Minggu, 16 Juni 2019

Reuni, dan Dunia yang Berbeda

Kalau kau punya teman yang sudah menikah, tapi kalian
masih bisa bersama, bercakap-cakap, bercanda dan tertawa,
saling bertukar pikir seperti dulu saat masih sama-sama lajang,
maka kau dan temanmu sungguh orang-orang
beruntung dan terberkati.
@noffret


Istilah reuni lekat dengan kenangan, nostalgia, dan hal-hal dari masa lalu, karena reuni memang sering dilakukan “orang-orang dari zaman dulu” di zaman sekarang. Reuni SMP mempertemukan kita dengan teman-teman zaman SMP, reuni SMA mempertemukan kita dengan teman-teman zaman SMA, dan begitu seterusnya. Kenyataannya, orang melakukan reuni karena memang ingin kembali bernostalgia dengan teman-teman lama.

Teman-teman saya dari zaman SMP juga mengadakan reuni. Sebenarnya, mereka bahkan melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar reuni.

Beberapa tahun lalu, Si A ketemu Si B, lalu ketemu Si C dan Si D. Mereka semua teman-teman saya, yang dulu bersekolah di SMP yang sama. Empat orang itu bertemu dan terhubung lewat Facebook, lalu berinisiatif mengumpulkan teman-teman dari zaman SMP. Inisiatif itu mudah terlaksana, karena sekarang ada Facebook, dan sebagian teman kami memang menggunakan media sosial tersebut.

Dari Facebook, mereka saling berbagi nomor ponsel, lalu aktif berkomunikasi di grup WhatsApp yang mereka bikin secara khusus. Lewat grup WA itulah, jaringan mereka semakin luas, karena Si D bisa terhubung dengan Si F, lalu terhubung dengan Si G, dan seterusnya, sampai akhirnya sebagian besar teman-teman SMP berkumpul di grup WA itu.

Dari obrolan di grup WA, mereka menindaklanjuti dengan pertemuan langsung, untuk mengakrabkan kembali pertemanan lama. Pertemuan itu pun sudah berlangsung berkali-kali, bisa dibilang secara rutin, kadang di rumah seseorang, kadang pula di tempat tertentu yang disepakati.

Selama itu pula, saya tidak pernah ikut terlibat sama sekali.

Salah satu teman SMP saya adalah anak famili saya. Sebut saja Si Z. Dia perempuan, sebaya dengan saya, dan sudah punya suami serta dua anak. Hubungan kami dekat—layaknya famili—tapi kedekatan itu juga hanya sebatas sebagai famili. Beberapa tahun lalu, ketika teman-teman dari zaman SMP saling terhubung di Facebook, Si Z memberitahu saya soal itu, bermaksud agar saya ikut terhubung.

Tapi karena saya tidak menggunakan Facebook, saya pun mengatakan terus terang. “Sayang sekali,” ujar saya waktu itu. “Aku hanya pakai Twitter. Kalau ada teman kita yang juga pakai Twitter, kabari aku, biar kita bisa saling follow.”

Di luar dugaan, waktu itu Si Z tampak bingung. “Twitter itu apa?”

Saya pun menjelaskan, bahwa Twitter tak jauh beda dengan Facebook, tapi lebih simpel. Dia manggut-manggut dengan penjelasan saya, tapi entah paham atau tidak.

Beberapa waktu kemudian, ketika teman-teman SMP mulai saling berkomunikasi lewat WhatsApp, Si Z juga menghubungi saya, dan meminta saya agar bergabung dengan grup WA yang telah dibuat. Tapi karena saya tidak menggunakan WhatsApp, saya pun berkata terus terang tentang hal itu.

“Sayang sekali, aku tidak pakai WA,” kata saya kepada Si Z. Tapi saya mengizinkan Si Z untuk membagikan nomor ponsel saya, agar teman-teman kami bisa menelepon atau berkirim SMS ke saya dengan mudah.

Mungkin karena teman-teman kami tidak pernah menggunakan sarana komunikasi selain WA, mereka tidak ada yang menelepon atau mengirim SMS ke saya—sampai saat ini.

Lalu, ketika teman-teman SMP mulai mengadakan pertemuan secara langsung, Si Z pun rutin menghubungi saya—lewat SMS atau menelepon. Biasanya, dia mengabari, “Nanti sore, teman-teman akan ketemu di Kafe G. Kamu datang, ya.”

Waktu itu, agak terkejut, saya merespons, “Duh, pemberitahuannya kok mendadak sekali?”

Karena sedang sangat sibuk, saya tidak berani menjanjikan akan datang atau tidak. Pikir saya, waktu itu, saya akan datang kalau memang bisa. Tapi kalau nyatanya memang tidak mungkin meninggalkan kerja, mau bagaimana lagi?

