Rabu, 20 Juni 2018

Tembang Kampung Halaman

Aku tidak tahu bagaimana pikiran atau perasaan orang-orang 
yang mudik, sampai mau susah payah. Yang jelas, 
aku heran mereka mau melakukannya.


Setiap manusia menghadapi kehidupan. Namun, cara kita menghadapi hidup tampaknya tidak semata tergantung pada hidup yang kita hadapi, melainkan juga pada diri kita sendiri. Lebih spesifik, pada isi pikiran dan kepribadian kita. Saya mulai memahami kenyataan ini, saat lebaran dan bertemu para famili.

Ada famili saya yang bekerja di Bandung sejak lulus STM. Karena hidup di Bandung hingga puluhan tahun, bisa dibilang dia sudah menjadi orang Bandung. Dia berangkat kerja ke Bandung saat masih lajang, dan kini sudah punya istri serta dua anak. Dia punya rumah di Bandung, anak-anaknya bersekolah di Bandung, dan istrinya juga orang Bandung.

Setiap tahun, famili saya selalu pulang ke Pekalongan, saat lebaran tiba. Orang tuanya memang tinggal di Pekalongan, begitu pula adik-adiknya. Jadi, selama puluhan tahun, dia selalu pulang saat lebaran, meninggalkan Bandung yang telah menjadi tempat tinggalnya kini. Kadang dia mudik bersama istri dan anak-anaknya; kadang pula hanya bersama anak, karena si istri memilih tinggal di Bandung. Yang jelas, famili saya selalu mudik tiap lebaran tiba.

Bahkan setelah orang tuanya meninggal, famili saya tetap mudik tiap lebaran, pulang ke rumah orang tua, yang kini ditinggali adiknya.

Pas ketemu saat lebaran, saya sempat menanyakan hal itu, dengan cara bertanya bagaimana suasana lebaran di Bandung yang menjadi tempat tinggalnya.

Famili saya bercerita, di Bandung tidak ada acara silaturrahmi seperti di Pekalongan; tidak ada tetangga yang mengunjungi tetangganya, atau saudara yang mengunjungi sanak saudaranya. Di Bandung, katanya, orang-orang hanya bersalaman usai salat Ied, dan setelah itu tidak ada apa-apa. Orang-orang di sana akan sibuk dengan kegiatan keluarga masing-masing, tapi yang jelas tidak ada acara kunjung mengunjungi dari satu rumah ke rumah seperti yang biasa ia temui di Pekalongan.

“Karena itulah, aku selalu mudik tiap lebaran,” kata famili saya. “Karena aku ingin menikmati suasana lebaran seperti di sini, bertemu dan beramah-tamah dengan tetangga, famili, sanak saudara, merekatkan ikatan kemanusiaan satu dengan yang lain.”

(Catatan: Saya tidak tahu pasti suasana lebaran di Bandung, dan bisa jadi cerita famili saya tidak mencakup semua tempat di Bandung, namun khusus untuk tempat tinggalnya, yang mungkin dihuni kaum pendatang.)

Famili saya bahkan bercerita. Pernah, di suatu lebaran, dia tidak mudik, karena waktu itu istrinya sedang hamil besar. Pada waktu itu, famili saya mencoba mengunjungi tetangga-tetangganya, dengan maksud untuk bersilaturrahmi seperti yang biasa ia lakukan di kampung halaman. Uniknya, tetangga-tetangga di sana justru kaget dan bingung. Ketika famili saya mengajak mereka bersalaman, tetangga-tetangganya menyatakan, “Tadi (di masjid), kan udah?”

Ada juga cerita ketika beberapa tetangga datang ke rumah famili saya, pas lebaran. Bukan untuk bersilaturrahmi, tapi semata-mata memang ingin dolan, karena sedang libur panjang. Waktu itu, karena membawa adat dari kampung halaman, famili saya menyediakan aneka jajan di meja ruang tamu, untuk menyambut lebaran dan tamu-tamu yang mungkin datang. Para tetangga heran melihat hal itu, dan menanyakan kenapa di meja ada banyak jajan.

Setelah menceritakan semua itu, famili saya berkata, “Tidak ada suasana lebaran yang lebih hangat selain lebaran di kampung halaman. Di sini, aku bisa kembali menikmati suasana lebaran yang kunikmati sejak kecil. Berkunjung ke tetangga, dan mendapat kunjungan mereka, melepas kangen dengan teman-teman dekat, mengakrabkan kembali hubungan dengan saudara dan sanak famili. Kamu akan tahu betapa penting semua itu, jika hidup jauh dari kampung halaman.”

Selain famili yang sekarang tinggal di Bandung, ada famili lain yang sekarang hidup di Jakarta. Dia juga telah bekerja di Jakarta sejak masih lajang, sementara sekarang sudah beristri dan punya dua anak. Dulu, saya kadang datang ke tempat tinggalnya, di kawasan Kebon Jeruk, dan daerah itu memang banyak dihuni pendatang.

Famili saya ini juga selalu mudik tiap lebaran, meski dia mengaku urusan mudik bisa sangat merepotkan. Anak-anaknya masih kecil. Perjalanan dari Jakarta ke Pekalongan bersama dua balita, bisa menjadi perjalanan yang merepotkan. Tetapi, seperti yang disebut tadi, dia selalu pulang, mudik ke kampung halaman. Bahkan kini, setelah orang tuanya meninggal, dia tetap mudik, demi bertemu kakak dan adiknya.

