Rabu, 04 Maret 2015

Frustrasi Mikir Nasi

Karena beras mahal, warung-warung makan
mencari yang murah. Hasilnya, nasi mereka tidak enak.
Akibatnya, nasib umat manusia dipertaruhkan.
@noffret


Urusan laknat beberapa waktu terakhir ini adalah harga beras yang—katanya—melambung tinggi. Saya sebut “katanya”, karena memang tidak pernah membeli beras. Untuk keperluan makan nasi, saya membeli dalam bentuk matang di warung makan. Sementara fakta mahalnya harga beras, saya baca di berbagai berita. Dan kenyataan itu, bagi saya, sungguh-sungguh kenyataan yang terlaknat.

Dalam seminggu terakhir, saya frustrasi karena warung-warung makan langganan mengalami dekadensi moral dalam membuat nasi. Karena harga beras yang mahal, warung-warung penjual nasi mengkhianati idealismenya, dan memilih beras yang murah. Akibatnya, ketika ditanak menjadi nasi, hasilnya tidak seenak beras yang normal. Itu sungguh malapetaka bagi kemanusiaan. Setidaknya kemanusiaan saya.

Sebagai manusia yang tinggal di Indonesia, dan hidup dengan adat serta kebudayaan Jawa, saya telah membiasakan diri untuk makan nasi sebagai makanan sehari-hari. Meski begitu, believe it or not, saya hanya makan nasi satu kali setiap hari. Bandingkan itu dengan orang lain yang umumnya makan nasi dua sampai empat kali setiap hari. Para tetangga saya, misalnya, biasa sarapan dengan nasi, makan siang dengan nasi, dan makan malam dengan nasi. Tiga kali makan nasi setiap hari.

Meski makan nasi, saya tidak sampai “segitunya”. Saat sarapan, saya tidak makan nasi—biasanya cuma minum kopi dan merokok. Tidak lama setelah itu, saya makan roti dengan teh hangat. Selama seharian, saya tidak makan nasi sama sekali—hanya minum teh dan merokok. Jika lapar, saya makan roti—secukupnya. Makan nasi baru saya lakukan pada sore atau malam hari. Jadi praktis saya hanya makan nasi satu kali. Jika terpaksa saya makan nasi dua kali, itu sudah maksimal. Sejak berumur 17, Tuhan menjadi saksi, saya belum pernah makan nasi lebih dari dua kali dalam sehari.

Sejak keluar dari rumah orangtua dan mulai hidup sendirian, sejak itu pula saya mulai membiasakan diri hanya makan nasi satu kali setiap hari. Dan kebiasaan itu telah berlangsung bertahun-tahun, sampai hari ini. Selama seharian, saya hanya makan roti dan minum teh. Baru makan nasi saat makan malam. Jika siang hari sudah makan nasi, maka malamnya tidak makan nasi. Makan nasi satu kali sehari itu sebenarnya bukan didasari faktor ekonomi, tapi lebih karena alasan kebugaran.

Saya merasa lebih sehat dan lebih bugar—juga bisa bekerja dengan lebih baik—jika perut dalam kondisi tidak lapar, tapi juga tidak kenyang. Selama bekerja dan beraktivitas, saya membutuhkan pikiran yang terus-menerus segar. Pikiran yang segar ditunjang fisik yang bugar dan seimbang. Untuk bugar dan seimbang, saya harus menjaga perut dalam kondisi tidak lapar, tapi juga tidak kenyang.

Jika perut kita lapar, kinerja otak akan menurun, karena suplai oksigen melalui darah ke otak akan berkurang. Sebaliknya, ketika kenyang, kinerja otak juga terhambat, karena perut sedang sibuk mencerna makanan, yang biasanya membutuhkan energi serta waktu lama. Karenanya, untuk menjaga otak terus berada di puncak kapasitasnya, kita harus mengusahakan agar tubuh dalam kondisi seimbang terus-menerus—tidak lapar, tapi juga tidak kenyang.

Untuk mencapai kondisi “ideal” itu, saya pun hanya minum teh dan makan roti secukupnya. Plus merokok. Itu “menu” khusus saya untuk terus menjaga fisik dalam kondisi seimbang—tidak lapar, tapi juga tidak kenyang—dan pikiran saya bisa terus segar. Dampak positifnya, saya tidak pernah dirisaukan berat badan.