Akhirnya, waktu itu, saya tidak bisa datang.

Lain waktu, Si Z memberitahu, “Ini teman-teman lagi kumpul di rumahku. Kamu datang, sini!”

Pemberitahuan yang sangat mendadak. Saya tidak bisa datang.

Lain waktu lagi, Si Z mengabari, “Besok siang ada pertemuan di Rumah Makan F. Kami semua berharap kamu datang.”

Tapi lagi-lagi, saya tidak datang.

Dan hal itu terus terjadi beberapa kali, dan saya tetap tidak pernah datang. Waktu itu, saya sudah mengatakan pada Si Z, agar tidak mengabari secara mendadak, karena saya sering panik hingga tidak bisa datang, karena tidak mungkin meninggalkan pekerjaan begitu saja.

“Kalau bisa,” pesan saya pada Si Z, “kabari tiga hari sebelum hari H, agar aku bisa siap-siap.”

Tapi Si Z terus menerus mengabari secara mendadak. “Soalnya teman-teman juga bikin acara secara spontan,” katanya.

Jadi, mereka saling ngobrol ngalor ngidul di WA, lalu tercetus rencana tiba-tiba untuk kumpul di suatu tempat, dan rencana itu pun dilakukan. Itulah kenapa, menurut Si Z, acara pertemuan selalu mendadak.

Ya silakan saja, toh itu hak mereka. Tapi saya tidak bisa mengikuti acara-serba-mendadak semacam itu, apalagi sekadar kumpul-kumpul tidak jelas. Saya punya kesibukan dan pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan sewaktu-waktu seenaknya. Dan kalau diminta memilih antara kerja atau kumpul-kumpul, saya jelas akan memilih kerja!

Saya hanya akan meninggalkan pekerjaan untuk sesuatu yang mendadak, jika—dan hanya jika—sesuatu itu memang mendesak. Misal, ada orang mati, dan saya harus melayat. Tak peduli sesibuk apa pun, saya akan meninggalkan pekerjaan, dan melayat si mati, termasuk mengantarkan kepergian terakhirnya ke kubur. Itu sesuatu yang memang mendesak, dan tidak bisa ditunda-tunda, juga tidak bisa direncanakan beberapa hari sebelumnya. Karenanya, tak peduli sesibuk apa pun, saya akan datang, dan meninggalkan pekerjaan.

Tapi kalau sekadar kumpul-kumpul, lalu haha-hihi tidak jelas—apa pun alasan dan motivasinya—saya tidak bisa “di-ndadak-ndadakkan”. Saya harus benar-benar meluangkan waktu untuk hal-hal semacam itu. Karenanya, saya bilang ke Si Z, “Kabari aku, minimal tiga hari sebelum acara.”

Karena saya tidak pernah datang setiap kali dikabari Si Z, rupanya ketidakdatangan itu menjadi bahan percakapan di antara teman-teman. Mungkin, teman-teman kami bertanya apa kesibukan saya pada Si Z, hingga sangat sulit untuk bertemu dengan mereka. Lalu mereka—sebagaimana orang-orang yang tidak akademis lainnya—mereka-reka dan berasumsi terkait alasan saya tidak pernah datang setiap kali diundang.

Dan asumsi mereka tiba pada kesimpulan yang tidak ilmiah dan tidak akademis, yang belakangan membuat saya ingin menangis sambil tertawa sambil ngamuk sambil misuh-misuh. Mereka berasumsi bahwa saya tidak pernah datang ke acara kumpul-kumpul, karena saya belum kawin!

Astaghfirullahalaziiim....

Teman-teman SMP saya memang rata-rata sudah kawin dan punya anak, baik yang laki-laki maupun perempuan. Fakta itu, rupanya, membawa mereka pada asumsi tadi, bahwa saya tidak pernah datang ke acara kumpul-kumpul, akibat malu karena belum kawin.

Itu benar-benar asumsi yang asu, seasu-asunya!

Saya tahu hal itu, karena Si Z mengatakannya langsung kepada saya. Pas lebaran kemarin, saya menemani ibu datang ke rumah Si Z untuk silaturrahmi, dan Si Z—untuk kesekian kali—mengabari saya tentang pertemuan yang akan diadakan teman-teman zaman SMP. Karena mendadak, saya pun—untuk kesekian kali—mengatakan tidak bisa datang.

Lalu Si Z mulai ngoceh, persis seperti ibu-ibu sok pintar yang merasa dirinya paling bijaksana di bawah langit. “Kamu tidak perlu malu,” ujarnya kepada saya, seolah saya anak idiot yang baru lulus TK. “Kamu tidak perlu malu karena belum kawin, toh teman-teman bisa memaklumi hal itu...” dan seterusnya, dan seterusnya, dan sebagainya, dan sebagainya, dan asu seasu-asunya.

