Jumat, 09 Agustus 2019

KFC, Eskalator, dan Rumitnya Otak Manusia

Kejahatan terburuk yang pernah kuperbuat adalah
berpura-pura pada semua orang bahwa aku orang yang bahagia.
Kurt Cobain


Siapa pun yang biasa makan di Kentucky Fried Chicken (KFC) pasti melihat siluet wajah seorang pria di kemasan KFC—misal di gelas mereka. Kita tahu, itu siluet Harland Sanders, si penemu resep KFC. Jika kita perhatikan, siluet tersebut menampilkan wajah Harland Sanders seutuhnya, dan di bawah wajah atau kepala Harland Sanders terdapat dasi berbentuk silang.

Siluet itu sebenarnya dengan jelas mengilustrasikan wajah dan dasi, dan orang pun paham bahwa itu wajah dan dasi. Karenanya, setiap kali kita melihat siluet wajah Harland Sanders di gelas atau kemasan KFC, otak kita pun seketika membayangkan wajah Harland Sanders dan dasinya.

Lalu, suatu hari, seseorang di Twitter menampilkan gambar siluet wajah Harland Sanders plus dasi tersebut, dengan tambahan tweet, “Kenapa wajah bapak ini lebih besar dari ukuran tubuhnya?”

Jadi, rupanya, dia mengira dasi yang menyilang di bawah wajah Harland Sanders sebagai miniatur tubuh—dua tangan dan kaki!

Tweet itu viral, dan seketika ditanggapi banyak orang, yang—anehnya—ikut melihat “tubuh” Harland Sanders!

Banyak orang yang memberi komentar, kira-kira seperti ini, “Dari dulu saya sudah tahu kalau itu wajah dan dasi. Tapi sekarang saya jadi melihat bahwa itu sebenarnya wajah dan tubuh.”

Komentar lain, “Sekarang saya kesulitan untuk melihat bahwa itu wajah dan dasi. Yang saya lihat sekarang adalah wajah dan tubuh. Tolong kembalikan penglihatan saya!”

Komentar lain lagi, “Tweet ini (maksudnya tweet awal yang mempertanyakan kenapa wajah Harland Sanders lebih besar dari tubuhnya) telah meng-hack pikiran saya. Sekarang yang saya lihat adalah wajah dan tubuh!”

Sebegitu ramai tweet tersebut, sampai pihak KFC (diwakili akun Twitter resmi mereka) memberi respons dengan menyatakan, “Itu dasi, Mas!”

Bahkan meski KFC telah menegaskan bahwa “itu dasi”, orang-orang yang telah membaca tweet awal tadi telanjur mengalami “kekacauan otak”. Meski sejak awal mereka tahu dan sadar bahwa itu dasi, sekarang mereka melihat objek lain, bahwa “bisa jadi yang menyilang di bawah wajah Harland Sanders adalah tubuh—tangan dan kaki”.

Kisah ini adalah salah satu contoh nyata yang menunjukkan rumitnya otak manusia. Betapa otak—sumber pikiran kita—ternyata bisa “dibelokkan” dengan sangat mudah, dan kita benar-benar “berbelok”.

Sebelum tweet awal tadi muncul, orang-orang sudah tahu dan memahami bahwa siluet di kemasan KFC adalah wajah Harland Sanders dan dasi. Mereka tidak membayangkan dasi menyilang di bawah wajah Sanders sebagai miniatur tubuh. Tapi begitu membaca tweet itu, otak mereka seperti digiring untuk melihat “sesuatu yang sebelumnya tak terlihat”. Bahwa bisa jadi itu sebenarnya bukan dasi, melainkan tubuh dalam ukuran kecil.

Pikiran manusia adalah sesuatu yang kuat sekaligus rapuh. Ia kuat, karena bisa mewujudkan sesuatu yang tidak/belum ada menjadi ada. Tapi juga rapuh, karena ia rentan dimanipulasi, atau mudah dipengaruhi—meski dalam kadar berbeda.

Di mal atau swalayan, kita biasa menjumpai eskalator, yang memungkinkan kita naik dan turun dengan mudah. Setidaknya ada dua macam eskalator, yaitu eskalator yang berundak (mirip tangga), dan eskalator yang rata (tidak berundak). Saat menggunakan eskalator itu, entah naik atau turun, saya pikir kalian tidak punya pikiran macam-macam, selain hanya berdiri dan membiarkan eskalator membawa ke atas atau ke bawah.

