Kamis, 01 Agustus 2019

Puncak Tertinggi

Para pendaki tidak mencintai puncak.
Mereka mencintai proses pendakiannya.
Begitu pun para pencari.
@noffret


Junko Tabei, asal Jepang, adalah wanita pertama yang mampu mencapai puncak Everest, gunung tertinggi di dunia. Peristiwa penting itu terjadi pada 16 Mei 1975, dan membuat dunia terkesima.

Yang membuat dunia terkesima bukan hanya karena Junko Tabei seorang wanita, tapi juga fakta bahwa dia memiliki tubuh mungil yang ringkih. Artinya, dia bukan wanita bertubuh besar yang kuat perkasa. Ketika wanita itu menyatakan ingin menaklukkan puncak Everest, dunia pun menertawakannya. Ada banyak laki-laki kuat dan perkasa yang pernah memiliki impian serupa, dan mereka semua gagal.

Karenanya, ketika Junko Tabei berhasil membuktikan diri bahwa dia mampu mencapai puncak tertinggi, dunia pun bertepuk tangan untuknya. Seorang manusia telah mengalahkan kemustahilan!

Kecintaan Junko Tabei pada aktivitas pendakian dimulai sejak SD. Di sekolah, dia tergolong anak perempuan yang lemah, selain tubuhnya juga mungil. Dibanding teman-teman sebaya, Tabei tampak paling rapuh. Suatu hari, guru di sekolah mengajak murid-murid untuk mendaki Gunung Asahi dan Gunung Chausu, yang pemandangannya terkenal indah.

Pengalaman itu meninggalkan kesan abadi dalam benak Junko Tabei, dan sejak itu pula ia tertarik pada pendakian gunung. Setelah lulus dari Universitas Showa, ia membentuk klub pencinta alam dan pendaki gunung wanita (Ladies Climbing Club Japan) pada 1969. Setelah menikah, ia dan suaminya tetap melanjutkan hobi memanjat gunung, antara lain Gunung Fuji di Jepang hingga Gunung Matterhorn di Pegunungan Alpen, Swiss.

Lalu impian besar yang mustahil itu menghampirinya. Pada 1970-an, Junko Tabei punya impian menaklukkan puncak gunung tertinggi di muka bumi, Everest. Seketika, dunia mencibir dan menertawakannya. Sebelumnya, Edmund Hillary dan Tenzing Norgay memang tercatat sebagai dua orang yang telah berhasil menaklukkan puncak Everest. Tapi mereka dua pria perkasa, yang tidak bisa ditandingi sembarang orang, apalagi oleh seorang wanita rapuh!

Ketika Junko Tabei mulai mencari sponsor untuk membiayai pendakian ke Everest, pihak-pihak yang dihubunginya menolak. Itu, sebenarnya, “pendakian” sulit pertama yang harus dialami Junko Tabei sebelum melakukan pendakian sesungguhnya ke Everest. Ditepis dan ditolak banyak pihak yang ia harapkan membantu—sekaligus dicibir dan ditertawakan dunia—adalah hantaman mental yang tidak setiap orang mampu menahannya.

Tapi Junko Tabei tampaknya memiliki kekuatan di balik tubuh mungilnya yang terlihat rapuh. Ia terus mencoba, menemui satu per satu perusahaan yang sekiranya tertarik menjadi sponsor bagi pendakiannya. Usaha itu akhirnya berhasil. Surat kabar Jepang, Yomiuri Shimbun, dan stasiun televisi Nihon Television bersedia mendukung ekspedisinya ke Everest.

Perjalanan menaklukkan kemustahilan pun dimulai.

Ekspedisi itu dimulai pada 1975, dan Junko Tabei telah mempersiapkan fisik serta mentalnya hingga maksimal. Ia berangkat ke Kathmandu. Dari sana, ia dituntun oleh pemandu lokal, untuk menyusuri jalur yang pernah dipakai oleh Sir Edmund Hillary dan Tenzing Norgay—dua pendaki puncak Everest sebelumnya—pada 1953.

Sejak awal, Junko Tabei menyadari perjalanannya tidak akan mudah. Sebelumnya, sudah ada banyak orang yang telah mencoba menempuh perjalanan yang sekarang ia lakukan, dan mereka semua gagal. Di sepanjang perjalanan, Tabei juga menyaksikan mayat-mayat tergeletak, terbekukan oleh dingin Everest—mayat-mayat yang semula punya impian sama seperti dirinya.

Karenanya, ketika akhirnya berbagai halangan berdatangan di sepanjang perjalanan, Junko Tabei menghadapinya dengan tabah dan gigih. Dia tidak ditakdirkan untuk menempuh perjalanan itu, dia sendiri yang memilih takdirnya untuk menempuh perjalanan itu.

