalanan.
Entah bagaimana dengan daerahmu, tapi di daerah saya selalu ada “fenomena” yang selalu muncul setiap kali Ramadan. Yaitu anak-anak kecil yang bermain di tengah jalan raya. Biasanya, mereka main bola di tengah jalan, ketika lalu lintas sepi, sejak dini hari. Jadi, kalau saya kebetulan keluar rumah pukul 01.00 ke atas—biasanya untuk mencari makan—hampir bisa dipastikan akan melihat anak-anak itu.
Keberadaan anak-anak bermain bola di jalan raya tidak hanya terjadi di satu lokasi. Tapi di banyak lokasi. Di mana pun ada jalan raya yang relatif sepi, hampir bisa dipastikan di situ ada anak-anak kecil bermain bola. Mereka biasanya membuat gawang dari tumpukan sandal, lalu menjadikan jalan raya sebagai lapangan. Ketika ada kendaraan lewat, mereka pun menghentikan permainan. Tetapi... KENAPA MEREKA HARUS BERMAIN BOLA DI JALAN RAYA?
Kenapa mereka tidak bermain di jalanan kampung yang lebih aman? Atau di lapangan sekalian? Di sekitar tempat tinggal saya, misal, ada lapangan yang sangat luas, yang bisa digunakan untuk apa pun, termasuk untuk bermain bola. Tetapi, anak-anak kecil itu bukan bermain di lapangan yang jelas-jelas aman dan lapang, mereka malah bermain bola di jalan raya! Ke mana orang tua anak-anak itu?
Dulu, zaman petasan masih sering digunakan, anak-anak itu tidak hanya bermain bola, tapi juga bermain petasan. Tampaknya, mereka senang mengerjai orang-orang yang lewat dengan ledakan petasan.
Beberapa tahun lalu, saya pernah berkendara sendirian, dan mendapati sesuatu yang mencengangkan. Sekitar sepuluh meter di depan saya, ada orang naik motor sendirian, melewati kumpulan anak kecil yang bermain di jalanan. Orang itu melaju perlahan-lahan, karena di situ banyak anak kecil. Lalu muncul suara ledakan mengejutkan, diringi hujan kertas seperti busa yang menyembur dari botol soda. Orang tadi terkejut setengah mati, tubuh dan motornya diselimuti cuilan kertas, sementara anak-anak di sekitarnya tertawa-tawa seperti orang gila.
Saya tidak tahu petasan keparat apa yang digunakan anak-anak itu, yang jelas ledakan dan hujan kertas tadi menguarkan aroma petasan. Dan, hell, ke mana orang tua anak-anak itu?
Di tempat lain, saya juga pernah menyaksikan pemandangan yang tak kalah mengerikan. Beberapa anak tertabrak sekaligus oleh sebuah mobil yang sedang melaju. Berdasarkan penjelasan dari orang-orang yang berkerumun, mobil itu berbelok ke jalan raya—tempat anak-anak bermain bola di tengah jalan—dan mengira jalan raya itu sepi, karena memang dini hari. Karenanya, si pengendara pun menjalankan mobil agak cepat, dan anak-anak di sana tidak sempat menyingkir ketika mobil itu tiba.
Yang saya saksikan, ada empat enak terbaring di trotoar dengan kondisi seperti umumnya orang habis tabrakan. Sementara anak-anak lain—teman-teman si korban—tampak linglung. Salah siapa, kalau sudah seperti itu?
Itu keburukan ketiga yang selalu muncul di kala Ramadan, yaitu anak-anak yang bermain di tengah jalan raya. Apa guru-guru mereka mengajarkan bahwa bermain di tengah jalan termasuk ibadah di bulan Ramadan? Saya yakin tidak! Jadi, dari mana mereka belajar kebiasaan buruk itu—bermain di tengah jalan raya selama Ramadan?
Keburukan keempat, macet di mana-mana!
Untuk poin keempat, sepertinya tidak perlu saya bahas penjang lebar, karena kalian pun tentu mengalami. Setiap kali Ramadan datang, apalagi menjelang datangnya lebaran, macet akan terjadi di mana pun. Kendaraan mengular di mana-mana, jalan raya menjadi tempat yang sangat tidak menyenangkan. Dibutuhkan kesabaran seorang nabi untuk bisa merayap di jalan raya tanpa misuh-misuh.
Kemacetan tidak hanya terjadi di jalan raya, kau tahu. Lalu lintas internet juga semakin padat berkali-kali lipat setiap kali Ramadan tiba, dan itulah kenapa sinyal internet kita sering down ketika Ramadan.
Keburukan kelima—dan semoga yang terakhir—harga-harga naik!
Tempo hari, saat mengganti oli di tempat langganan, si mekanik menyebutkan harga yang lebih mahal untuk oli yang biasa saya pakai. Saya tanya, “Kok naik, harganya?”
“Iya, Mas,” sahut si mekanik, “Maklumlah, Ramadan.”
Istilah itu—“maklumlah, Ramadan”—kelak akan berlanjut menjadi “maklumlah, lebaran.” Kalian pasti sudah familier dengan ungkapan semacam itu, kan? Ramadan dan lebaran tampaknya menjadi kesempatan bagi orang-orang untuk menaikkan harga-harga barang, dari oli mesin sampai mesin jahit sampai mesin pembuat kopi!
Yang menjengkelkan, harga-harga yang naik itu tidak kembali turun ketika Ramadan dan lebaran sudah usai, padahal mereka menaikkan harga dengan dalih Ramadan dan lebaran.
Saya pernah berlangganan capcay di tempat ini, sampai bertahun-tahun. Ketika pertama kali membeli capcay di sana, satu porsi hanya Rp7.000. Setiap tahun, saat lebaran, harga itu naik, kadang Rp1.000, kadang pula lebih. Setiap tahun begitu. Setiap kali pula, kalau ditanya, si penjual capcay menjawab, “Maklumlah, lebaran.”
Tapi meski lebaran sudah lama hilang, harga capcay tidak pernah turun. Saat ini, harga capcay di sana sudah menyentuh Rp21.000, dan tahun ini mungkin akan naik lagi dengan alasan, “Maklumlah, lebaran.”
Hal semacam itu, tentu saja, tidak hanya terjadi pada capcay. Tapi juga pada barang-barang lain, pada makanan-makanan lain, pada banyak kebutuhan hidup kita.
Tidak ada perayaan lain di Indonesia yang menciptakan inflasi sedemikian gila, seperti yang terjadi pada saat lebaran. Dan inflasi, meminjam istilah para bankir, adalah “perampokan paling jahat, paling besar, tapi pelakunya tak pernah bisa ditangkap”.
Dan ketika hal semacam itu terjadi, yang paling menjadi korban adalah kaum dhuafa, orang-orang lemah yang tak pernah mampu mengikuti laju inflasi. Mereka menjadi pihak paling tertindas saat lebaran datang, ketika harga-harga naik, ketika inflasi makin mencekik, sementara kehidupan makin kembang kempis. Mereka dibuat senang sejenak dengan memiliki uang banyak, sehingga bisa membeli apa pun selama lebaran, sampai kemudian realitas seusai lebaran menjerat mereka bagai tali gantungan.
Ramadan datang sebagai bulan penuh keberkahan ibadah, tetapi juga menjadi moment yang menghadirkan aneka masalah. Lebaran datang sebagai hari kemenangan, tapi di saat sama juga melahirkan penindasan.