Menyatakan Idulfitri sebagai "kembali suci" itu salah,
tapi kita menganggapnya benar, karena membayangkan diri
"kembali suci" terasa menyenangkan. Jadi kita pun menerimanya
sebagai kebenaran, karena memuaskan ego (ketololan) kita
—@noffret
tapi kita menganggapnya benar, karena membayangkan diri
"kembali suci" terasa menyenangkan. Jadi kita pun menerimanya
sebagai kebenaran, karena memuaskan ego (ketololan) kita
—@noffret
Boleh percaya boleh tidak, saya sangat jarang—bahkan hampir tidak pernah—makan lontong/ketupat opor di saat lebaran.
Kalau saya pulang ke rumah ortu, ibu saya memang menyediakan masakan opor, lengkap dengan sambal goreng kentang, dan lain-lain, plus ketupat dan lontong, seperti umumnya orang lain dalam merayakan lebaran. Tapi saya sangat jarang menikmati. Kalaupun ikut makan lontong opor, semata-mata hanya untuk—meminjam istilah Jawa—tombo pingin.
Sedari dulu saya memang kurang berminat pada masakan-masakan yang bikin eneg, semisal opor ayam, apalagi jika kuahnya kental, seperti yang biasa dibuat ibu-ibu di rumah. Ibu saya juga bikin kuah opor seperti itu—agak kental—jadi makan sedikit saja langsung eneg.
Saya pernah bilang kepadanya, agar bikin opor dengan kuah yang encer, seperti yang umum dibuat para penjual lontong opor di jalan. Tapi ibu saya bilang, dia sengaja bikin opor dengan kuah kental, untuk membedakannya dengan kuah opor yang dijual di mana-mana. “Itulah beda masakan opor buatan sendiri dengan opor hasil beli,” katanya.
Sebenarnya, saya justru bisa menikmati lontong opor yang beli di pinggir jalan, karena kuah opornya encer. Hasilnya, setelah makan selesai, perut terasa kenyang, bukan terasa eneg. Kata ibu saya—dan mungkin kata para ibu lain—para penjual lontong opor sengaja bikin kuah opor yang encer, agar tidak boros santan. “Namanya juga orang jualan,” kata mereka.
Tapi, bukankah tujuan orang makan adalah untuk merasakan kenyang—dan bukan untuk gagah-gagahan, meski sekadar gagah-gagahan dalam urusan santan?
Atau mungkin karena dasarnya saya memang kurang suka dengan masakan yang bikin eneg semacam itu. Kalau boleh memilih di saat lebaran, saya lebih suka makan nasi dengan sayur lodeh, atau sayur sop, atau sayur asem, dan yang segar-segar lain, daripada makan lontong dan opor berkuah kental plus sambal goreng yang—meski enak—juga bikin eneg.
Kenyataannya, ketika lebaran datang—khususnya sejak hari kedua atau ketiga lebaran—banyak warung di pinggir jalan yang diserbu pembeli, dari warung bakso, warung mi ayam, warung nasi goreng, warung lamongan, warung nasi uduk, warung soto, dan lain-lain.
Kenapa orang-orang itu menyerbu warung-warung makan—untuk mengenyangkan perut—padahal di rumahnya ada makanan berlimpah? Saya bertanya pada mereka yang saya kenal, dan mereka menjawab bahwa mereka bosan dengan makanan di rumah yang bikin eneg! Itulah kenapa, mereka terpaksa masuk warung makan, karena ingin menikmati makanan yang “wajar”.
Ironis atau konyol?
Jadi yang merasa eneg dengan masakan di rumah saat lebaran bukan cuma saya, tapi juga banyak orang lain. Mereka sama-sama eneg dengan lontong opor berkuah kental, dan perut mereka berontak, hingga mereka keluar rumah dan kelayapan, demi menemukan makanan wajar yang bikin perut nyaman. Sekali lagi, ironis atau konyol?
Tapi lontong opor tampaknya telah menjadi semacam kewajiban bagi banyak orang di saat lebaran, khususnya bagi masyarakat Indonesia. Sepertinya, lebaran belum bisa dianggap “kaffah” kalau belum bikin lontong opor. Karenanya, meski mereka sadar bahwa opor ayam cuma bikin eneg selama lebaran, mereka tetap membuatnya.
Karenanya pula, setiap menjelang lebaran, harga ayam akan naik karena orang-orang butuh daging ayam untuk opor. Begitu pula harga kelapa untuk santan, harga cabai, dan lain-lain. Tapi mereka tak peduli, tentu saja. Karena opor ayam, yang dinikmati dengan lontong atau ketupat, bagi mereka adalah “kewajiban di saat lebaran”.
Sekarang, sambil menulis catatan ini, saya bertanya-tanya, mengapa orang-orang Islam di Indonesia selalu merayakan lebaran dengan opor ayam? Sepertinya tidak ada hadist apalagi ayat suci yang memerintahkan, misalnya, “Hai orang-orang beriman, nikmatilah lebaran dengan opor ayam, karena dengan cara itulah kalian akan memahami makna kehidupan... dan seterusnya, dan seterusnya.”