Bertahun lalu, dia bercerita, pernah satu kali dia tidak mudik. Waktu itu dia belum menikah, jadi tinggal sendirian di rumah. Alasannya tidak mudik waktu itu karena pekerjaan penting dan mendesak, yang tidak bisa ditinggal. Jadi, ketika lebaran datang, dia memilih tetap di Jakarta, agar pekerjaannya beres.

Dia menceritakan, “Sehari sebelum lebaran, tempat tinggalku sudah sepi. Para tetangga sudah mudik. Waktu itu, aku menjalani hari seperti biasa, menyibukkan diri dengan kerja. Malam harinya, saat takbir mulai terdengar dari masjid, aku merasa... begitu kesepian. Tiba-tiba, aku sangat merindukan kampung halaman, merindukan orang tua, merindukan kakak dan adik, merindukan lebaran di rumah... dan aku tidak bisa menahan tangisku yang runtuh tiba-tiba.”

Semalaman dia menangis, menikmati lebaran sendirian di rumahnya yang sepi, membayangkan suasana berlebaran di kampung halaman.

“Saat itu aku tahu, bagaimana rasanya sendirian, dan kesepian,” ujarnya. “Di waktu-waktu lain, sendirian mungkin bukan masalah. Aku bahkan jarang merasa kesepian, karena terus sibuk bekerja. Tapi sendirian di malam lebaran, di tempat yang jauh dari kampung halaman, bisa membuatmu merasa begitu sepi.”

Karena itu pula, dia selalu mudik, pulang ke kampung halaman setiap lebaran tiba. Semua kerepotan dan lelah yang mengiringi perjalanan pulang, baginya, tidak ada apa-apanya dibanding kesenangan bertemu keluarga, kegembiraan berjumpa dengan sanak saudara, dan kebahagiaan dalam lebaran yang meriah.

Selain dua famili yang saya ceritakan di atas, sebenarnya ada beberapa famili lain, yang juga tinggal di luar kota. Mereka juga selalu mudik tiap lebaran, pulang ke kampung halaman. Rata-rata, mereka sama menceritakan bahwa lebaran di luar kota berbeda dengan lebaran di kampung halaman. Tidak ada kemeriahan antartetangga, tidak ada acara saling mengunjungi, dan semacamnya.

Bahkan adik saya sendiri, yang juga tinggal di luar kota, selalu pulang ke rumah orang tua saat lebaran tiba. Bagi adik saya, berlebaran di rumah jauh lebih menyenangkan daripada berlebaran di tempat tinggalnya.

Berbeda dengan mereka, saya juga punya kisah tersendiri terkait lebaran.

Adik nenek saya—dari pihak ibu—tinggal di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Sejak dulu, saya akrab dengan mereka (nenek dan kakek), dan sudah berkali-kali mengunjungi mereka—kadang tinggal di sana sampai beberapa hari—hingga saya saling kenal dengan para tetangga di sana, yang rata-rata ramah.

Bertahun lalu, kakek dan nenek menawari agar saya tinggal di rumahnya saat lebaran. Saya bersedia. Maka, beberapa hari sebelum lebaran, saya tinggal di rumah mereka. Sampai beberapa hari setelah lebaran, saya masih tinggal di sana.

Ketika lebaran datang, saya benar-benar menikmati suasana di rumah nenek. Waktu itu memang terdengar suara takbir dari masjid dan musala, sebagaimana di tempat lain. Tetapi, saya merasakan suasana yang lebih syahdu. Saya masih ingat, waktu itu, duduk sendirian di teras rumah, mendengar suara takbir yang bersahutan, dan saya merasakan suasana lebaran yang begitu menenteramkan.

Di tempat tinggal nenek, tidak ada acara tetangga yang saling mengunjungi. Tidak ada keramaian atau kemeriahan seperti di tempat orang tua saya. Karenanya, meski seharian tinggal di rumah, saya merasa “damai”, karena tidak harus bersalaman atau berbasa-basi dengan siapa pun. Di rumah nenek juga ada berbagai makanan dan jajan yang bisa dinikmati, sebagai bentuk perayaan lebaran. Tapi hanya itu.

Karenanya, waktu itu, saya begitu damai saat duduk di teras rumah, menikmati teh dan udud sendirian, dan menatap suasana depan rumah yang biasa-biasa saja. Para tetangga menjalankan aktivitas seperti biasa, anak-anak bermain seperti biasa, orang-orang menikmati kehidupan seperti biasa. Begitu indah... dan mendamaikan. Itu, jujur saja, lebaran terbaik yang pernah saya nikmati.

Karena itu pula, saya bertanya-tanya pada para famili yang tinggal di luar kota, kenapa mereka harus susah-payah pulang saat lebaran, dan kalian sudah mengetahui jawaban mereka, sebagaimana yang tadi saya tuliskan.

Setiap kita menghadapi lebaran. Namun, cara kita menghadapi datangnya lebaran tampaknya tidak semata tergantung pada lebaran itu sendiri, melainkan juga pada diri kita sendiri. Lebih spesifik, pada isi pikiran dan kepribadian kita. Ada yang menyukai lebaran seperti di kampung halaman, yang ramai dan meriah, yang penuh sukacita bersama tetangga, saudara, dan sanak famili. Namun, ada pula yang lebih suka menikmati lebaran dalam hening, seperti yang saya alami.

Mudik, pada akhirnya, bukan sekadar pulang ke kampung halaman, tapi juga kesempatan untuk mendengar nyanyian yang paling kita rindukan. Sebagian kita mendengar nyanyian indah bersama banyak orang, sebagian lain mendengar nyanyian indah di keheningan.

 
;