Kamis, 06 Juni 2019

Mendoktrin Kucing, dan Mengajak Kubis Jalan-Jalan

Kucing-kucing di depan rumahku kalau bertengkar
pasti menimbulkan keributan. Mungkin pertengkaran mereka
akan lebih enak didengar, kalau saja mereka menggunakan
kosakata yang baik dan benar.
@noffret


Teman-teman dekat saya tahu, kalau saya punya kecenderungan aneh yang—menurut mereka—tidak ilmiah dan tidak akademis, tapi menyenangkan. Yaitu suka mengajak omong benda-benda mati. Mereka pernah memergoki saya sedang “mengobrol” dengan pecahan genteng, kurungan ayam, tusuk gigi, potongan kabel, bungkus rokok, tiang listrik, termos, isi staples, sebut lainnya.

Kenyataan itu bagi saya sama sekali tidak aneh. Karena, jauh sebelum mengenal kebiasaan itu, saya bahkan pernah berteman dengan tutup botol kecap sampai bertahun-tahun. Tampaknya, pertemanan dengan tutup botol kecap itulah yang lalu mengembangkan kesukaan saya berteman dengan benda-benda mati.

Biasanya, teman saya yang baru mengetahui kebiasaan itu akan kaget, lalu bingung—tapi belakangan mencoba melakukannya!

Ada teman yang pernah memergoki saya “ngobrol” dengan galon Aqua. Saya tertawa-tawa dengan galon Aqua, seolah kami sedang membicarakan sesuatu yang lucu. Teman saya tanpa sengaja melihat itu, dan mula-mula bingung. Setelah saya jelaskan kalau saya mengobrol dengan galon Aqua, dia menatap seolah saya “sudah tak bisa disembuhkan”.

Yang geblek, belakangan dia mengaku kalau sekarang juga kadang “mengobrol” dengan galon Aqua di rumahnya. “Ternyata rasanya menyenangkan,” ujarnya sambil cekikikan.

Ada teman lain bernama Farhan. Di rumahnya, Farhan punya kolam ikan berisi puluhan koi. Ikan-ikan itu tampak berenang ke sana kemari di air yang jernih, memamerkan tubuh putihnya yang indah. Ketika pertama kali mendapati kolam koi itu, saya merasakan hasrat tak tertahan ingin “mengedukasi” mereka. Jadi, itulah yang saya katakan pada Farhan, “Aku boleh memberikan edukasi untuk ikan-ikanmu?”

Farhan, yang paham dengan “ketidakberesan” saya, segera mempersilakan. “Pasti menyenangkan kalau ikan-ikanku bisa lulus kuliah,” ujarnya cekikikan.

Saya pun lalu duduk di dekat kolam ikan itu, dan mulai ngoceh ngalor ngidul, memberikan “edukasi” pada mereka. Sebegitu ekspresif saya ngoceh, sampai tanpa sadar saya menggerak-gerakkan tangan layaknya orang berorasi. Farhan terus cekikikan menyaksikan saya memberikan “edukasi” pada ikan-ikannya.

Tentu saya tidak tahu apakah ikan-ikan koi milik Farhan memahami yang saya katakan atau tidak. Dan itu tidak penting. Karena, kalau pun mereka paham, buat apa? Wong mereka ikan!

Tapi aktivitas “mengedukasi ikan koi” memberi saya semacam kepuasan batin, karena telah mengeluarkan aneka hal yang tidak mungkin saya katakan pada sesama manusia. Itulah intinya!

Belakangan, Farhan mengaku, dia juga kadang mengajak ngobrol ikan-ikannya, karena penasaran bagaimana rasanya berbicara dengan ikan koi. Ketika saya tanya bagaimana rasanya, dia menjawab, “Lebih menyenangkan daripada ngobrol dengan manusia.”

