Ada temanku yang dulu pernah ge-er,
mengira Titi Kamal jatuh cinta kepadanya.
mengira Titi Kamal jatuh cinta kepadanya.
Ternyata dia keliru. Lalu membenci Titi Kamal. Sangat lucu!
Istilah GR (ge-er) dulu pernah populer, yang, kalau tak keliru, merupakan singkatan "gede rasa" atau “gede rumangsa”. Saya tidak yakin bagaimana menerjemahkan istilah itu ke bahasa Indonesia yang tepat. Mungkin “terlalu percaya diri” cukup mendekati istilah tersebut, atau dalam istilah Inggris, “over-confidence”.
Orang menyapa dengan ramah, dikira naksir. Orang mengajak bercanda, dikira mau pedekate. Itu sedikit contoh ge-er atau “mengira sesuatu melebihi kenyataan yang dihadapi”.
Karena bisa jadi, orang yang menyapa ramah memang semata-mata bermaksud menyapa, tanpa perasaan naksir seperti yang disangka. Misal karena dia memang orang ramah, yang biasa ramah kepada siapa pun.
Orang yang mengajak bercanda juga bisa jadi semata ingin bercanda, mungkin karena mengira kita orang yang asyik, sehingga bisa diajak tertawa bersama. Tidak ada harapan lain semisal ingin pedekate.
Tapi kita selalu punya kemampuan untuk “merasa”, untuk ge-er, untuk mengira sesuatu melebihi kenyataan yang terjadi. Dan seperti kemampuan lain, kemampuan untuk ge-er itu bisa digunakan atau tidak digunakan. Karena tidak semua “kemampuan” pasti baik atau mendatangkan hal baik. Begitu pun kemampuan untuk ge-er. Ada banyak waktu dan kesempatan ketika kemampuan satu itu sebaiknya tidak usah digunakan.
Urusan ge-er sebenarnya tidak sebatas pada urusan cinta-cintaan seperti yang dicontohkan tadi. Dalam kehidupan luas, selalu ada kesempatan ketika kita bisa “merasa” atau ge-er, dan ternyata keliru. Karenanya, dalam hal ini, saya kadang mikir—yang saya tujukan untuk diri sendiri—bahwa “kurang percaya diri” bisa jadi lebih baik daripada “terlalu percaya diri”.
Ketika orang merasa kurang percaya diri, dia akan lebih berhati-hati dalam bicara maupun dalam bersikap. Lebih khusus, dia juga akan lebih berhati-hati dalam “merasa”. Orang yang kurang percaya diri biasanya jarang ge-er. Ya karena nyatanya memang kurang percaya diri.
Sebaliknya, orang yang terlalu percaya diri memiliki sikap dan cara pikir berbeda. Ketika orang terlalu percaya diri, kadang-kadang dia kehilangan kontrol. Karena terlalu percaya diri, dia jadi kurang hati-hati dengan sikap atau ucapannya. Ya namanya juga terlalu percaya diri. Dan orang-orang semacam ini pula yang kadang tergelincir pada perasaan ge-er.
Yang baik dan sehat tentu saja “percaya diri”—tidak kurang, tidak lebih.
Omong-omong soal ge-er. Apakah ge-er itu baik, atau tidak baik? Sebenarnya, ge-er baik-baik saja, asal dipendam sendiri. Misal, saya ge-er dan berpikir kalau Si A naksir saya. Sampai di situ, sebenarnya tidak masalah, wong itu cuma perasaan subjektif saya, yang saya simpan sendiri.
Masalah mulai terjadi, ketika saya mengganggu Si A, atau membuatnya tidak nyaman, hanya karena saya ge-er dan berpikir dia naksir saya. Atau, saya koar-koar ke orang-orang, bahwa Si A naksir saya. Pada tahap semacam inilah perasaan ge-er menjadi masalah, karena sudah menyangkut ke orang lain, yang, sebenarnya, belum tentu seperti yang kita pikirkan.
Seperti saya yang ge-er kalau Si A naksir saya. Apakah memang benar Si A naksir saya? Belum tentu, karena bisa jadi Si A malah tidak kenal saya sama sekali. Dan kalau pun kenal, tidak ada jaminan kalau Si A benar-benar naksir saya. Wong itu cuma perasaan ge-er saya sendiri. Saya cuma “merasa”.
Seperti yang disebut tadi, urusan ge-er ini tidak sebatas naksir-naksiran atau cinta-cintaan. Dalam kehidupan kita sehari-hari, ada banyak kesempatan yang memungkinkan kita ge-er, dan ternyata salah sangka. Agar uraian ini lebih mudah dipahami, mari gunakan contoh nyata yang menunjukkan bagaimana kemampuan “merasa” ini bisa bermasalah.
Pada Oktober 2019, saya menulis catatan berjudul Percakapan di Dapur. Catatan itu sebenarnya cuma berisi percakapan saya dengan seorang teman, di dapur rumahnya. Namanya percakapan dengan teman, kami pun ngobrol ngalor ngidul, membahas apa saja, sambil sesekali cekikikan. Dalam percakapan itu, saya juga sempat menyatakan bahwa kontrak kerja saya akan berakhir, dan saya tidak bermaksud memperpanjang lagi.
Hal itu murni bagian dari percakapan, yang saya utarakan ke teman saya tanpa maksud apa pun. Karena nyatanya waktu itu memang kontrak kerja saya dengan suatu institusi akan berakhir, dan saya memang tidak akan memperpanjang lagi. (Waktu itu, sebenarnya, saya berencana untuk fokus mengembangkan situs Belajar Sampai Mati, dan ingin mencurahkan semua waktu saya untuk situs itu).
