Kamis, 22 Agustus 2019

Pengantin Sunyi

Kenapa di acara resepsi perkawinan selalu ada musik
yang keras memekakkan telinga?
@noffret


Selain tidak tertarik pada perkawinan, hal lain yang membuat saya makin tidak berminat menikah adalah... karena urusan perkawinan identik dengan keramaian dan kebisingan!

Di Indonesia, setidaknya di lingkungan saya, acara perkawinan selalu diadakan dengan gegap gempita. Dari urusan pertunangan sampai resepsi perkawinan, sampai hal-hal ikutannya. Semuanya ramai, melibatkan banyak orang, dan—saat resepsi perkawinan—kebisingan terdengar nyaris tanpa henti.

Saya kurang tahu bagaimana adat atau budaya perkawinan di tempat-tempat lain. Namun, karena saya tinggal di lingkungan Jawa, seperti inilah kira-kira adat perkawinan di tempat tinggal saya. Agar uraian ini tidak bertele-tele—karena sebenarnya urusan ini memang sangat bertele-tele—kita skip saja pada bagian terpenting, yaitu akad dan resepsi perkawinan.

Setelah masing-masing pihak—keluarga mempelai pria dan keluarga mempelai wanita—menentukan hari H perkawinan, masing-masing rumah mempelai akan menggelar keramaian. Pagi hari, biasanya, di rumah mempelai pria maupun wanita menggelar acara sendiri-sendiri (biasa disebut walimah nikah).

Setelah acara walimah nikah di rumah mempelai pria selesai, maka mempelai pria—beserta rombongan—datang ke rumah mempelai wanita. Di rumah mempelai wanita, acara yang sama (walimah nikah) sedang berlangsung. Dan di rumah mempelai wanita itulah akad nikah dilakukan, dengan saksi dan penghulu dari Kantor Urusan Agama.

(Saat ini, sebagian mempelai ada pula yang melakukan akad nikah di KUA langsung—untuk memangkas biaya. Jika opsi ini yang dipilih, biasanya mempelai pria tetap akan datang ke rumah mempelai wanita, lalu menjemput mempelai wanita untuk pergi ke KUA).

Setelah itu, dua pasang anak manusia pun sah dan resmi menjadi pasangan suami istri. Tapi urusan ini belum selesai.

Siang hari, atau malam harinya, digelar resepsi. Urusan resepsi ini biasanya diadakan di tempat mempelai wanita, atau di gedung tertentu. Resepsi itu dihadiri banyak orang, tentu saja—dari tetangga kanan kiri, saudara dan famili, handai taulan, teman-teman, rekan kerja, dan lain-lain—dari pihak mempelai pria maupun dari pihak mempelai wanita. Jadi, biasanya, ada banyak sekali orang yang tumplek blek di acara resepsi.

Usai resepsi, mempelai pria biasanya tinggal dulu di rumah mempelai wanita. Tiga hari atau seminggu kemudian, si pria akan memboyong mempelai wanita yang kini menjadi istrinya, ke rumahnya sendiri... atau ke rumah orang tuanya. Dalam urusan itu, terjadi keramaian lagi.

Ketika si pria memboyong pasangan wanitanya, orang-orang (dari pihak si wanita) akan ikut mengantarkan. Mereka terdiri dari tetangga, saudara, famili, dan orang-orang terdekat.

Sementara itu, di rumah mempelai pria, sudah disiapkan keramaian untuk menyambut hal tersebut. Ada yang sambutan ala kadarnya, ada pula yang berupa gelaran resepsi tersendiri. Kali ini, karena yang menggelar resepsi pihak orang tua si pria, tamu-tamu yang diundang pun kebanyakan berasal dari kenalan dan rekanan orang tua si pria.

Baru, setelah itu, keramaian surut perlahan-lahan. Saya sebut “surut perlahan-lahan”, karena memang tidak mudah menghilangkan “keramaian” usai acara pernikahan.

Setelah sepasang pria-wanita resmi menikah, tamu-tamu biasanya masih berdatangan, meski acara resepsi dan keramaian sudah usai. Tamu-tamu yang datang bisa saudara, famili, teman-teman, atau orang-orang yang dulu belum sempat datang waktu resepsi. Dalam istilah Jawa, hal semacam itu biasa disebut “tilik manten” (menjenguk pengantin.)

Sekitar satu bulan kemudian, biasanya, kedua mempelai baru bisa menjalani kehidupan tenang, tanpa ribut-ribut lagi. (Kali ini, bisa jadi, mereka akan ribut sendiri.)

Nah, selama urusan-urusan yang saya uraikan di atas dilangsungkan—dari akad nikah, resepsi, sampai si pria memboyong istrinya—kebisingan akan melanda bumi.

Suara musik—atau suara tetek bengek lain—akan dikeraskan loudspeaker-loudspeaker besar, dan selama itu pula para tetangga harus bersiap menahan kebisingan yang berlangsung tanpa henti. Dari pagi sampai nyaris pagi lagi, selama berhari-hari. Dari sebelum akad nikah, sampai sesudah akad nikah. Dari sebelum resepsi, sampai sesudah resepsi. Teruuuuuuus bising.