Di lain waktu, saya dolan ke rumah Haris, seorang teman lain. Di rumah Haris, ada beberapa kucing yang tampak lucu, tapi—kata Haris—kucing-kucing itu sering kurang ajar, seperti buang kotoran di tempat tidur, sampai mencuri makanan di dapur. Waktu mendengar itu, saya bilang ke Haris, “Sepertinya kucing-kucingmu perlu didoktrin agar tahu sopan santun.”

Haris lalu mengumpulkan kucingnya. Ada tiga kucing peliharaan Haris yang tampaknya menurut pada pemiliknya. Setelah tiga kucing itu berkumpul, saya pun mulai mendoktrin mereka tentang pentingnya menjaga etika, sopan santun, dan menjalani hidup dengan lurus. Kucing-kucing itu menatap saya—entah mereka paham atau tidak dengan ocehan saya—sementara Haris cekikikan sambil guling-guling.

Yang ajaib, menurut Haris, sejak itu kucing-kucingnya jadi lebih “sopan”, dan tidak lagi melakukan hal-hal menjengkelkan seperti sebelumnya. Gara-gara itu pula, belakangan ada teman-teman lain yang minta saya agar “mendoktrin” kucing-kucing mereka. “Tolong kucingku didoktrin, biar sopan kayak kucing-kucingnya Haris!”

Well, pada awal 2000-an, di Cina ada fenomena aneh yang menggejala di kalangan anak-anak muda, yaitu jalan-jalan dengan kubis. Jadi, mereka mengikatkan tali pada sebuah kubis yang masih utuh, lalu menarik kubis itu sambil jalan-jalan, seperti umumnya orang yang jalan-jalan dengan anjing peliharaan. Meski aneh, jalan-jalan dengan kubis pernah menjadi tren di Cina, yang dilakukan banyak anak muda di sana.

Bagaimana tren yang aneh semacam itu bisa terjadi? Setidaknya ada dua latar belakang. Pertama adalah kesepian, dan kedua adalah sulitnya menemukan orang yang benar-benar bisa disebut teman.

Anak-anak muda di Cina masa itu merasa kesepian, karena sulit menemukan orang yang benar-benar bisa disebut teman. Meski mungkin terdengar aneh, fenomena semacam itu sebenarnya terjadi di mana-mana. Ada banyak orang yang diam-diam kesepian, merasa tidak punya teman. Bisa karena orang-orang di sekeliling kita sibuk dengan urusan dan masalahnya sendiri, bisa pula karena mereka tidak bisa memahami atau menerima diri kita apa adanya.

Kondisi itu pula, sebenarnya, yang mengembangkan kebiasaan aneh saya dalam hal berbicara dengan benda-benda mati atau dengan hewan. Kalau kau berbicara dengan sesama manusia, selalu ada kemungkinan lawan bicaramu salah paham dengan maksudmu, menangkap omonganmu secara keliru, bahkan sampai membocorkan rahasiamu.

Hal serupa tidak terjadi kalau kau berbicara dengan galon Aqua, atau dengan termos, atau dengan pecahan genteng, atau dengan tusuk gigi, atau dengan kurungan ayam, atau dengan ikan-ikan koi.

Karenanya saya tidak heran, ketika beberapa teman yang mengikuti kebiasaan aneh itu mengatakan bahwa berbicara dengan benda-benda mati ternyata “lebih menyenangkan daripada ngobrol dengan manusia”.

Ini sebenarnya ironi paling ironis. Manusia adalah satu-satunya makhluk hidup yang mampu berbicara. Kemampuan berbicara itu pula yang memungkinkan manusia untuk bercakap-cakap menggunakan kata dan kalimat yang terstruktur, serta bisa dipahami lawan bicara. Tetapi, meski memiliki fasilitas hebat semacam itu, manusia adalah lawan bicara yang sangat... sangat buruk!

Manusia sering salah paham dengan maksud lawan bicaranya, hingga yang dimaksud A tapi yang ditangkap malah Z. Lalu kesalahpahaman itu, bisa jadi, dikoar-koarkan kepada orang lain, hingga muncul salah paham bahkan fitnah. Kenapa? Alasannya sepele, karena manusia adalah bangsat yang paling tidak bisa mendengarkan!

