Jumat, 01 Mei 2020

Keyakinan Tak Butuh Tanya

Ada orang-orang yang percaya bahwa jika seseorang atau sekelompok orang mabuk di suatu tempat, maka azab (bencana) akan mendatangi tempat itu. Karena itulah, orang-orang pun melarang siapa pun untuk mabuk, dengan dalih agar “kita selamat dan tidak terkena azab”.

Saya bukan pemabuk, bahkan tidak mengonsumsi alkohol. Tetapi, saya bertanya-tanya, apa kaitan antara mabuk dengan datangnya bencana? Tentu saja ada kaitannya, jika pertanyaan itu dijawab dengan perspektif agama. Agama yang mana? Tentu agama yang melarang mabuk.

Di Jakarta, pernah ada sekelompok orang yang menghancurkan toko yang disinyalir menjual alkohol/minuman keras. Alasan mereka, toko itu adalah penyebab datangnya banjir yang tempo hari melanda Jakarta dan sekitarnya.

Aksi sekelompok orang itu mungkin dianggap konyol sebagian kita, karena, “apa hubungan antara toko penjual miras dengan datangnya banjir?” Tapi mereka, yang menghancurkan toko, sangat percaya bahwa dua hal itu—toko miras dan banjir—saling berkaitan.

Ini tak jauh beda dengan orang yang tempo hari sampai menjebak dan mengorbankan seorang perempuan di hotel demi membangun pencitraan diri, lalu koar-koar bahwa “kemaksiatan akan mendatangkan tsunami”. Ya, kita seperti diberitahu bahwa 1 + 1 = 25—atau berapa pun.

Fenomena sosial semacam itu menjadikan kita menatap agama sebagai sesuatu yang ironis. Betapa agama yang mestinya bisa menjadi solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah, tapi justru menimbulkan masalah lain ketika dipaksa digunakan seenaknya.

Bahkan kalau pun keyakinan itu benar, masih ada masalah lain; apakah semua orang memiliki agama sama, dengan keyakinan serupa, dan menyetujui cara pendekatan yang dilakukan untuk “menyelesaikan masalah”?

Sayangnya, keyakinan tidak menerima tanya.

 
;