Dulu, saya juga tidak punya pikiran apa pun, setiap kali menggunakan eskalator di mal atau swalayan, entah eskalator berundak atau datar. Tetapi, sejak menyaksikan serial Final Destination, saya punya “kekhawatiran” setiap kali menggunakan eskalator datar. (Kalian yang sudah menonton Final Destination dan masih ingat adegan-adegan di dalamnya, pasti paham yang saya maksud.)

Ketika menggunakan eskalator berundak, saya tidak punya perasaan atau kekhawatiran apa pun. Tapi ketika menggunakan eskalator datar, saya sering diliputi kekhawatiran. Entah kenapa, saya selalu berpikir, “Jangan-jangan eskalator ini runtuh saat orang-orang masih di tengah jalan... dan sebagainya, dan sebagainya.” (Ya meski kekhawatiran saya tidak pernah terbukti, dan semoga tidak akan pernah terjadi!)

Karena adanya kekhawatiran itu pula, saat menggunakan eskalator datar, indra-indra di tubuh saya jadi sangat sensitif. Telapak kaki saya (meski memakai sepatu) seperti bisa merasakan ganjalan yang paling halus sekalipun, mata saya bisa melihat apakah permukaan eskalator benar-benar rata atau memiliki sedikit gundukan, sementara telinga saya seperti bisa mendengar dengung lembut mesin yang menggerakkan eskalator. Ini insting alami ketika manusia merasa khawatir.

Kenyataannya, eskalator yang saya gunakan baik-baik saja, hanya saya yang mungkin terlalu khawatir, gara-gara teringat adegan dalam Final Destination.

Sekali lagi, ilustrasi ini menunjukkan bagaimana rumitnya otak manusia, dan bagaimana otak kita mencerna informasi yang pernah kita terima. Orang-orang yang semula sudah tahu bahwa siluet di kemasan KFC adalah wajah dan dasi, bisa berubah melihat wajah dan tubuh, ketika pikiran mereka diberi informasi tentang itu. Saya yang sebelumnya nyaman tiap kali menggunakan eskalator di swalayan, bisa berubah khawatir, setelah pikiran saya mendapat informasi menyeramkan dari adegan film.

Kenyataannya, sering kali—entah sadar atau tidak—kita menghadapi dan menilai sesuatu berdasarkan informasi (pengetahuan, pengalaman) yang pernah kita terima sebelumnya. Dalam hal ini, tentu saja, masing-masing orang bisa berbeda, karena pengetahuan dan pengalaman tiap orang juga berbeda, atau bahkan subjektif.

Kalian yang pernah menonton Final Destination, dari seri satu sampai seri terakhir, bisa jadi tidak mengalami kekhawatiran yang saya alami saat naik eskalator. Begitu pula, ada orang-orang yang tak terpengaruh ketika mereka diberitahu bahwa siluet di kemasan KFC adalah wajah dan tubuh. Di mata mereka, siluet itu tetap menunjukkan wajah dan dasi. Karena cara pikiran kita merespons sesuatu memang tidak bisa disamaratakan.

Tapi urusan siluet KFC atau eskalator sebenarnya tidak penting-penting amat, karena itu bukan bagian besar dalam kehidupan banyak manusia. Ada hal lain yang lebih penting untuk kita perhatikan, terkait cara pikiran kita merespons dan memproses sesuatu, khususnya dalam kehidupan sebagai manusia.

Dalam contoh mudah, ada orang-orang yang sangat peka, sehingga masalah yang mungkin ringan bisa jadi berat dalam pikiran mereka. Sebaliknya, ada orang-orang yang sangat santai, sehingga masalah yang mungkin besar bisa jadi terasa ringan bagi mereka. Bahkan menghadapi satu masalah yang sama pun, respons masing-masing orang bisa berbeda.

Orang bisa gelisah dan sulit tidur semalaman, misalnya, karena punya utang seratus ribu, dan besok sudah jatuh tempo. Ia gelisah, dan menganggap masalah yang dialaminya sangat berat, dan dia stres, tak bisa tidur, memikirkan hal itu terus menerus. Dia sudah janji untuk membayar utang itu besok pagi, dan dia harus menemukan cara agar bisa memenuhi janjinya.

Sebaliknya, ada orang yang bisa tidur pulas meski punya utang sejuta, dan besok juga sudah jatuh tempo, padahal ia juga tidak/belum punya uang untuk membayarnya. Dalam pikirannya, bisa jadi dia berpikir bahwa itu bukan masalah yang perlu membuatnya stres, karena tinggal ngomong saja belum ada uang, dan habis perkara. Jatuh tempo bisa diundur beberapa hari ke depan!

