Tahu-tahu sudah Kamis lagi.
Omong-omong soal hari Kamis...
Sambil nunggu udud habis.
Ada orang—atau sebagian orang—yang menyebut Kamis sebagai “hari berkah”, misal karena di hari itu mereka kebetulan sering mendapat rezeki. Jadi, mereka pun percaya bahwa Kamis adalah “hari penuh keberkahan”. Tentu saja sah, dan kepercayaan semacam itu hak setiap orang.
Setiap orang berhak menganggap hari apa pun sebagai “hari berkah”, khususnya jika hari yang dianggap berkah itu memang memberi kebahagiaan untuknya. Orang suka punya “keyakinan” semacam itu, meski relatif dan subjektif. Tidak apa-apa, itu kecenderungan yang manusiawi.
Selama orang meyakini sesuatu dan hanya ia yakini sendiri, selama itu pula tidak masalah. Masalah mulai terjadi ketika orang—atau sebagian orang—memaksakan/mendoktrinkan keyakinannya kepada orang-orang lain, misal bahwa Kamis adalah hari berkah, dan semua orang harus percaya.
Ada orang-orang yang justru menganggap Kamis sebagai hari sial, misalnya, karena tiap Kamis selalu saja ada masalah datang. Orang-orang itu pasti akan keberatan jika diminta apalagi dipaksa untuk percaya bahwa Kamis adalah hari berkah, wong yang mereka hadapi justru sebaliknya.
Berkah, karunia, rezeki, itu sesuatu yang relatif dan subjektif—dalam arti; ketika satu orang mendapatkannya, tidak berarti semua orang pasti akan mendapatkannya pada waktu yang sama. Kalau kita mendapatkan berkah atau rezeki di hari Kamis, belum tentu orang lain sama.
Begitu pula pekan, bulan, atau tahun. Sebagian orang mungkin menganggap September adalah bulan terindah dalam satu tahun. Ya silakan, wong itu hak masing-masing orang. Yang bermasalah adalah jika memaksa semua orang untuk sama-sama meyakini keyakinan yang sama.
Kalau menurutku, September adalah bulan yang biasa-biasa saja. Itu menurutku. Kalau menurutmu beda, ya tidak apa-apa.
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 30 September 2021.