Minggu, 10 Mei 2020

Noffret’s Note: Rambo

Rambo: Last Blood dan Terminator: Dark Fate bisa jadi dua film paling penting tahun ini. Karena, bisa jadi juga, itu menjadi film terakhir Sylvester Stallone dan Arnold Schwarzenegger.

Semoga mereka selalu sehat dan panjang umur. Bagaimana pun, mereka (pernah menjadi) bocah.

Dulu, kupikir, Sylvester Stallone dan Arnold Schwarzenegger tidak akan pernah tua. Tapi nyatanya mereka sekarang menua. Aku dulu juga pernah berpikir Profesor X dan Wolverine tidak akan bisa mati, tapi nyatanya mereka mati.

Sepertinya, yang abadi hanya En Sabah Nur.

Saat menyaksikan Rambo: Last Blood, aku benar-benar menikmati saat melihat Rambo mengamuk dan menyiapkan jebakan maut yang berdarah-darah. Sadis, tapi badass—jenis film yang selalu asyik ditonton.

"Aku hanya ingin pulang," katanya, "tapi tak pernah sampai rumah."

Dalam perspektifku sebagai bocah, Rambo adalah film paling "jujur" yang dibuat Amerika.

Film-film Rambo adalah kisah tentang pembalasan dendam, bahkan yang paling brutal, dan film-film itu tidak pernah sok suci dengan menyemburkan pesan moral ala film-film Hollywood umumnya.

Ada banyak film Hollywood yang bertema pembalasan dendam, tapi di dalamnya selalu terselip pesan moral, "Pembalasan dendam tidak akan mengembalikan kebahagiaanmu," atau semacamnya. Meski si tokoh tetap melakukan pembalasan dendam.

Rambo tidak sok bermoral semacam itu.

Rambo adalah pengejawantahan murni jiwa Amerika yang menganut—sesuatu yang kusebut—Corleonisme. Bahwa "pembalasan dendam adalah makanan penutup yang lezat, bila disajikan dalam keadaan dingin".

Tepat seperti itulah Amerika, dan sejarah mereka dengan jelas mengungkapkannya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 14 November 2019.

 
;