Sabtu, 17 Agustus 2019

Mata Hati

Jika Tuhan tidak ingin kita menggunakan pikiran,
mengapa Ia memberikannya kepada kita?
Galileo


Bayangkan saya punya tiga anak. Sebut saja, tiga anak saya bernama A, B, dan C. Ketika mereka beranjak dewasa, saya memberi uang untuk mereka, masing-masing 10 juta rupiah. Tidak banyak, tapi cukup untuk melakukan sesuatu.

Ketika memberikan uang tersebut, saya berkata pada tiga anak saya, “Uang ini kuberikan kepada kalian, dan menjadi hak kalian sepenuhnya. Tetapi, aku berpesan, sebaiknya jangan menggunakannya. Karena, ketika kalian menggunakan uang tersebut, aku mengkhawatirkan bahaya yang mungkin datang.”

Si A, anak pertama saya, tergolong anak yang sangat berbakti pada orang tua, dan sangat mematuhi apa pun yang dikatakan ayahnya. Jadi, ketika saya mengatakan agar jangan menggunakan uang tersebut, dia mematuhi, tanpa ribut-ribut. Dia percaya pada saya sepenuhnya, dan tidak meragukan apa pun yang saya katakan.

Ketika menerima uang yang saya berikan, dia berkata dalam hati, “Aku mencintai ayahku, dan aku percaya kepadanya sepenuhnya. Apa pun yang ia katakan, aku akan mematuhi dengan segenap kemampuanku.” Dan dia benar-benar tidak pernah menggunakan uang yang saya berikan.

Si B, anak kedua, adalah tipe pemikir yang suka merenungkan banyak hal, seperti filsuf. Ketika saya menyerahkan sejumlah uang kepadanya, dan memintanya agar tidak menggunakan uang tersebut, Si B berpikir, “Apa sebenarnya maksud ayahku? Dia memberiku sejumlah uang, tapi tidak boleh menggunakannya. Kupikir, ini aneh. Tapi dia telah berpesan begitu, dan aku merasa berkewajiban mematuhi.”

Jadi, Si B terus berpikir dan merenungkan uang yang saya berikan—yang kini telah menjadi miliknya—namun dia tidak pernah menggunakan uang tersebut, sebagai bentuk penghormatan kepada saya. Dalam pikiran si B yang bijaksana, dia tahu uang itu telah menjadi haknya, sehingga bebas untuk digunakan. Namun, dengan kebijaksanaannya pula, dia memilih untuk tidak menggunakan, karena saya berpesan begitu.

Si C, anak ketiga, tipe pemberontak yang suka melawan kemapanan. Ketika mendapatkan sejumlah uang yang saya berikan, dia diam, tapi berpikir keras, “Ayah memberiku sejumlah uang, tapi dia berpesan agar aku tidak menggunakan. Aturan apa itu? Kalau dia memang ingin aku tidak menggunakan uang pemberiannya, mestinya dia tidak usah memberikan. Dan ayah mengkhawatirkan datangnya bahaya, kalau aku menggunakan uang ini. Aturan kacau apa pula itu?”

Dalam pikiran Si C, uang yang saya berikan kepadanya telah menjadi haknya. Karena uang itu telah menjadi haknya yang sah, maka dia bebas menggunakan, terlepas bahwa saya berpesan agar dia tidak menggunakan. Jadi, Si C kemudian berpikir lebih jauh, “Aku akan menggunakan uang ini, dan mari kita lihat. Apakah benar bahaya akan datang sebagaimana yang dihawatirkan ayahku, atau tidak?” 

....
....

Tiga anak saya terus tumbuh dewasa, dan mereka hidup sesuai pikiran, hati, dan keyakinan masing-masing.

Si A, anak pertama yang sangat patuh, terus menyimpan uangnya, dan tidak pernah menggunakan sedikit pun. Meski kadang mendapati hal-hal tertentu yang membutuhkan uang, dan dia terdesak keadaan, Si A tetap teguh dalam mematuhi pesan saya, dan tidak pernah menggunakan uang yang saya berikan. Intinya, dia lebih memilih mati daripada melawan atau melanggar pesan saya.

Ada masa-masa ketika Si A sampai kelaparan, karena tak punya makanan yang bisa dimakan. Dalam kondisi semacam itu, dia bisa saja mengambil uang yang telah saya berikan, untuk ia belikan makanan. Tapi Si A tidak melakukannya, karena terikat kepatuhannya pada saya. Dia benar-benar anak yang sangat patuh pada orang tua, dengan tingkat kepatuhan yang dapat mencucurkan air mata bidadari.

Si B, anak kedua yang senang berpikir mendalam, juga masih menyimpan uangnya secara utuh, dan dia selalu menjaga diri agar tidak pernah menggunakan, sebagaimana pesan saya.

Tahun demi tahun, seiring dia terus tumbuh, Si B masih terus memikirkan uang yang saya berikan, dan masih terus bertanya-tanya mengapa saya memberikan uang kepadanya, namun melarangnya menggunakan. Dia tidak juga paham. Meski begitu, dia memilih patuh kepada saya, dan hanya menyimpan uangnya dalam peti.

