Sabtu, 01 Februari 2020

Ngadem di Pinggir Sawah

Petani yang mencangkul sawah dengan baik, 
tukang sapu yang menyapu dengan baik, mereka eksis. 
Tapi mungkin tak terkenal.


Saya punya semacam ikatan batin dengan sawah, karena—di lubuk hati terdalam—saya ingin menjadi petani. Tapi takdir kadang menuntun kita untuk menjalani hidup yang berbeda dengan impian. Bahkan sejak awal, saya menyadari bahwa impian menjadi petani sangat sulit tercapai, karena saya tidak punya tanah atau sawah—itu butuh modal besar. Sebagai gantinya, saya menjadi penulis.

Menjadi penulis, bagi saya, terasa lebih mudah. Karena modal yang dibutuhkan hanyalah kertas dan pena, dan mesin tik—atau komputer, di zaman sekarang. Dulu, dibanding memiliki sawah, memiliki kertas dan alat tulis jauh lebih mudah dan lebih terjangkau bagi saya. Karenanya, saya pun akhirnya meletakkan hati atau passion pada aktivitas menulis. Sampai sekarang.

Meski begitu, saya masih kerap membayangkan diri menjadi petani. Dan tetap senang memandangi sawah.

Di daerah perbatasan antara Pekalongan dan Batang—yang merupakan jalan tembus—ada kawasan persawahan yang cukup luas. Sawah-sawah itu bersisian tepat dengan jalan raya, dengan posisi lebih ke bawah. Meski saya menyebutnya “jalan raya”, jalanan di situ relatif sepi, karena memang bukan jalan utama.

Kalau lewat daerah itu, saya sering berhenti, lalu duduk di pinggir jalan, menatap persawahan yang indah. Di tempat itu juga masih banyak pohon besar, hingga bisa membuat saya ngadem (menikmati suasana adem).

Duduk sendirian sambil menatap hamparan sawah, membuat saya tenang. Rasanya begitu damai. Pohon yang rindang memberikan suasana adem, angin silir-silir mengembuskan keteduhan, dan saya merasa betah berlama-lama di sana. Kalau saja bisa, saya ingin menggelar tikar di sana, lengkap dengan bantal dan guling, agar bisa tidur-tiduran. Intinya, kalau sudah ngadem di sana, saya merasa tak ingin pulang.

Sering kali, saat saya duduk-duduk di sana, di sawah tidak ada siapa-siapa, selain hamparan padi yang menghijau. Namun, di saat panen, saya mendapati orang-orang tampak sibuk bekerja—para petani yang memanen padi, laki-laki maupun perempuan, dengan caping mereka yang khas—dan saya senang menyaksikan mereka.

Kadang-kadang pula, saat duduk sendirian di sana, ada teman yang kebetulan lewat, dan melihat saya. Lalu mereka berhenti, dan menghampiri. Biasanya mereka bertanya, apa yang sedang saya lakukan di sana. Biasanya pula saya menjawab sedang ngadem. Kalau kebetulan sedang selo, mereka pun menemani saya ngadem di sana, lalu kami bercakap-cakap sambil udud.

Sendirian atau bersama teman, ngadem di pinggir sawah benar-benar menenangkan. Karena suasananya jauh berbeda dengan suasana pusat kota yang panas dan bising, yang setiap hari saya hadapi. Saat ngadem di sana, rasanya seperti menikmati oase di tengah padang gersang.

Salah satu teman yang pernah mendapati saya duduk di sana adalah Tyo. Dia tinggal di Batang, bertetangga dengan Goenawan Mohamad—iya, Goenawan Mohamad yang itu. Kalau mau ke Pekalongan, Tyo suka lewat jalan tembus yang tadi saya ceritakan, bukan lewat jalan utama. Begitu pula saat kembali ke Batang. Suatu siang, saat lewat di sana, dia mendapati saya sedang duduk sendirian di pinggir sawah.

Karena penasaran, dia pun berhenti, dan menghampiri. Ketika saya menengok ke arahnya, Tyo bertanya, “Lagi ngapain?”

“Lagi ngadem,” jawab saya.

Lalu dia duduk di samping saya, dan kami bercakap-cakap. Karena memang selo, kami pun mengobrol di sana sampai lama, menikmati percakapan yang menyenangkan, dengan angin yang silir-silir. Saat ada penjual es lewat, kami membeli es untuk membasahi tenggorokan, lalu melanjutkan obrolan sambil udud.

