Rabu, 20 Mei 2020

Berbuka dengan Putih-putih

Barusan berbuka dengan putih-puttiiiiiih. Apppeeeuuhh...? Maksudnya berbuka dengan bakpau.

Berbuka dengan putih-putih membuatku mikir. Banyak orang di kampung-kampung—termasuk orang tuaku—yang kurang mendapat informasi mengenai virus corona. Dan tak lama lagi mereka akan menghadapi lebaran atau Idul Fitri, dan akan terjadi interaksi dalam skala besar di mana-mana.

Mereka akan salat Id di masjid-masjid yang melibatkan ribuan orang, mereka juga akan "bersilaturrahmi" seperti umumnya saat lebaran, dan bertemu banyak orang yang berasal dari mana pun. Si A akan bertemu dengan Si B, dan Si B telah bertemu dengan Si C, dan begitu seterusnya.

Si A mungkin tidak pernah bertemu dengan Si Z (yang bisa jadi terinfeksi corona). Tetapi, melalui perantaraan "silaturrahmi", bisa saja Si A tertular Si Z. Sementara mereka—orang-orang kampung, termasuk orang tuaku—tidak pernah menyadari kenyataan/kemungkinan semacam itu.

Well, sebenarnya aku sudah bertekad untuk "puasa ngoceh" selama Ramadan ini. Tapi yang kupikirkan saat ini sepertinya harus kuocehkan sekarang. Jadi, sambil menunggu bakpau di piring habis, sepertinya aku harus ngoceh.

Ngoceh sambil menikmati putih-putiiiiiiiihh. Appeeuuuuuh...

Sekitar 1 bulan sebelum Ramadan, adikku pulang—itu masa ketika Jakarta tengah genting dihantam corona. Aku menjemputnya ke stasiun, dan langsung membawanya ke rumahnya sendiri. Aku minta dia mengkarantina-diri sampai setengah bulan ke depan. Semua kebutuhannya sudah kusiapkan.

Adikku setuju—dia juga menyadari pentingnya melakukan karantina-diri. Sejak itu dia tinggal di rumahnya sendiri. Tapi aku masih punya tugas penting; memastikan orang tuaku tidak menemuinya. Jadi, aku berusaha menjelaskan bahwa adikku perlu karantina-diri, dan jangan ditemui dulu.

Tugas yang mungkin terdengar mudah itu nyatanya sangat berat. Aku harus melakukan "presentasi" berjam-jam—menggunakan bahasa awam—agar ibuku memahami kenapa adikku harus melakukan karantina diri, dan kenapa dia belum boleh ditemui. Kami bahkan hampir bertengkar gara-gara itu.

Ibuku, seperti umumnya ibu-ibu lain, nonton teve seharian, bahkan sampai malam. Tapi dia tidak tahu virus corona! Dan kalau pun tahu—berdasarkan ocehan penyiar teve yang mungkin didengarnya—dia tidak memahami bahwa virus itu bisa menyerang siapa saja, termasuk anak-anaknya!

Bisa memahami yang kurisaukan?

Ada banyak orang seperti ibuku—orang-orang kampung sederhana, yang kurang mampu memahami/mencerna informasi, dan bisa jadi mereka berpikir bahwa "semua hal buruk (termasuk virus corona) hanya terjadi pada orang-orang yang jauh di luar sana".

Dan tak lama lagi, saat lebaran tiba, orang-orang kampung sederhana itu akan bertemu dengan banyak orang lain, dari mana saja, atas alasan "silaturrahmi". Si A akan bertemu Si B, dan Si B ketemu Si C, dan begitu seterusnya, sampai Si Z. Dari A sampai Z, segala hal bisa terjadi.

Itulah kenapa, setengah bulan yang lalu, aku menulis tweet ini; bahwa yang perlu dilarang sebenarnya bukan hanya mudik, tapi juga lainnya—hal-hal yang terkait kumpul-kumpul ala lebaran. Tapi kalau pun ada larangan, siapa juga yang menjamin semua akan taat?

Yang perlu dilarang sebenarnya bukan cuma mudik, tapi semuanya.

Jadi, sejujurnya, aku merisaukan apa yang akan terjadi, tak lama lagi. Saat lebaran akhirnya tiba, ketika orang-orang saling berkumpul di mana-mana, dan memaksa diri untuk bertemu dengan alasan "silaturrahmi". Aku khawatir sesuatu yang besar—yang tidak kita inginkan—akan terjadi.

Footnote:*

Aku sengaja menggunakan tanda kutip untuk istilah "silaturrahmi", karena istilah itu—sebagaimana banyak istilah lain seputar lebaran—telah mengalami kekeliruan bahkan penyimpangan dari makna sebenarnya. (Sila tanya ulama yang berkompeten).

*Ngoceh wae ono footnote.

Endnote:

Adikku baik-baik saja, btw. Dia sehat dan tidak kurang suatu apa (istilah Orde Baru untuk menyebut "tanpa masalah").

Dan sekarang aku akan melanjutkan menikmati putih-puttiiiiiihhh... apppeeeeeeeuuuh...


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 Mei 2020.

 
;