Malam hari, biasanya saya baru keluar rumah untuk mencari nasi. Jadi, sejak bangun tidur, saya baru menikmati nasi setelah malam hari. Karena hanya makan nasi satu kali, maka saya benar-benar memastikan nasi yang saya makan memenuhi standar kualifikasi. Saya tidak terlalu merisaukan lauk-pauk apa yang menyertai, tapi nasinya harus benar-benar sempurna, dengan ciri-ciri berikut ini:
  • keras tapi empuk (tidak lembek);
  • tidak menggumpal (butiran-butiran nasinya bisa terpisah dengan mudah);
  • bentuknya elips atau lonjong (bukan bulat);
  • tidak lengket di tangan (jika dimakan tanpa sendok);
  • warnanya putih cerah.

Nasi “sempurna” semacam itu hanya mungkin dibuat dari beras berkualitas baik, dengan cara menanak yang sama baiknya. Dan cuma nasi semacam itu pula yang saya suka. Jika nasinya tidak memenuhi standar kualifikasi seperti yang tadi disebutkan, saya tidak doyan. Saya bahkan lebih memilih menahan lapar daripada memaksa diri makan nasi yang tidak saya sukai. Biasanya, jika kebetulan tidak mendapat nasi yang ideal semacam itu, saya akan makan siomay, atau batagor, dan praktis saya tidak makan nasi sehari semalam.

Selama ini, saya tidak terlalu kesulitan mencari nasi seperti itu. Ada cukup banyak warung makan menyediakan nasi “sempurna” seperti yang saya inginkan, dan saya pun menjadi pelanggan mereka. Kadang-kadang mereka memang melakukan “kesalahan” sekali dua kali, hingga nasi yang mereka sajikan tidak sebaik biasanya. Tapi saya berusaha memaklumi jika mereka kembali ke “jalan yang benar”, dengan membuat nasi sebaik semula. Jika suatu warung makan tiga kali berturut-turut membuat nasi lembek, maka saya pun mengucap good bye kepada mereka.

Nah, akhir-akhir ini, saya menghadapi masalah yang benar-benar terkutuk dan terlaknat. Warung-warung langganan tidak lagi membuat nasi sebaik semula. Kini, rata-rata nasi mereka lembek, dengan butiran-butiran nasi menggumpal, dan lengket seperti lem. Jika saya perhatikan, butiran-butiran nasi itu bahkan tidak elips—bentuknya cenderung bulat. Itu benar-benar nasi yang tidak akademis!

Saya pun menanyakan hal itu pada si penjual—kenapa nasi mereka sekarang “rusak” seperti itu. Biasanya mereka menjawab, “Ini memang berasnya beda, Mas.”

Semua orang juga tahu, pikir saya dengan jengkel. Fakta bahwa nasi yang disajikan tidak sebaik semula, dengan jelas menunjukkan beras yang digunakan tidak lagi sama. Dan beras yang “beda” itu juga pasti beras yang kualitasnya buruk, sehingga nasi yang dihasilkan juga tidak bagus. Ketika mereka mengulang kesalahan yang sama tiga kali, saya pun pergi dari warung mereka selama-lamanya. Saya tidak doyan nasi semacam itu!

Sialnya, warung-warung lain juga tampaknya melakukan hal yang sama. Nasi mereka yang semula enak dan sempurna, sekarang berganti nasi tidak jelas, berbentuk tidak jelas, dengan rasa yang sama tidak jelas. Puncaknya, warung penyedia pecel lele kesayangan saya—yang pernah saya puji sebagai pecel lele paling nikmat sedunia akhirat—juga ikut-ikutan membuat nasi tidak jelas seperti itu! Ya Tuhan, bencana apa yang sedang menimpa dunia ini?

Berdasarkan berita-berita yang saya baca, bencana itu ternyata berupa harga beras yang naik tak terkendali. Beras di pasaran sekarang mahal, kata berita. Karena harga beras mahal, rata-rata warung makan pun kemudian beralih ke beras yang lebih murah, dan akibatnya nasi buatan mereka mengalami penurunan kualitas. Yang semula keras dan enak, sekarang jadi lembek dan tidak enak. Bagi saya, itu benar-benar bencana kemanusiaan!