“Aku sering lewat sini,” ujar Tyo, “tapi tidak pernah kepikiran untuk duduk-duduk di sini. Ternyata kok nikmat sekali, ya.”

“Sepertinya kamu telah mendapat hidayah,” sahut saya sambil tersenyum.

Tyo lalu bertanya, “Kamu sering duduk di sini—sendirian?”

“Ya.”

“Mencari ide untuk menulis?”

“Tidak. Hanya ingin ngadem.”

Dia tampak ragu-ragu. “Uhm... apakah pertemuan ini akan kamu tulis, di blog?”

Saya tersenyum. “Kalau itu yang kamu inginkan.”

Tyo tampak senang. Sambil nyengir, dia lalu berujar, “Karena kamu akan menulisnya, sepertinya aku harus mengatakan hal-hal keren.”

Saya cekikikan.

Setelah berpikir sejenak, Tyo mengatakan sesuatu yang tidak saya duga, “Uhm... kenapa kamu tidak ingin terkenal?”

Saya mengisap rokok sesaat, lalu menjawab, “Ada banyak orang yang ingin terkenal—bahkan mungkin hampir semua orang ingin terkenal—hingga melakukan berbagai upaya agar dikenal. Aku tidak perlu menambah persaingan. Biarlah mereka ingin terkenal, aku memilih tidak terkenal saja. Lagi pula, aku sadar tidak memiliki apa pun yang layak membuatku dikenal.”

“Kamu pasti sedang merendah,” sahut Tyo. “Jawabanmu juga sebenarnya belum menjawab pertanyaanku. Kamu hanya menyatakan keinginanmu—untuk tidak dikenal—tapi kamu belum menjelaskan apa yang melatarbelakangi keinginanmu.”

“Ada beberapa hal yang melatarbelakangi, tentu saja, dan kenyamanan salah satunya.” Setelah membuang puntung rokok, saya melanjutkan, “Aku merasa nyaman seperti sekarang—menjadi bukan siapa-siapa—hingga bisa ngadem di pinggir sawah dengan tenang, tanpa dikenali orang-orang yang memang tidak kenal. Itu privilese yang tidak dimiliki orang-orang terkenal, yang sosoknya akan dikenali di mana pun.”

“Tapi, katanya, orang terkenal justru lebih mungkin mendapat privilese yang tidak dimiliki orang biasa...”

“Tentu saja hak setiap orang untuk berpikir begitu. Menurutku, sesuatu yang disebut privilese itu bisa subjektif. Menjadi pusat perhatian di mana-mana, misalnya, bisa disebut privilese bagi yang memang suka menjadi pusat perhatian. Tapi bagi yang tidak suka, justru bisa menjadi tekanan batin. Kalau kamu terkenal, misalnya, ke mana pun kamu pergi selalu ada kemungkinan orang mengenalimu, lalu meminta foto bersama. Kalau kamu memang suka, dan nyaman melakukannya, tentu itu menyenangkan. Tapi kalau kamu tidak nyaman melakukannya, bisa jadi kamu malah tersiksa.”

Tyo mengangguk-angguk.

Saya melanjutkan, “Menjadi orang terkenal—lebih khusus menjadi orang yang dikenal—artinya menjadi pusat perhatian. Karena menjadi pusat perhatian, mau tak mau kita tidak bisa seenaknya. Misal, dalam penampilan. Kalau kita terkenal, selalu ada kemungkinan orang akan mengenali kita, di mana pun. Artinya, kita harus selalu siap dikenali.

“Karena kesadaran itu, kita pun akan berusaha berpenampilan sebaik mungkin, atau bahkan semewah mungkin. Karena kita tentu tidak ingin tampak lusuh atau menyedihkan di mata orang-orang yang mengenali kita. Kapan pun, di mana pun, selalu ada kemungkinan orang yang akan mengenali kita, meminta foto bersama, lalu mereka akan mengunggahnya ke media sosial. Dengan kenyataan semacam itu, kita pasti akan sangat memperhatikan penampilan. Karena kalau kamu orang terkenal, orang-orang akan memperhatikanmu, bahkan kadang sampai ke hal-hal terkecil.