Kenapa acara demi acara itu harus dihiasi kebisingan? Karena orang-orang biasanya menganggap memang seperti itulah seharusnya acara perkawinan. Harus ada suara-suara keras—dari musik dan segala macam—sehingga orang-orang tahu bahwa di sana sedang ada acara (dalam hal ini perkawinan). Masyarakat akan menganggap aneh kalau kau menikah dan menggelar acara perkawinan, tapi di rumahmu tidak terdengar kebisingan.

Itulah yang menjadikan saya makin tidak berminat menikah. Satu, karena saya memang tidak tertarik menikah. Dua, karena urusan menikah terkait dengan kebisingan—sesuatu yang sangat saya benci. Jadi, saya benar-benar tidak minat menikah blas! Di mata saya, acara itu tidak ada menarik-menariknya! Wong ramai dan bising tanpa henti, di mana menariknya?

Selama ini, biasanya, orang menilai “keasyikan” acara perkawinan dari kemeriahannya. Semakin meriah, semakin bagus. Yang jadi masalah, kemeriahan identik dengan keramaian dan kebisingan. Akibatnya, saya makin “ngeri”.

Itulah kenapa, di Twitter saya pernah menulis, urusan perkawinan di Indonesia—khususnya di lingkungan saya—benar-benar ribet. Sebelum menikah, urusannya ribet luar biasa. Ketika pernikahan dilangsungkan, urusannya makin ribet. Bahkan setelah acara pernikahan usai, keribetan belum selesai. Padahal, saya benci hal-hal ribet! Saya mencintai hal-hal sederhana, yang jauh dari keribetan.

Terkait perkawinan, mungkin “resepsi perkawinan” terbaik yang saya tahu adalah perkawinan Mark Zuckerberg dengan Priscilla Chan. Ketika menikah, Zuckerberg sudah jadi miliuner. Tapi dia bocah sederhana yang menyukai hal-hal sederhana, termasuk dalam urusan perkawinan.

Kalau mau, Zuckerberg tentu bisa menggelar resepsi perkawinan besar-besaran, luar biasa meriah, di gedung luas nan mahal, dihadiri ribuan orang, dengan tamu yang mirip daftar Who’s Who, dan segenap tetek-bengek kemewahan lain.

Tapi bukan hal-hal semacam itu yang dilakukan Zuckerberg. Alih-alih menggelar resepsi perkawinan di gedung megah, dia menggelar acara perkawinan di halaman belakang rumahnya. Yang diundang juga hanya teman-teman dekat, serta keluarga dari kedua mempelai.

(Bahkan, ketika mengabari teman-teman dekat dan kerabat mereka untuk datang, Zuckerberg maupun Priscilla tidak menyatakan itu acara perkawinan. Yang mereka katakan, acara itu “syukuran atas lulusnya Priscilla dari Perguruan Tinggi”.)

Di halaman belakang rumah Zuckerberg, acara digelar sederhana. Orang-orang menikmati makanan, menyesap minuman, sambil bercakap-cakap dengan suara biasa. Tidak ada kebisingan apa pun. Itu hanya seperti pertemuan keluarga dan teman-teman dekat, yang ikut gembira karena Zuckerberg dan Priscilla Chan kini sudah menikah. Sudah, hanya itu. Tidak ada ribut-ribut, tidak ada tetek-bengek yang ribet.

Acara perkawinan seperti itulah, sebenarnya, yang juga saya inginkan... jika kelak saya ternyata menikah. Sederhana, tidak macam-macam. Tanpa suara atau musik yang dikeraskan loudspeaker mengguncang langit, tanpa kebisingan yang merusak hening bumi.

Perkawinan yang hening. Saya pikir, apa yang lebih khidmat dari itu?

Tetapi, jika acara perkawinan semacam itu yang saya inginkan, kemungkinan saya akan menghadapi masalah. Saya maupun calon istri mungkin bisa bersepakat untuk melangsungkan acara perkawinan dengan hening, tanpa ribut-ribut.

Tapi bagaimana dengan keluarga saya maupun keluarga calon istri? Kemungkinan besar, orang tua kami ingin acara perkawinan digelar meriah, ramai, plus kebisingan, seperti umumnya orang-orang. Oh, well, seperti umumnya orang-orang! Membayangkan kalimat itu saja, bayangan saya langsung buyar.

Jadi, hal-hal semacam itulah yang membuat saya makin tidak berminat pada pernikahan. Satu, karena saya memang tidak tertarik menikah. Dan dua, karena acara serta urusan perkawinan identik dengan keribetan serta kebisingan, padahal saya menyukai hal-hal sederhana, dan mencintai keheningan!

Hidup adalah soal pilihan, begitu pula pernikahan. Seharusnya, setiap orang bisa memilih menikah atau tidak, dan—jika memilih menikah—mereka juga berhak memilih untuk menggelar perkawinan dalam bising atau dalam hening. Tetapi, seperti biasa, “umumnya orang-orang” tidak menyadari bahwa hidup adalah soal pilihan. Karena memang, begitulah umumnya orang-orang.

 
;