Keheningan adalah rumahku.
Mungkin sederhana, tapi bagiku serasa Surga.
—@noffret
—@noffret
Sekitar tiga tahun lalu, saya menginap di rumah teman. Pagi hari, saya bangun tidur, dan melangkah gontai ke kamar mandi. Saat melewati ruang tengah, saya melihat teman saya—yang tentu sudah bangun lebih dulu—sedang duduk santai sambil membaca buku, dengan sebatang udud di tangan, sementara di dekatnya ada segelas kopi.
Melihat itu, langkah saya terhenti, dan menggumam, “Nikmat sekali hidupmu.”
Dia nyengir, dan menyahut, “Apalagi hidupmu.”
(Percakapan semacam itu biasa kami gunakan sebagai cara bercanda.)
Beberapa saat kemudian, saya telah duduk di depannya, dengan wajah segar, segelas teh hangat, dan sebatang udud menyala. Merasakan kehangatan teh yang baru mengalir ke tubuh, saya berkata, “Aku merindukan hal seperti itu.”
“Apa?” dia bertanya. Buku yang dibacanya telah tergeletak di meja.
Saya menjawab, “Membaca buku di pagi hari, sambil menikmati minuman hangat dan udud, dan tak peduli pada dunia. Seperti yang tadi kamu lakukan.”
Dia menatap heran, “Bukannya kamu biasa melakukan itu?”
“Akhir-akhir ini tidak.”
Waktu itu—saat percakapan ini terjadi, tiga tahun lalu—saya sedang suka “membaca” Twitter, khususnya di pagi hari. Bangun tidur, sambil menyesap teh hangat dan udud, saya membuka timeline, dan menikmati kicauan demi kicauan, mendapat kabar dan berita terbaru, dan semacamnya, dan semacamnya. Dan saya merasa senang-senang saja, karena nyatanya aktivitas itu memang menyenangkan.
Aktivitas membaca Twitter di pagi hari itu bisa berlangsung sampai lama, sampai saya merasa bosan. Yang jadi masalah, selalu ada hal baru di Twitter, jadi kemungkinan saya bosan bisa dibilang sangat kecil. Akibatnya, saya bisa berjam-jam “membaca” Twitter, tanpa tahu kapan akan “khatam”.
Kegiatan itu berlangsung hari demi hari, dan tanpa terasa menggantikan kebiasaan saya sebelumnya; membaca buku.
Dulu, sebelum kenal dan akrab dengan Twitter, saya biasa menikmati pagi hari dengan membaca buku. Jadwal rutin saya waktu itu adalah bangun tidur di pagi hari, bikin minuman hangat, lalu membaca buku sampai beberapa jam. Setelah itu bekerja, sambil melakukan berbagai aktivitas dan kegiatan sehari-hari, sampai malam. Kadang saya keluar rumah, kadang tidak. Kadang ada acara yang harus saya datangi, kadang tidak. Ya seperti orang lain umumnya.
Malam hari, ketika semua urusan “duniawi” telah selesai, saya kembali menikmati waktu dengan membaca buku—biasanya melanjutkan bacaan tadi pagi—dan terus membaca buku sampai akhirnya tertidur. Besok paginya, saya melanjutkan bacaan tadi malam... dan begitu seterusnya.
Rutinitas semacam itu lalu berubah, setelah Twitter—sang Negara Api—menyerang. Kehadiran Twitter waktu itu mengobrak-abrik rutinitas hidup saya yang sebelumnya tenteram dan damai... dan tak peduli pada dunia.
Sebelum kenal Twitter, bisa dibilang saya tidak peduli dengan apa pun yang ada di luar sana. Saya punya dunia sendiri—dunia yang sunyi, hening, dan tenteram. Waktu dan hidup saya hanya untuk bekerja dan belajar, dan saya menikmatinya. Tapi setelah kenal Twitter, saya seperti dipaksa untuk terus menerus mengetahui “apa yang terjadi” di luar sana, dan belakangan saya kesulitan untuk meninggalkan kebiasaan itu.
Sejak itulah, aktivitas membaca buku berganti membaca timeline. Tenggelam dalam ilmu pengetahuan berubah jadi tenggelam dalam hiruk pikuk berita kekinian. Dan ketika saya mulai menyadari, kesadaran itu tampaknya terlambat. Kebiasaan baru telah terbentuk, dan saya kesulitan meninggalkannya.
Butuh waktu lama bagi saya untuk melepaskan ketergantungan terhadap kebiasaan membaca Twitter, untuk mengembalikan diri dan hidup saya seperti sebelumnya. Namun, perlahan-lahan, akhirnya saya bisa mengurangi kecanduan pada Twitter, sedikit demi sedikit, seiring waktu.
