Minggu, 10 Mei 2020

Biasa aja

Dulu, aku pernah ngobrol dengan kapolsek di kotaku, membahas kasus tertentu. Di akhir percakapan, dia mengatakan, "Ini (percakapan kita) jangan dikembangkan, ya."

Aku memahami maksudnya. Karena "mengembangkan sesuatu" adalah sifat manusia yang, anehnya, tak disadari.

Banyak orang, di luar kesadaran mereka, senang mengembangkan sesuatu. Hal-hal yang sebenarnya biasa dikembangkan hingga terkesan luar biasa. Peristiwa yang sebenarnya alami dikembangkan hingga terdengar supranatural. Karena "mengembangkan sesuatu" tampaknya memang insting manusia

Ada orang, misalnya, biasa ngetwit saban hari. Lalu suatu waktu, tiba-tiba dia tidak pernah ngetwit lagi, sampai berhari-hari. Sebenarnya, alasan dia tidak ngetwit sampai lama itu karena memang sibuk di dunia nyata. Alasan yang sangat sepele dan biasa-biasa saja. Tetapi....

Tetapi, ada orang-orang yang tampaknya tidak bisa menerima kenyataan sepele dan sederhana itu, lalu "mengembangkannya" hingga terkesan "sensasional". Menurut mereka, orang tadi tidak ngetwit sampai lama karena bla-bla-bla (silakan karang sendiri, intinya sangat "sensasional").

Kenapa orang-orang tampaknya suka mengembangkan sesuatu yang sebenarnya biasa-biasa saja agar terkesan sensasional? Jawabannya panjang, dan mungkin ocehan ini akan selesai tahun 2871 kalau kuuraikan secara detail. Padahal ocehan ini cuma buat nunggu udud habis. Well, intinya...

Intinya, kecenderungan "mengembangkan sesuatu" memang bagian insting primitif—sekali lagi, insting primitif—manusia. Homo sapiens butuh "mengembangkan sesuatu" untuk bertahan hidup. Karena sebenarnya hidup mereka biasa-biasa saja, jadi mereka mengembangkannya agar "tidak biasa".

Di masa lalu, Homo sapiens "mengembangkan sesuatu" melalui hal-hal supranatural. Di masa kini, kecenderungan semacam itu masih ada, meski mungkin terkesan modern, yaitu "mengembangkan sesuatu" melalui hal-hal sensasional. Contoh mudahnya ya itu tadi. Soal orang jarang ngetwit.

Orang biasa ngetwit, lalu tiba-tiba menghilang dan tidak ngetwit sampai lama, semata-mata karena sibuk di dunia nyata atau sedang suntuk mengurusi pekerjaannya. Alasan yang sepele, sederhana, biasa-biasa saja. Tapi ada orang yang tak bisa menerima alasan sederhana semacam itu.

Contoh-contohnya bisa diperluas pada banyak hal, tentu saja. Misal, ada seseorang yang memilih tidak menikah, semata-mata karena memang menikmati kesendirian. Tapi banyak orang sulit menerima alasan sederhana semacam itu, lalu "mengembangkan teori" macam-macam yang "sensasional".

Misal lain, ada pasangan suami istri yang memutuskan untuk tidak punya anak, semata-mata karena menyadari mereka belum tentu mampu menghidupi anak secara layak. Alasan yang sederhana. Tapi orang-orang sulit menerima alasan semacam itu, lalu "mengembangkannya" hingga macam-macam.

Homo sapiens yang hidup jutaan tahun lalu dengan yang hidup di masa sekarang, tampaknya masih membawa insting yang sama, meski mereka telah pindah dari gua ke apartemen mewah. Karena menerima kenyataan yang sederhana tampaknya terlalu sulit bahkan nyaris mustahil bagi mereka.

And then, and then, and then, sepertinya kita tidak perlu heran mengapa hidup kita juga lekat dengan berbagai glorifikasi. Karena kenyataannya kehidupan manusia sungguh biasa-biasa saja... tapi kita kesulitan menerima kenyataan itu, dan berusaha "mengembangkannya".


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 29 Maret 2020.

 
;