“Sejujurnya, aku tidak mampu menjalani kehidupan semacam itu, dan karena itulah aku memilih untuk tidak terkenal, atau tidak dikenal. Aku lebih senang berpenampilan sederhana, dan lebih nyaman menjalani kehidupan seperti orang biasa. Karena tidak dikenal, aku bisa menjalani hidup sesuai yang kuinginkan, tanpa mengkhawatirkan penampilan, tanpa mengkhawatirkan komentar orang-orang, tanpa mengkhawatirkan ada media yang tiba-tiba memberitakan tentangku.

“Seperti sekarang, misalnya. Aku bisa ngadem di sini, mengobrol denganmu, dan orang-orang yang lewat tidak mengenali kita. Bayangkan kalau aku atau kamu orang terkenal. Selalu ada kemungkinan orang mengenali kita, lalu minta foto bersama, lalu mengunggah fotonya ke media sosial. Lalu media-media di internet ramai menulis berita yang isinya karangan bebas dan clickbait. Bayangkan saja judul seperti, ‘Terungkap, Bocah Ini Ternyata Suka Duduk di Pinggir Sawah, Alasannya Mencengangkan!’ Opo ora pecah, ndasmu? Wong kita cuma duduk-duduk saja, pakai alasan mencengangkan.”

Tyo cekikikan.

Saya menyulut rokok baru, lalu melanjutkan, “Umumnya, seseorang dikenal karena memiliki sesuatu yang layak dibanggakan, hingga membuatnya dikenal. Karenanya, dia pun pede dikenali di mana-mana. Sementara aku, seperti yang kusebut tadi, tidak punya apa pun yang membanggakan, yang layak membuatku dikenal. Karenanya, aku justru akan malu kalau sampai dikenali banyak orang.”

Tyo nyengir. “Entah kamu sedang merendah, atau aku yang salah paham...”

“Tentu saja kamu tidak salah paham.” Saya mengisap rokok sesaat, lalu berkata, “Kamu mengenalku, menjadi temanku bertahun-tahun. Kamu tahu segalanya tentangku. Sekarang pikirkan... apa hal membanggakan dan istimewa dariku, yang layak membuatku dikenal banyak orang?”

Tyo menjawab ragu-ragu, “Kamu menulis, dan banyak orang membaca tulisanmu...”

Saya tersenyum. “Dan berapa banyak orang yang seperti itu? Sangat banyak! Tak terhitung! Kenapa aku harus merasa istimewa hanya karena itu, padahal banyak orang lain yang juga melakukannya?”

Sekali lagi Tyo nyengir. “Kenapa jawabanmu terdengar masuk akal?”

Saya ikut nyengir. “Karena aku tidak mengada-ada. Kamu tidak beda denganku; sama-sama orang yang punya kesibukan pribadi. Aku sibuk dengan pekerjaanku, dan kamu sibuk dengan pekerjaanmu. Kenapa aku harus merasa lebih istimewa darimu? Kebetulan saja aku bekerja sebagai penulis, meski sebenarnya ingin menjadi petani. Bagiku, menjadi penulis atau menjadi petani tidak ada bedanya—sama-sama mengerjakan sesuatu yang dicintai. Dan umpama aku menjadi petani, apakah kamu akan berpikir bahwa aku harus terkenal, hanya karena menjadi petani?”

Tyo menyergah, “Tapi menjadi petani dan menjadi penulis adalah dua hal yang berbeda...”

“Kamu berpikir itu dua hal yang berbeda, karena kamu berpikir begitu. Sebaliknya, aku berpikir semua pekerjaan sama saja. Menjadi penulis, menjadi petani, menjadi pelukis, menjadi penyanyi, atau menjadi apa pun. Aku tidak ingin ngotot menjadi dokter, misalnya, karena sadar tidak akan mampu menjadi dokter. Aku memilih pekerjaan yang aku bisa, dan aku berusaha sebaik yang aku bisa. Begitu pun kamu, dan orang-orang lain. Kenapa kita harus merasa istimewa hanya karena pekerjaan kita berbeda dengan orang lain?”

Tyo mengangguk-angguk, tapi juga tampak bingung. “Kenapa aku merasa kesulitan menyanggah omonganmu?”

Saya nyengir. “Karena kamu memang tidak perlu menyanggahnya.”

“Yo wis,” ujar Tyo sambil ikut nyengir. “Omong-omong, apakah sejak tadi aku sudah mengatakan hal-hal keren?”

Saya tertawa.

 
;