Belakangan, yang terus terjadi sampai kemarin-kemarin, saya hanya membuka Twitter kalau pas selo. Misalnya, saat makan di warung dan menunggu pesanan disiapkan, saya kadang membuka Twitter. Atau saya janjian dengan seseorang di suatu tempat, dan—sambil menunggu dia datang—saya membuka Twitter. Paling-paling begitu. Jadi, aktivitas membaca Twitter tidak lagi “wajib” seperti semula, tapi hanya “sunah” atau bahkan “mubah”.
Biasanya pula, saya baru fokus membuka Twitter saat menjelang tidur di tengah malam. Sambil menyesap cokelat hangat dan menikmati udud, saya membuka Twitter dan ngoceh apa saja yang waktu itu sedang saya pikirkan—sebagai semacam “buang sampah pikiran” sebelum tidur. Karenanya, begitu cokelat hangat dan udud habis, saya pun menutup Twitter, dan tidur. (Kalian yang mengikuti akun saya di Twitter mungkin sudah hafal kebiasaan ini).
Tempo hari, jelang memasuki bulan puasa, saya kepikiran untuk juga “puasa ngoceh”, yaitu berhenti ngoceh di Twitter, menahan diri untuk tidak mengomentari apa pun. Ini semacam “peningkatan” dari upaya saya untuk melepaskan diri dari Twitter.
Karena sifatnya yang up to date, Twitter memang sarana yang tepat untuk “membuang sampah” apa pun dari pikiran. Ada kejadian apa saja, kita bisa melontarkan pendapat secara spontan, saat itu juga. Belakangan, saya menyadari, hal itulah yang menjadikan banyak orang—khususnya saya—merasa kesulitan melepaskan Twitter, karena Twitter memungkinkan siapa pun untuk ngoceh, atau—meminjam istilah psikologi—mengekspresikan diri.
Mengekspresikan diri, itu salah satu kebutuhan dasariah manusia, dan Twitter memungkinkan hal itu secara leluasa. Jadi kalau ada jutaan orang kecanduan Twitter, ya wajar. Karena jutaan orang itu merasa kebutuhan psikologisnya terpenuhi oleh Twitter. Bahkan kalau Abraham Maslow saat ini masih hidup, saya berani bertaruh dia juga akan punya akun Twitter. Karena bagi Maslow, ngoceh atau mengekspresikan diri adalah kebutuhan dasar manusia setelah makan, tidur, dan ngeseks.
“Uripmu durung sempurno nek durung ngoceh,” kata Maslow. Dan sekarang kita paham kenapa banyak orang suka memajang foto saat memegang mic.
Moment bulan puasa, saya pikir, adalah waktu yang tepat—khususnya bagi saya—untuk mulai mengurangi kecenderungan semacam itu. ‘Puasa’, istilah yang biasa kita gunakan saban Ramadan, akar katanya berasal dari bahasa Sanskerta, yakni ‘upavasa’, yang bisa diartikan ‘hidup dekat dengan’ atau ‘memasuki hening’.
Istilah itu lalu diadopsi oleh bahasa Jawa, menjadi ‘pasa’, yang artinya ‘mengekang’ atau ‘menahan’. Ini relate dengan asal kata puasa dalam bahasa Arab, ‘shama’, yang artinya ‘mencegah’ atau ‘menahan’.
Bulan puasa memaksa kita untuk menahan/mengekang makan, karena tak bisa lagi bebas makan kapan pun seperti biasa. Kadang pula menahan/mengekang tidur, karena ada tambahan aktivitas yang tidak ada di hari-hari biasa, sehingga menyita waktu tidur kita. Dalam hal ini, saya juga ingin menahan/mengekang ngoceh, yakni menahan hasrat untuk tidak mengomentari apa saja.
Karena itu, begitu masuk bulan puasa kemarin, saya pun mulai menerapkan tekad itu. Saya memang kadang masih membuka Twitter, untuk tahu apa yang sedang terjadi, namun hanya sekilas-sekilas, khususnya kalau pas selo. Dan meski kadang ada hasrat ingin ngoceh seperti sebelumnya, saya benar-benar menahan diri. Perlahan-lahan, hasrat pada Twitter pun menurun.
Sejak masuk bulan puasa kemarin, saya telah mulai kembali ke kebiasaan dulu. Saat akan tidur, saya tidak lagi membuka timeline, tapi membuka buku. Bukan ngoceh di Twitter seperti sebelumnya, tapi menyetubuhi keheningan kata-kata yang saya baca. Sampai kemudian cokelat hangat saya habis, dan udud menipis, lalu saya menutup buku, dan tidur dalam damai.
Saya tidak tahu apakah saya akan mampu untuk terus begitu, atau nantinya gagal di tengah jalan karena “terlalu gatal” untuk ngoceh kembali. Tapi saya sedang berusaha. Dan, tentu saja, saya berharap usaha saya berhasil.
Lebih dari itu, saya pun menyadari, ada atau tidak ada saya di Twitter, bisa dibilang tidak ada bedanya. Jadi, saya pun ingin melakukan hal serupa; ada atau tidak ada Twitter, tidak ada bedanya bagi saya.