Mengapa harga beras akhir-akhir ini menjadi mahal? Aria Bima, Wakil Ketua Komisi VI DPR, mensinyalir harga beras naik tak terkendali karena adanya mafia yang mempermainkan harga. “Kemungkinan memang ada (mafia beras), meski belum terbukti,” ujarnya pada para wartawan. “Mereka bisa memainkan harga, sebagaimana terjadi pada komoditas lain, seperti daging, energi, illegal fishing, dan lain sebagainya.”

Presiden Jokowi juga mengungkapkan hal tak jauh beda. Saat ditemui wartawan di Pasar Pagi Rawamangun, Jakarta Timur, ia mengatakan, “Feeling saya mengatakan, ini ada juga yang mau bermain. Ada yang mau bermain dengan tujuan agar kita impor.”

Well, kasus ini mengingatkan kita pada skandal daging sapi yang dulu pernah mengalami hal sama. Suatu waktu, harga daging sapi melonjak tak terkendali. Usut punya usut, ternyata memang ada yang bermain—mereka meminta suap dalam jumlah besar untuk kuota daging impor, sehingga efeknya menjadikan harga daging sapi di pasaran menjadi mahal—rakyat yang menjadi korban. Belakangan kasus itu terungkap, dan kalian telah tahu siapa-siapa yang bermain.

Sekarang hal sama terjadi pada beras. Muncul wacana bahwa beras domestik lebih mahal daripada beras impor. Infrastruktur pertanian kita katanya mengalami masalah, sehingga proses produksi beras menjadi mahal, dan harga yang jatuh ke pasar pun jadi tinggi. Karena kenyataan itu, beras impor dinilai lebih murah. Dengan kata lain, daripada bikin beras sendiri, lebih baik kita impor beras dari negara lain. Kalian paham ke mana arah wacana ini?

Di era Soeharto, Indonesia pernah mengalami swasembada pangan, bahkan pernah menjadi negara pengekspor beras. Karena prestasi itu, Soeharto bahkan sampai dijuluki Bapak Pembangunan. Padahal, di masa lalu, Indonesia boleh dibilang belum semaju sekarang. Kini, ketika semakin maju dan modern, negara kita justru mengimpor beras, karena—katanya—infrastruktur pertanian kita tidak memadai. Lalu infrastruktur yang dulu digunakan pada era Soeharto itu ke mana?

Tentu saja naif kalau saya bertanya seperti itu, karena kenyataannya yang disebut “infrastruktur” tidak sesederhana yang kita bayangkan. Dulu, keberhasilan Indonesia dalam swasembada pangan beriringan dengan kesuksesan pemerintah menggalakkan program KB (Keluarga Berencana). Program KB relatif sukses, dan program pertanian juga meningkat hingga bisa swasembada pangan. Sekilas, hal itu mungkin tampak tidak berkaitan. Tapi bisa jadi sangat berhubungan!

Karena program KB berjalan baik, populasi atau jumlah penduduk pun relatif terkendali. Tanah-tanah kosong, kebun, lahan dan pertanian masih luas, sehingga bisa digunakan untuk menggali kekayaan alam, yang salah satunya pertanian. Karena waktu itu pertanian masih menjanjikan, banyak orang memilih menjadi petani. Hasilnya, sawah ijo royo-royo, para petani hidup makmur, dan produksi beras meningkat naik hingga bisa ekspor. Indonesia lumayan makmur, dan Soeharto dipuji sebagai Bapak Pembangunan.

Lepas dari era Soeharto, pemerintah tidak pernah lagi mengurusi KB. Akibatnya, masyarakat kurang menyadari pentingnya pengendalian populasi. Yang sudah menikah kepengin poligami, yang masih lajang buru-buru menikah, sementara orang-orang Indonesia sekarang hobi mem-bully jomblo di mana-mana, seolah jomblo adalah kaum hina yang tidak hafal Pancasila.