Jadi, dari mana asal usul kebiasaan yang bikin eneg itu?
Kesalahan akan melahirkan kesalahan berikutnya, dan itulah yang terjadi di saat lebaran, khususnya di Indonesia. Masyarakat umum di Indonesia merayakan dan memahami lebaran secara salah, dan karenanya melahirkan kesalahan-kesalahan berikutnya. Setiap kesalahan yang tidak dibenahi, akan membuahkan kesalahan-kesalahan lain, dan begitu seterusnya.
Esensi lebaran atau hari raya Idulfitri, adalah kesempatan bagi umat muslim untuk menikmati makanan setelah sebulan berpuasa Ramadan. Karenanya, Idulfitri bermakna “hari raya makanan” atau hari raya untuk menikmati makan. Karena fungsinya untuk menikmati makanan, maka setiap orang berhak untuk memasak makanan apa pun, sesuai selera dan kesukaan masing-masing. Yang penting bisa dinikmati!
Bagi yang suka sayur lodeh, misalnya, bisa membuat sayur lodeh yang paling enak di hari lebaran, biar bisa menikmati sayur lodeh paling enak sedunia—meski menurut versi diri sendiri. Begitu pula yang suka makanan dengan sambal dan lalap, bisa membuat makanan semacam itu. Yang suka makan sate kambing, buatlah sate kambing. Yang suka sayur asem, masaklah sayur asem. Yang cinta sambal terasi, buatlah sambal terasi. Intinya, menikmati makanan yang kita suka!
Dengan membuat makanan kesukaan masing-masing, kita pun bisa merayakan Idulfitri secara “kaffah”, yaitu menikmati makanan yang benar-benar kita suka, setelah sebulan lamanya berpuasa. Sekali lagi, itulah esensi Idulfitri! Untuk menikmati makanan!
Sayangnya, masyarakat Indonesia merayakan Idulfitri secara salah. Wong disuruh bikin makanan apa saja yang disukai, agar bisa dinikmati di hari lebaran, tapi malah sibuk mencari ayam dan bikin santan. Diminta untuk menikmati makanan selama lebaran di rumah, malah kesana kemari untuk maaf-maafan. Giliran salah beneran, malah enggan minta maaf. Akibatnya, lebaran bikin eneg! Ya opornya, ya cara merayakannya yang keliru.
Mayoritas umat Islam di Indonesia mengira lebaran adalah “kembali suci” (hasil pemaknaan ngawur atas istilah Idulfitri). Karena pemahaman yang keliru itu, mereka pun merayakan lebaran dengan mewah, karena berpikir, “Yeah, orang suci ini!”
Itulah kenapa mereka sibuk maaf-maafan, karena mengira aktivitas itu menjadikan mereka “semakin suci”. Dan itulah kenapa mereka merayakan lebaran dengan opor ayam, karena... well, orang suci tentu makannya mewah, kan? Opor ayam! Masak iya orang suci makan sayur lodeh? Nggak level kalau orang suci menikmati lalapan! Ora pantes kalau orang suci makan sambel terasi!
Oh, well, orang suci! Orang suci yang makan opor ayam! Oh, well....
Agama sebenarnya mengajarkan kesederhanaan, dan—dalam hal-hal tertentu—menghormati pilihan masing-masing orang. Karena nyatanya tidak semua orang bisa diseragamkan, termasuk diseragamkan dalam hal opor ayam. Begitu pula dalam merayakan lebaran. Idulfitri tidak menjadikanmu suci, jadi berhentilah bertingkah seolah kau orang suci.
Idulfitri dimaksudkan agar umat Islam bisa menikmati makanan, setelah sebulan berpuasa Ramadan. Karena tujuannya untuk menikmati makanan, maka setiap orang boleh dan berhak bikin makanan apa pun yang disuka.
Kalau memang dasarnya suka opor ayam, ya buatlah opor ayam! Tapi jangan merasa berdosa hanya karena tidak bikin opor ayam di hari lebaran. Karena seperti apa makanan kesukaanmu, maka seperti itulah hari rayamu, lebaranmu, Idulfitri-mu! Bergembiralah karena bisa makan kembali setelah sebulan berpuasa, berbahagialah dengan makanan yang kita suka—apa saja.
Sekali lagi, Idulfitri adalah kesempatan untuk (kembali) menikmati makanan. Sudah, sesederhana itu.
Wong agama mengajarkan kesederhanaan, tapi kita malah sok petingkah. Agama memberi jalan kemudahan, kita malah mencari-cari masalah. Agama memerintahkan agar rajin introspeksi, kita malah merasa jadi orang suci!
Merasa suci, tapi makan opor ayam. Eneg, jadinya!