Jangan pernah tertipu oleh label harga.
Harga yang sejati tak pernah terlihat.
Firdan mestinya menikah, setelah lebaran tahun ini. Namun rencana itu bisa jadi batal, atau diundur, karena ada wabah corona. Dia maupun calon istrinya saat ini masih menunggu perkembangan. Keluarga Firdan dan keluarga calon istrinya juga sudah membicarakan kemungkinan mundurnya rencana pernikahan putra-putri mereka, dan sama-sama berharap wabah corona segera berlalu.
Saat kami bercakap-cakap, saya bertanya pada Firdan, “Bagaimana kamu bisa mantap akan menikah dengan wanita ini—calon istrimu?”
Firdan tersenyum. “Karena aku tahu cinta yang kurasakan, sebagaimana cintanya kepadaku, adalah cinta sejati,” jawabnya.
“Dan bagaimana kamu tahu itu cinta sejati?”
“Sederhana saja,” sahut Firdan, “saat seseorang mencintaimu, semata karena jatuh cinta kepadamu.”
Kisah Firdan ini menarik—bukan cuma pertemuannya dengan wanita yang akan dinikahinya, tapi juga kisah kehidupannya.
Firdan berasal dari keluarga kelas menengah. Orang tuanya punya usaha yang memungkinkan mereka menikmati kehidupan relatif tenang dan mapan. Belakangan, Firdan juga membangun usaha sendiri, yang membuatnya sukses. Skala usahanya bahkan lebih besar dibanding orang tuanya. Karenanya, dia membangun rumah mewah, dan mengendarai mobil mahal, khas anak muda kaya-raya.
Suatu hari, usaha orang tua Firdan bangkrut, akibat manajemen yang buruk. Kondisi tersebut berdampak pada ayah Firdan, yang lalu jatuh sakit. Singkat cerita, hal itu menjadikan usaha orang tua Firdan benar-benar mandeg.
Kenyataan itu memberi pelajaran penting kepada Firdan mengenai manajemen keuangan, sekaligus gaya hidup. Orang tua Firdan tipe tradisional yang menjalani hidup dengan filosofi “jalani saja, seperti air mengalir”. Kasarnya, menjalani hidup tanpa persiapan atau antisipasi jika hal buruk terjadi. Dalam contoh mudah, mereka tidak punya asuransi, atau persiapan khusus jika sewaktu-waktu butuh biaya besar dan mendadak. Akibatnya, ketika hal buruk terjadi, mereka kalang kabut.
Bertahun lalu, ketika menunggui ayahnya terbaring di rumah sakit, Firdan merenung sendirian. Kebangkrutan usaha orang tuanya, dan ayahnya yang kemudian jatuh sakit, adalah hantaman keras, yang tak pernah dipikirkannya. Untung, waktu itu, Firdan sudah punya usaha sendiri, sehingga bisa ikut menopang ekonomi keluarganya. Firdan pula yang kemudian membiayai kuliah adik-adiknya.
Belakangan, peristiwa itu memotivasi Firdan untuk belajar manajemen keuangan, persiapan menghadapi hal buruk yang mungkin terjadi, sampai ia menemukan kesadaran yang tak terduga. Dari buku-buku manajemen yang ia baca, hal penting yang mengubah kehidupan sekaligus gaya hidupnya adalah pelajaran tentang “aset dan liabilitas”.
Segala yang kita miliki dalam hidup—dari rumah, kendaraan, pakaian, gadget, sampai segala macam—pasti terbagi dalam dua hal itu; aset atau liabilitas. Jika suatu barang bukan aset, ia pasti liabilitas. Aset memberikan keuntungan, langsung maupun tak langsung, sementara liabilitas adalah beban. Aset adalah hal-hal yang kita miliki karena kebutuhan. Sementara liabilitas adalah hal-hal yang kita miliki karena keinginan; biasanya keinginan untuk pamer.
Ini adalah pelajaran penting yang dikuasai orang-orang kaya, tapi tidak dipahami orang-orang miskin dan kelas menengah! Ini pula yang menjadikan orang kaya terus bertambah kaya, sementara orang miskin dan kelas menengah hanya berputar dalam lingkaran yang tak pernah usai.
Firdan tercengang ketika pertama kali mendapati pengetahuan soal ini, dan mulai memahami kenapa orang tuanya bisa bangkrut nyaris seketika. Kenyataan serupa sebenarnya juga terjadi pada jutaan kelas menengah lain, yang sama-sama tidak memahami perbedaan antara aset dan liabilitas.
Lalu Firdan memikirkan rumahnya yang mewah, dan mobilnya yang mahal, serta aneka hal lain yang dimilikinya. Ia menimbang dan memutuskan, apakah rumah, mobil, serta aneka hal lain itu aset baginya... atau cuma liabilitas?
Ia hidup sendirian, dan sebenarnya tinggal di rumah sederhana tidak masalah baginya. Ia juga jarang bepergian, dan kalau pun naik motor sama sekali bukan masalah untuknya.