Oh, well, kalian pikir semua itu tidak memiliki dampak pada mahalnya harga beras? Jangan salah! Gara-gara kalian suka sok-sokan mem-bully jomblo, Indonesia sekarang menghadapi masalah mahalnya harga beras!

Karena remaja-remaja terus di-bully hanya karena tidak atau belum punya pacar, mereka pun kemudian buru-buru mencari pacar, demi tidak lagi disebut jomblo. Setelah mereka punya pacar, banyak cocot nganggur yang bertanya usil, “Kapan kawin?” Dan orang-orang itu pun kemudian montang-manting demi bisa kawin. Setelah kawin, cocot-cocot nganggur lain berkoar, “Kapan punya anak?” Lalu mereka pun beranak pinak. Dalam waktu singkat, populasi meledak!

Itulah yang terjadi di Indonesia. Sudah melihat implikasinya yang mengerikan?

Karena populasi meledak, jumlah kebutuhan rumah terus meningkat. Akibatnya, tanah-tanah kosong diubah menjadi perumahan, kebun-kebun subur diubah menjadi apartemen, sementara sawah yang semula ijo royo-royo diubah menjadi swalayan. Semakin bertambah tahun, jumlah tanah kosong atau sawah makin menyempit. Karena sawah menyempit, hasil produksi beras makin sedikit. Karena hasil produksi beras makin sedikit, konsekuensinya tentu harganya makin mahal. Dan, persetan, itulah yang sekarang terjadi!

Tentu saja yang terjadi mungkin tidak persis seperti itu. Tapi setidaknya, melalui ilustrasi di atas, kita mulai melihat dan memahami dampak mengerikan akibat banyaknya cocot nganggur yang suka mem-bully kaum jomblo. Padahal, jika dipikir dengan akal sehat dan hati yang waras, apa salahnya sih menjadi jomblo? Memangnya sehebat apa sih orang yang punya pacar? Dan, persetan, kenapa orang-orang kurang kerjaan itu tidak menutup cocotnya saja?

Di sekeliling kita, banyak remaja dan anak muda yang ingin menggunakan waktunya untuk belajar. Mereka ingin khusyuk belajar, sehingga tidak punya waktu untuk pacaran. Bisa jadi mereka calon-calon orang hebat yang mungkin akan menjadi orang-orang besar, dengan pikiran besar, dengan cita-cita besar. Di masa depan, bisa jadi mereka akan membawa negeri ini menjadi bangsa yang lebih baik, lebih maju, dan lebih beradab. Tapi apa yang kita lakukan pada mereka...???

Bukannya mendukung dan memotivasi remaja-remaja itu agar terus khusyuk belajar dan menggunakan waktunya untuk hal-hal bermanfaat, kita justru mem-bully mereka dengan ucapan dan hinaan merendahkan, dan mengiming-imingi mereka untuk pacaran! Akibatnya, remaja-remaja yang seharusnya khusyuk belajar jadi khusyuk mencari pacar. Demi Tuhan, kebejatan macam apa yang sedang kita lakukan? Oh, well, itu bahkan bejat di atas bejat di atas bejat!

Saya tidak menentang siapa pun yang mau pacaran—itu hak setiap orang. Tetapi, setelah pacaran, tolong tutup cocot kalian! Biarkan mereka yang jomblo menikmati kesendiriannya. Toh masih banyak aktivitas lain yang lebih baik dan lebih bermanfaat daripada pacaran. Biarkan mereka yang memilih tidak punya pacar menikmati kehidupannya. Mungkin mereka ingin belajar, mungkin mereka ingin bekerja, mungkin mereka ingin membangun hidupnya, mungkin mereka ingin membantu orangtua, atau mungkin mereka ingin berguna bagi nusa dan bangsa.

Hanya gara-gara banyak orang kurang kerjaan suka mem-bully kaum jomblo, sekarang beras jadi mahal. Dan gara-gara beras jadi mahal, warung-warung makan membuat nasi yang tidak enak. Dan gara-gara sulit mencari nasi yang enak, saya jadi frustrasi. Dan karena menulis sambil frustrasi, catatan ini pun kacau-balau seperti ini.

Damn, saya ingin makan!

 
;