Dan takdir di Everest benar-benar brutal. Pada awal Mei 1975, saat Junko Tabei dan pemandunya berkemah di ketinggian 6.300 meter, menahan dingin yang luar biasa, tiba-tiba longsoran salju menimbun tenda mereka. Tabei tertindih longsoran salju, tubuhnya membeku, kesulitan bernapas, dan dia bahkan kehilangan kesadaran hingga enam menit... sampai pemandu menyelamatkannya.

Terlepas dari maut, Junko Tabei merasakan tubuhnya begitu lemah, sementara dingin Everest menggigit tulang. Ia mendapati tubuhnya juga penuh luka dan memar, dan merasa tak sanggup berdiri. Bayangan mayat-mayat yang ia saksikan di sepanjang perjalanan seolah meneror angannya, dan dia sempat membayangkan akan berakhir seperti mereka—tergeletak di daratan es, tak bernyawa, satu lagi impian anak manusia ditikam takdir yang dingin.

“Kau mampu berdiri?” tanya pemandunya.

Junko Tabei menggeleng. Ia merasakan kakinya begitu lemah, tak sanggup lagi menopang tubuhnya.

Itu sebenarnya “fenomena umum” yang terjadi di Everest setiap waktu, kapan pun ada orang nekad datang ke sana. Kalau kau tak sanggup berdiri, artinya kau akan mati. Everest tidak menyediakan hotel hangat dengan perapian untuk mengangatkan tubuh, tidak ada pula kedai yang menyediakan kopi panas. Kalau tubuhmu sudah kedinginan, tulang-tulangmu telah terbekukan, dan kau tak sanggup berdiri, bersiaplah untuk mati.

Junko Tabei mencoba menggerakkan kakinya. Ia mampu bergerak, tapi tak sanggup berdiri. Akhirnya, karena menyadari tak mampu berdiri, Junko Tabei memutuskan untuk meneruskan pendakiannya dengan merangkak! Wanita mungil yang rapuh itu merayap di atas es beku Everest, seinci demi seinci, bersama gigil dan butir-butir es berjatuhan ke tubuhnya.

Pendakian dengan merangkak dan merayap itu jelas perjalanan yang sangat berat, tapi Junko Tabei tak bisa dihentikan. Dia terus merangkak dan merayap, menggerakkan setiap atom kesadarannya untuk tetap konsisten pada perjalanan yang ditempuh, tak mempedulikan luka dan memar, gigil dan kedinginan.

Setelah merangkak dan merayap selama sebelas hari, Junko Tabei akhirnya mencapai puncak Everest, dan menjadi wanita pertama yang mampu menaklukkan puncak tertinggi di dunia.

Setelah impian mustahil itu tercapai, Junko Tabei mempersiapkan impian besar lainnya. Ia ingin mendaki gunung di seluruh negara di dunia. Satu per satu ia wujudkan impian itu, hingga pada 1992—saat usianya 53 tahun—ia telah mendaki 69 gunung di berbagai negara. Junko Tabei juga tercatat sebagai wanita pertama yang mencapai Seven Summit, tujuh puncak tertinggi di dunia.

Bagaimana bisa seorang wanita mungil bertubuh ringkih mampu melakukan hal mustahil semacam itu, sementara banyak orang lainnya—yang jauh lebih kuat—justru gagal di tengah jalan?

Junko Tabei menyatakan, mendaki bukan olah raga kompetisi. Mendaki juga bukan semacam pacuan atau persaingan, baik dengan manusia, waktu, maupun alam. Mendaki, baginya, adalah sebuah perjalanan. Karena sebuah perjalanan, Junko Tabei menikmatinya, dan ia berjalan selangkah demi selangkah berdasarkan kemampuannya.

Dalam perjalanan, kita tidak bersaing dengan siapa pun, selain hanya menikmati perjalanan yang kita lakukan, dan menghayati pemandangan yang kita temukan sepanjang perjalanan. 

Tampaknya, itulah yang membedakan Junko Tabei dan orang-orang lain yang pernah melakukan upaya serupa. Mereka ingin menaklukkan puncak tertinggi sebagai upaya membuktikan pada dunia, sementara Junko Tabei menaklukkan puncak tertinggi sebagai kesenangan, karena melakukan sesuatu yang memang ia cintai. Junko Tabei tidak ingin membuktikan apa pun, selain hanya melakukan sesuatu yang memang ingin ia lakukan.

Kalau seorang manusia melakukan sesuatu karena memang ingin melakukannya, dan ia bertekad untuk melakukan... bahkan iblis di neraka pun tak bisa menghentikan.

Di usia tuanya, Junko Tabei melanjutkan kecintaannya pada alam dan gunung, dengan aktif di Himalayan Adventure Trust of Japan, sebuah organisasi global untuk kelestarian lingkungan alam di gunung-gunung. Dia telah menikmati perjalanan hidup dengan melakukan sesuatu yang dicintainya, yang bahkan dicatat oleh sejarah. Apa yang lebih menyenangkan dari itu?

 
;