Dia lalu menyimpulkan, rumah dan mobil miliknya sebenarnya liabilitas, bukan aset. Rumah dan mobil itu hanya menjadi beban, tapi tidak memberi keuntungan riil. Rumah mewah membutuhkan perawatan yang mahal, pajak yang mahal, sebagaimana perawatan dan pajak mobilnya yang sama-sama mahal. Biaya yang ia keluarkan untuk rumah dan mobil tidak menghasilkan manfaat yang sama besar—selain sekadar prestise, tentu saja.
Kesadaran itu mendorong Firdan melakukan tindakan drastis; ia menjual rumah dan mobilnya, lalu pindah ke rumah sederhana, dan mulai naik motor ke mana-mana. Tidak ada lagi atribut kekayaan, tidak ada lagi penampilan mewah. Berdasarkan pengakuannya sendiri, Firdan sama sekali tidak masalah menjalani hidup sederhana semacam itu, karena “pada dasarnya, aku memang orang sederhana”.
Lalu ke mana uang dari penjualan rumah dan mobilnya? Ia masukkan ke dalam investasi. Kali ini, uang itu menjadi aset baginya—bukan liabilitas—karena memberikan keuntungan riil. Tanpa rumah mewah dan mobil mahal, Firdan tidak lagi harus mengeluarkan biaya perawatan dan pajak yang mahal. Sebaliknya, ia mendapat keuntungan dari uang yang ia miliki. Itulah kekayaan sesungguhnya! Bukan yang tampak, tapi justru yang tak tampak!
Setelah memulai kehidupan sederhana, Firdan tetap melanjutkan usahanya seperti biasa. Dia terus mengumpulkan keuntungan. Tapi kali ini tidak lagi ia gunakan untuk bermewah-mewah atau memanjakan keinginan hedon ala anak muda. Sebaliknya, ia masukkan keuntungan usahanya ke dalam investasi. “Hidupku masih panjang,” katanya, “dan aku tidak tahu apa yang ada di depan. Yang bisa kulakukan sekarang adalah persiapan.”
Sejak itu, Firdan yang lama seperti berganti dengan Firdan yang baru. Tidak lagi glamor dan mewah, tapi sederhana dan bersahaja. Ponsel yang biasa ia gunakan juga tergolong biasa, bukan ponsel mahal ala anak kekinian.
“Yang penting bisa memenuhi kebutuhanku,” ujarnya. Dan itu pula yang menjadi filosofinya kemudian. Ia sudah bisa membedakan mana kebutuhan dan mana keinginan. Dari luar, Firdan tampak seperti orang biasa yang sederhana, dengan usaha sederhana, biasa berpenampilan dan menjalani hidup sederhana, tapi aslinya sangat kaya. Sekali lagi, itulah kekayaan sesungguhnya—bukan hal-hal yang tampak, tapi justru yang tak tampak.
Secara pribadi, Firdan benar-benar menikmati kehidupannya sekarang, yang sederhana dan bersahaja, seperti umumnya orang-orang. Tetapi, ternyata, perubahan drastis itu menghadapkan Firdan pada hal-hal yang sama sekali tidak pernah ia duga.
“Sejak itu, jumlah kawanku berkurang drastis,” ujarnya dulu, saat menceritakan. “Sepertinya mereka mengira aku bangkrut, atau jatuh miskin.”
Lebih lanjut, ia mengatakan, “Semula aku tidak paham. Tapi perlahan namun pasti, aku makin menyadari kalau mereka memang menjauh dariku. Teman-teman yang biasa asyik, tiba-tiba berubah, dan mulai sulit diajak ketemuan atau kumpul-kumpul seperti sebelumnya. Beberapa teman yang semula rajin kirim SMS, tiba-tiba tidak lagi, bahkan SMS-ku sering tidak dibalas. Mereka yang semula sikapnya sangat baik, tiba-tiba tampak merendahkanku.”
Kemudian, dengan nada sedih, Firdan menyatakan, “Sepertinya, gaya hidupku yang sekarang tidak cocok bagi mereka.”
Waktu itu, saya mencoba membesarkan hatinya, “Setidaknya, sekarang, kamu tahu mana teman yang sejati, dan mana yang bukan.”
Waktu-waktu berlalu, dan Firdan konsisten menjalani kehidupannya yang bersahaja, bahkan menikmatinya. Ia mendapat teman-teman baru, kenalan baru, dan menjalani persahabatan baru. Bahkan, belakangan, seorang perempuan yang membuatnya jatuh cinta.
“Dia tidak tahu siapa aku sebenarnya,” ujar Firdan menceritakan perempuan itu. “Dia hanya tahu aku orang sederhana, dengan usaha ala kadarnya, dengan penghasilan yang tak seberapa. Aku jatuh cinta kepadanya, dan dia mau menerimaku. Kalau kamu menempati posisiku, kamu akan tahu bahwa perempuan itu benar-benar tulus mencintaimu.”
Saya memahami maksud Firdan sepenuhnya.
“Karena itulah, aku mantap ingin menikahinya, karena meyakini telah menemukan cinta sejati,” ujar Firdan, “seseorang yang mencintaimu, ketika kamu bukan siapa-siapa.”