Kalau kau berbicara dengan seseorang, bahkan iblis di neraka tidak bisa menjamin bahwa orang yang berbicara denganmu benar-benar mendengarkan dan memahamimu. Inilah masalah terbesar manusia, sekaligus yang paling menciptakan banyak masalah di dunia. Orang tidak mendengarkan dan menyimak dengan baik, salah paham, lalu mengabar-ngabarkan kesalahpahamannya kepada orang lain.

Cocot manusia, adalah lubang neraka sesungguhnya. Kalau menggunakan kalimat Jean Paul Sartre, “Hell is other people.”

Di Tokyo, Jepang, tepatnya di daerah Setagaya, ada sebuah bar bernama Tokyo Cotton Village. Kalau kita masuk ke bar itu, kita bisa memesan minuman yang tersedia di sana—layaknya di bar mana pun. Tapi ada yang spesial di Tokyo Cotton Village. Setiap tamu yang datang tidak hanya mendapat minuman yang dipesan, tapi juga sebuah gulungan kapas!

Untuk apa gulungan kapas itu? Untuk dijadikan teman selama di bar!

Jadi, suasana di Tokyo Cotton Village sangat unik. Orang-orang duduk di meja masing-masing, menyesap minumannya, dan mereka asyik sendiri-sendiri dengan gulungan kapas di tangan. Ada yang memutar-mutar kapas itu dengan khusyuk, ada pula yang mengajaknya bercakap-cakap. Bar aneh ini masih ada di Jepang, dan kalian bisa datang ke sana untuk membuktikan yang saya katakan.

Dengan layanan yang mungkin terdengar aneh itu, Tokyo Cotton Village termasuk bar terkenal yang dikunjungi banyak tamu di Tokyo. Alasannya juga aneh, karena orang-orang yang datang ke bar itu merasa bahwa bermain dengan kapas terasa “menenangkan pikiran dan tubuh”.

Banyak kalangan menengah di Jepang yang datang ke bar itu usai jam kerja, duduk menyesap minuman, lalu memutar-mutar kapas sendirian, dengan alasan aktivitas itu membantunya melupakan hal-hal buruk di tempat kerja.

Sekali lagi, kita mungkin bertanya-tanya, sesepi itukah kehidupan masyarakat Jepang? Pertanyaan itu sebenarnya bisa kita tanyakan pada diri sendiri: Benarkah kita tidak menghadapi kesepian sama seperti mereka?

Kita, yang hidup di negeri yang—konon—ramah-tamah ini, mungkin mudah menemukan dan mendapat teman bicara di saat kesepian. Tapi kita tidak pernah yakin apakah orang yang bersama kita, yang menghabiskan waktu berjam-jam ngobrol dengan kita, benar-benar mendengarkan dan memahami kita, ataukah sebaliknya. Bahkan, kita tidak pernah bisa yakin apakah dia memang bisa dipercaya atau tidak. Karena kawan yang paling dekat pun bisa berubah menjadi pengkhianat.

Ada satu titik ironi ketika manusia menyadari bahwa dia lebih nyaman bercakap-cakap dengan termos yang diam, daripada dengan manusia yang sama-sama bisa bicara tapi tak mampu mendengarkan.

Ada satu titik ironi ketika manusia memahami bahwa dia lebih senang berbicara dengan pecahan genteng yang bukan apa-apa, daripada dengan manusia yang tampak beradab tapi ternyata tak bisa dipercaya.

Ada satu titik ironi ketika manusia memilih berbicara dengan ikan-ikan koi, meski mereka tidak akan paham yang dia bicarakan, daripada berbicara dengan manusia dan hanya menimbulkan kesalahpahaman.

Akhirnya... ada satu titik ironi ketika manusia asyik jalan-jalan dengan kubis dan berteman dengan gulungan kapas, karena—meski benda mati—mereka benar-benar bisa menjadi teman.

 
;