Itu contoh ekstrem terkait bagaimana cara kita memproses suatu masalah, khususnya dalam kehidupan sehari-hari. Perbedaan semacam itu bisa jadi karena faktor gen, tapi pengalaman yang kita serap dalam kehidupan tentu juga punya pengaruh dalam membentuk cara kita berpikir dan merespons segala sesuatu. Dengan kata lain, cara orang dalam memandang sesuatu tidak bisa disamaratakan.

Ada kalanya, kita mendengar teman curhat mengenai masalah yang ia hadapi, dan tampak khawatir dengan masalah tersebut. Sementara, bagi kita, masalah yang ia hadapi sebenarnya hal ringan yang tidak perlu membuatnya khawatir. Jika kita ceroboh, bisa jadi kita akan menggampangkan masalah yang ia hadapi, dan mengatakan, “Ah, masalah gitu aja, tak perlu dipikirkan!”

Respons semacam itu—menggampangkan masalah orang lain—bisa jadi respons umum yang biasa kita tunjukkan. Padahal, ada sesuatu yang sangat penting terjadi di sini. Tidak semua orang bisa digeneralisasi!

Teman kita khawatir dengan masalahnya—kenapa? Jawabannya sangat jelas dan gamblang, karena dialah yang menghadapi masalah itu! Dia yang menghadapi masalah itu, bukan kita. Dia yang punya masalah itu, bukan kita. Karena masalah itu tidak terkait dengan kita, maka kita pun bisa menilai secara objektif—bahwa masalah itu tidak berat—atau malah menggampangkannya.

Kemudian, balik lagi ke uraian panjang lebar tadi, bahwa cara kita merespons dan memproses suatu masalah bisa berbeda. Ada orang yang memang dasarnya sangat peka—atau kita bisa menyebutnya melankolis—sehingga masalah yang mungkin sepele pun bisa terasa berat baginya. Sebaliknya, ada orang yang santai—atau bahkan terlalu santai—sehingga masalah yang mungkin besar pun bisa terasa ringan baginya.

Karenanya, menggeneralisasi cara berpikir manusia adalah tindakan yang tidak bijaksana, sama halnya dengan menggeneralisasi manusia. Wong manusia sudah jelas berbeda, apalagi cara berpikirnya.

Jadi, apa yang mestinya kita lakukan saat menghadapi teman atau orang lain yang terlalu melankolis, atau terlalu santai, dalam menghadapi masalahnya?

Jika teman kita curhat mengenai masalah yang membuatnya khawatir, dan kita ingin memberi respons, jangan katakan agar dia tidak usah memikirkannya! Dia sudah memikirkannya, dan itu tidak bisa diubah dengan mudah! Ingat kembali kasus siluet KFC, atau bayangan saya terkait eskalator!

Daripada menggampangkan masalah teman kita, dengan mengatakan agar dia tidak usah memikirkannya, jauh lebih baik jika kita mengajaknya untuk melihat dan mempelajari masalah itu bersama-sama, secara objektif.

Misal, dengan mengatakan, “Tentu kamu menganggap masalah ini berat, karena bagaimana pun kamulah yang menghadapi, dan kamu punya tanggung jawab di dalamnya. Sementara aku berada di luar masalahmu, sehingga tidak merasakan yang mungkin kamu rasakan. Jadi, mari kita pelajari masalah yang kamu hadapi secara objektif dari sudut pandangku, sebagai pihak yang berada di luar masalah.” Lalu sampaikan pikiran kita terkait masalahnya, dan kalau bisa sampaikan pula solusi yang mungkin bisa ia ambil.

Itu jauh lebih baik dan lebih bijak—sekaligus lebih menenangkan teman kita—daripada menggampangkan masalahnya dengan mengatakan, “Ah, gitu aja, tidak usah dipikir!”

Hujan yang turun di pagi hari tentu bukan masalah, apalagi kalau memang musim penghujan. Karena kita bisa menggunakan payung, jika memang ingin keluar rumah. Jika ada orang yang menganggapnya masalah, itu jelas salahnya sendiri!

Tapi jika ada orang yang anaknya masuk rumah sakit dan harus menjalani operasi, misalnya, lalu dia stres dan khawatir serta menganggapnya masalah, tentu saja itu wajar! Justru tidak wajar kalau ada orang bisa santai, sementara anaknya sekarat di rumah sakit! Pak edan opo piye?

Masing-masing orang menghadapi masalahnya sendiri, berat maupun ringan, dan cara mereka merespons serta menghadapi masalah tidak bisa digeneralisasi. Karenanya, jika kita memang tidak bisa membantu meringankan, jangan menggampangkan. Jika kita tidak bisa meringankan masalah yang ada, setidaknya jangan menambah berat pikiran mereka.

 
;