Antara ingin tertawa dan menangis dan ngamuk, saya bertanya pada Si Z, “Kenapa kamu menyimpulkan aku tidak pernah datang ke acara kumpul-kumpul karena malu akibat belum kawin?”

Sekali lagi, Si Z menjawab pertanyaan saya dengan nada sok pintar, persis seperti ibu-ibu yang kurang belajar tapi merasa paling pintar sedunia-akhirat.

“Lha pekerjaanmu tuh apa?” ujarnya. “Wong kamu kerja di rumah sendiri, tidak menjadi karyawan di perusahaan mana pun, tapi kamu tidak pernah bisa meluangkan waktu. Wong teman-teman kita yang kerja kantoran saja bisa selalu datang. Padahal mereka cuma karyawan yang kerja di tempat orang lain, dan mereka juga punya banyak kesibukan karena sudah berkeluarga. Sementara kamu hidup sendirian, tinggal di rumah sendirian, bekerja di rumah sendiri, tapi diajak kumpul-kumpul tak pernah bisa.”

Si Z tahu saya menulis buku, jadi dia mengira pekerjaan saya hanya menulis buku. Dalam pikirannya, mungkin, pekerjaan menulis adalah pekerjaan bebas yang bisa dilakukan kapan saja, karena tidak terikat jam kantor. Yang tidak dia tahu... menulis buku HANYA SALAH SATU pekerjaan saya! (Selama ini saya memang tidak pernah menjelaskan pekerjaan lain yang saya urusi, karena Si Z tidak akan paham!)

Akhirnya, dengan agak dongkol, saya pun mencoba menjelaskan pada Si Z mengenai pekerjaan saya lebih detail—apa yang saya lakukan di rumah, bagaimana keterkaitan pekerjaan saya dengan beberapa perusahaan yang namanya mungkin ia kenal, sampai kesibukan yang terus saya geluti setiap hari, dari bangun tidur sampai mau tidur lagi.

Menutup penjelasan itu, saya pun mengatakan, “Karena itulah, aku tidak bisa pergi-pergi seenaknya. Karena, meski bekerja di rumah sendiri, aku terikat jadwal yang sangat ketat. Kalau kamu mengabari acara mendadak, aku akan panik, karena jelas tidak bisa meninggalkan pekerjaan begitu saja. Lain soal kalau kamu mengabari beberapa hari sebelumnya, aku akan punya waktu untuk mempersiapkan pekerjaanku, hingga aku bisa meninggalkannya dengan tenang.”

Selama saya menjelaskan, Si Z ternganga-nganga. Seperti yang sudah saya duga, dia tidak paham sama sekali pada penjelasan saya! Beberapa kali dia bertanya, dan saya berusaha menjelaskan dengan cara sederhana, dan dia tetap tidak paham.

Saya pun akhirnya menyadari, kami hidup di dunia yang berbeda. Meski kami dekat sebagai famili, nyatanya hanya itulah yang kami miliki. Kami tersambung oleh garis darah, tapi kami rupanya tidak hidup di dunia yang sama.

Si Z, sebagaimana umumnya orang lain, telah memiliki dunianya sendiri—dunia yang telah sangat ia kenal—yakni perkawinan, keluarga, pasangan, dan anak-anak. Sebegitu yakin dia dengan dunianya, sampai berpikir bahwa saya malu bertemu teman-teman, karena tidak memiliki dunia sebagaimana yang ia—dan teman-teman lain—miliki.

Dan saya pun akhirnya bisa membayangkan, apa yang akan saya hadapi jika sewaktu-waktu saya berkesempatan datang di acara reuni teman SMP kami. Mereka pasti sama sekali tidak bisa memahami saya, sebagaimana saya juga tidak bisa memahami mereka. Karena meski pernah tumbuh bersama di sekolah yang sama, kami kini hidup di dunia yang berbeda.

Saya berharap Si Z, juga teman-teman dari SMP, membaca catatan ini, agar mereka tidak salah sangka, terkait ketidakdatangan saya pada acara reuni yang mereka adakan. Tapi saya tahu, mereka tidak akan menemukan catatan ini. Karena Si Z, dan mungkin teman-teman yang lain, tidak tahu kalau saya punya blog, bahkan mungkin tidak tahu apa itu blog.

Karena dalam pikiran mereka, internet hanyalah Facebook, dan setiap orang modern pasti menggunakan WhatsApp. Persis seperti anggapan orang-orang bahwa setiap manusia harus kawin dan beranak-pinak.

Entah kenapa, saya sedih membayangkannya.

 
;