Senin, 10 Februari 2020

Ilusi Kebahagiaan

Tiba-tiba ingat, The Conversation pernah menerbitkan artikel yang menyatakan bahwa "manusia tidak dirancang untuk bahagia". Karena itu, pencarian atau pengejaran kebahagiaan adalah sebentuk ilusi yang tak akan pernah tercapai. Entah banyak yang setuju atau tidak dengan tesis itu.

Apakah aku percaya kebahagiaan? Sepertinya akan terdengar "terlalu revolusioner" kalau aku mengatakan "tidak". Dan, ya, aku percaya kebahagiaan—tentu saja. Meski konsep kebahagiaan yang kupercaya adalah "kebahagiaan dari moment ke moment", yang sifatnya relatif dan temporer.

Kebahagiaan dari moment ke moment yang kumaksud adalah kebahagiaan dari satu hal ke hal lain, dan begitu terus menerus, dan—kupikir—begitulah cara manusia menjalani kehidupan. Dengan hati yang berharap, dengan jiwa yang terus semangat... dari moment ke moment. Tak ada yang abadi.

Konsep "kebahagiaan abadi" mungkin terdengar menjanjikan, tapi kita tidak tinggal di surga, dan tak ada yang abadi di muka bumi. Kapan pun waktunya, cepat atau lambat, kebahagiaan—bahkan yang paling fantastis sekali pun—pasti akan berakhir. Karena begitulah dunia fana.

Bahkan, kalau dipikir-pikir, konsep "kebahagiaan abadi" itu sebenarnya tak masuk akal, karena salah satu sifat terbesar manusia adalah bosan. Dulu, misalnya, aku pernah bahagia luar biasa tiap makan nasi kebuli. Sekarang? Bosan, karena menyantapnya tiap malam, bertahun-tahun.

Atau kebanyakan dari kita, yang semula tidak punya motor, pasti bahagia sekali saat punya motor. Setelah itu? Ya biasa saja! Lalu membayangkan punya mobil. "Pasti bahagia sekali kalau punya mobil." Setelah punya mobil? Ya bahagia, sih, cuma ya akhirnya biasa-biasa saja lagi.

Tak ada yang abadi di muka bumi, begitu pun kebahagiaan. Karena itulah aku lebih percaya pada kebahagiaan dari moment ke moment, kebahagiaan dari waktu ke waktu, dari satu pencapaian ke pencapaian lain. Karena konsep semacam itu membuat kita terus tumbuh dan makin hidup.

Karenanya, slogan perkawinan terkenal, "dan mereka pun hidup bahagia selama-lamanya", sebenarnya slogan ngapusi yang jelas taik kucing! Kalau memang manusia bisa hidup bahagia selama-lamanya di dunia fana, lalu buat apa agama menjanjikan surga? Itu benar-benar slogan yang kacau!

PS:

Bagaimana pun, sebagai bocah yang sederhana, kebahagiaanku pun sebenarnya sederhana. Cukup sehat jiwa raga, tidak punya masalah berat, dan uang yang banyak! Sudah, itu saja sudah cukup!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 14 Agustus 2019.

 
;