Namun, ternyata, isi percakapan yang ngalor-ngidul itu diartikan berbeda oleh orang lain. Rupanya, ada orang yang “merasa” bahwa catatan itu ditujukan untuknya. Beberapa hari setelah catatan itu muncul di blog, ada seseorang menghubungi saya. Kita sebut saja Mister X. Dia mengatakan, “Aku harus minta maaf, posisi kerja di tempatku sudah ditempati orang lain.”
Dengan kaget campur bingung, saya bertanya apa maksudnya. Mister X tampak canggung, lalu menjelaskan, “Uhm... aku mengira, kamu meninggalkan pekerjaanmu di tempat lama karena ingin bekerja di tempatku.” (Dia membaca catatan yang saya unggah di blog, dan mengira catatan itu bermaksud begitu).
Sepertinya saya perlu menjelaskan sesuatu terkait kesalahpahaman ini. Beberapa waktu sebelumnya, saya dan Mister X memang sempat berhubungan, terkait startup yang didirikannya. Waktu itu, kami bercakap-cakap terkait startup tersebut, dan Mister X minta pertimbangan saya untuk hal-hal tertentu. Saya pun menanggapinya secara baik, secara positif. (Hal inilah yang belakangan membuatnya mengira bahwa saya ingin bekerja di tempatnya).
Akhirnya, saya jadi ikut canggung, dan menjelaskan bahwa saya tidak punya maksud atau rencana bekerja di tempatnya, bahwa saya tidak memperpanjang kontrak kerja karena ingin fokus mengembangkan situs Belajar Sampai Mati.
Kejadian itu membuat kami sama-sama canggung, tapi untunglah Mister X ini orang baik yang ramah, dan hubungan kami juga baik-baik saja sampai sekarang.
Itu salah satu contoh bagaimana sesuatu yang kita “rasakan”—kita kira, kita sangka, kita duga—terkait orang lain, bisa jadi keliru. Dalam hal ini, saya beruntung, karena setidaknya orang yang “keliru” semacam itu adalah Mister X, orang yang saling kenal dengan saya secara langsung, sehingga kami bisa saling mengklarifikasi secara baik-baik, hingga tidak timbul kesalahpahaman berkepanjangan.
Bayangkan, misalnya, orang yang keliru itu tidak saling kenal dengan saya. Dia, sekali lagi misalnya, mengira saya ingin bekerja di tempatnya, tapi tidak melakukan klarifikasi dengan saya, dan terus beranggapan begitu—bahwa saya ingin bekerja di tempatnya. Lalu, bisa jadi, dia mengatakan pada orang-orang lain bahwa saya ingin bekerja di tempatnya, dan bla-bla-bla.
Fenomena semacam itu, sadar atau tidak, kerap terjadi dalam kehidupan kita. Ada banyak kabar yang kita dengar, seolah-olah fakta, tapi sebenarnya hanya berasal dari seseorang yang “merasa”.
Bahkan ketika seseorang mengatakan “I love you”, belum tentu dia memang jatuh cinta kepadamu. Karena ada orang-orang yang memang biasa “mesra” atau ekspresif kepada siapa pun saat menunjukkan kesenangannya, termasuk dalam menggunakan kata “I love you”. Tetapi, sekali lagi, artinya belum tentu jatuh cinta kepadamu atau ingin jadi pacarmu. Karena teks (dalam hal ini ucapan) selalu dilatari konteks (dalam hal ini kebiasaan atau kepribadian orang per orang).
Ini sebenarnya sebelas dua belas dengan kebiasaan misuh, misalnya. Ada orang-orang yang punya kebiasaan misuh, salah satunya untuk menunjukkan kesenangan atau kegembiraan. Ketika dia misuh di hadapan kita—misalnya, “Asu! Gimana kabarnya, Su? Senang sekali bisa melihatmu!”—tentu kita paham bahwa dia misuh bukan karena benci kita, tapi justru senang bertemu kita. Cara orang mengungkapkan sesuatu, sering kali terkait dengan kebiasaan atau kepribadiannya.
Well, untuk melengkapi cerita di atas, yang mungkin terkesan ngambang dan belum jelas, sepertinya saya perlu menambahkan sesuatu.
Semula, saya berencana fokus mencurahkan waktu untuk mengembangkan situs Belajar Sampai Mati (BSM). Dalam pikiran saya, waktu itu, saya bisa menulis puluhan artikel per hari, seperti yang saya bayangkan, agar situs tersebut cepat berkembang. Namun ternyata rencana itu harus tertunda.
Seorang teman mengajak saya untuk mengembangkan platform yang dibuatnya, dan saya tertarik. Jadi, alih-alih mencurahkan waktu untuk mengembangkan BSM, sampai saat ini saya justru sedang fokus bersama teman saya mengembangkan platform miliknya. Sebegitu sibuk, sampai saya kehabisan waktu untuk menulis di BSM, dan hanya bisa mengunggah satu artikel per hari. (Kalau menulis di situs sendiri saja sudah kehabisan waktu, apalagi menulis di situs orang lain?)
Akhirnya, “merasa” adalah hak setiap orang, dan baik-baik saja, selama tidak terkait orang lain, atau hanya dipendam sendiri. Merasa pintar, misalnya. Ya silakan, wong itu hak setiap orang. Wong saya pun kadang merasa pintar, meski nyatanya tidak pintar-pintar amat.