Kadang-kadang, Si B didatangi tetangga atau saudara, yang ingin meminjam uang karena terdesak kebutuhan sehari-hari. Dengan pikirannya yang bijaksana, Si B meminjamkan uangnya pada mereka, menggunakan uang yang saya berikan. Dan ketika orang-orang itu mengembalikan uang yang ia pinjamkan, Si B mengembalikan uang tersebut ke dalam peti, sehingga uang pemberian saya tetap utuh.

Dalam hal itu, Si B tetap patuh pada pesan saya untuk tidak menggunakan uang tersebut, namun seiring dengan itu dia juga bisa memberi manfaat bagi orang-orang lain yang kebetulan terdesak kebutuhan.

Si C, anak ketiga yang pemberontak dan tidak suka berpikir mapan, terang-terangan melanggar pesan saya. Dia menggunakan uang pemberian saya sesuai keinginannya sendiri. Meski saya berpesan agar tidak menggunakan uang tersebut, Si C tetap menggunakan.

Dia menggunakannya untuk membeli sejumlah bebek, serta membangun kandang bagi mereka. Sejak itu, Si C asyik dengan bebek-bebeknya. Setiap hari, ia keluarkan bebek-bebek miliknya untuk ia gembalakan, dan dia menikmati hari dengan riang.

Semula, bebek yang dimiliki Si C hanya sedikit. Namun yang sedikit itu lalu berkembang. Bebek-bebek itu bertelur, dan telurnya menetas menjadi bebek baru. Jumlah bebek Si C terus berkembang, dan jumlahnya makin banyak.

Seperti umumnya para pemilik bebek, Si C kadang menjual bebeknya pada para pemilik restoran yang menyediakan daging bebek, juga menjual telur bebek untuk para pembuat telur asin. Dan usaha Si C terus berkembang membesar.

....
....

Bertahun-tahun kemudian, tiga anak saya mengalami perbedaan hidup, dan menjalani kehidupan yang sangat jauh berbeda.

Si A, yang sangat patuh dan berbakti pada orang tua, menjadi pribadi yang salih, dengan keteguhan hati dan pikiran tak tergoyahkan apa pun. Dia masih menyimpan uang yang saya berikan dalam jumlah utuh, tidak pernah ia gunakan sedikit pun, tak peduli seberat apa pun kehidupan yang harus dijalani.

“Karena ayahku berpesan agar aku tidak menggunakan,” ia berpikir, “sampai mati pun aku tidak akan pernah menggunakan.”

Sejarah telah mengenal Si A, para martir yang rela mati demi keyakinan.

Si B, yang senang berpikir mendalam dan bijaksana, menjadi sosok yang dihormati orang-orang sekelilingnya. Orang-orang mengenal Si B sebagai orang baik yang menjalani kehidupan bersahaja, namun ringan tangan dalam membantu sesama. Saat ada tetangga butuh berutang, Si B memberikan, meski mewanti-wanti agar pinjaman itu dikembalikan. “Karena uang yang kupinjamkan kepadamu sebenarnya titipan ayahku, bukan milikku sepenuhnya.”

Selain dalam urusan uang, Si B juga ringan tangan dalam membantu hal-hal lain, seputar mengatasi aneka masalah yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Si B adalah pemikir bijaksana, yang dapat melihat banyak hal dalam cakrawala lebih luas, dan orang-orang senang meminta nasihat Si B. Mereka percaya Si B bukan hanya orang baik, tapi juga bijaksana.

Sejarah telah mengenal Si B, para filsuf agung yang ajarannya terus abadi.

Si C, yang suka memberontak dan melawan kemapanan berpikir, telah berubah jauh dari kehidupannya semula. Berbeda dengan saudara-saudaranya yang menjalani kehidupan sederhana, Si C menjalani kehidupan kaya-raya. Uang 10 juta yang saya berikan kepadanya telah berubah dan berkembang jutaan kali lipat. Usaha bebeknya, yang dimulai dari sangat sedikit, telah tumbuh menjadi bisnis berskala raksasa. Si C dikenal masyarakatnya sebagai angon bebek yang miliuner.

Dia sadar telah melawan pesan saya, karena dia menggunakan uang yang saya berikan. Namun, seiring dengan itu, dia juga berusaha membuktikan bahwa kekhawatiran saya tak terjadi. Meski dia menggunakan uang yang saya berikan, dia berupaya agar uang itu terus tumbuh dengan benar, sehingga tidak mendatangkan masalah.

Jadi, Si C tetap berusaha menjalani kehidupan lurus, meski uangnya berlimpah. Dan ia menggunakan kekayaannya untuk membantu orang-orang lain, membiayai pendidikan anak-anak miskin, menyantuni yatim piatu, memberi nafkah orang-orang fakir, dan lain-lain, yang ia pikir baik untuk kemanusiaan... demi dunia yang lebih baik.

 
;