Teduhkan aku dengan mendung yang nyaman,
bukan dengan langit yang menghitam.
—
@noffret
Saya seorang introver. Introver adalah bahasa Indonesia, yang merupakan serapan dari istilah bahasa Inggris—introvert. (Perhatikan huruf “t” di akhir kata). Introver berbeda dengan inferior. Untuk penjelasan lebih lengkap, dan lebih ilmiah, silakan buka kamus psikologi.
Introver sebenarnya bukan “kelainan” yang bersifat eksklusif. Diperkirakan, lebih dari sepertiga penduduk Bumi adalah orang introver. Artinya, hampir separuh dari kita adalah introver, meski kita mungkin tidak mengenalinya, atau bahkan tidak menyadari bahwa sebenarnya kita juga tergolong introver. Hal ini disebabkan karena kekurangtahuan banyak orang terhadap sifat introver, atau karena mitos-mitos keliru yang banyak beredar mengenai orang introver.
Sebenarnya, introver ataupun ekstrover hanyalah sifat biasa—sama biasanya dengan pemalu atau periang. Ini bukan kelebihan atau kekurangan, karena sifat itu dibentuk dari gen, keluarga, lingkungan, dan latar belakang masing-masing orang.
Ekstrover maupun introver memiliki keunggulan dan kelemahannya sendiri. Jika orang ekstrover punya potensi untuk sukses, orang introver juga punya potensi yang sama. Jika orang ekstrover berbakat menonjol dalam bidang-bidang tertentu, orang introver juga tak jauh beda.
Berikut ini beberapa contoh orang introver, dan coba lihat apa yang mereka lakukan, serta apa yang telah mereka capai.
Bill Gates seorang introver, tapi dia berhasil mengubah dunia melalui Windows dan personal komputer. J.K. Rowling seorang introver, tapi dia memukau dunia melalui sentuhan imajinasinya.
Mahatma Gandhi seorang introver, tapi dia menjadi salah satu orang yang sangat dihormati sepanjang masa.
Isaac Newton seorang introver, tapi dia menempati peringkat atas sebagai ilmuwan yang sangat hebat. Begitu pula Albert Einstein dan Stephen Hawking.
Abraham Lincoln seorang introver, tapi dia berhasil menjadi pemimpin negara terbesar di dunia, bahkan mengubah sejarah Amerika untuk selamanya. Warren Buffet seorang introver, tapi dia menjadi investor nomor satu di dunia. Emma Watson seorang introver, tapi dia berhasil menjadi artis terkenal. Begitu pula Courtney Cox dan Christina Aguilera.
Banyak orang yang keliru mempersepsikan introver dengan sifat-sifat tertentu yang sebenarnya tidak berhubungan. Misalnya, banyak orang mengira seorang introver tidak mau atau tidak bisa tampil di depan umum. Belum tentu!
J.K. Rowling, Warren Buffet, atau Bill Gates, seorang introver. Tapi mereka enjoy muncul di televisi, diwawancarai koran dan majalah. Iwan Fals juga seorang introver, tapi kita tentu tidak bisa menuduhnya “tidak bisa tampil di depan umum”. Dia bahkan sangat memukau saat menyanyi di atas panggung. Ketika masih kuliah, saya juga sering menjadi pembicara di forum yang dihadiri banyak orang, padahal saya seorang introver.
Sebagai introver, kesulitan yang sering saya alami bukan tampil di depan forum untuk berbicara—itu bahkan terasa mudah, selama saya menguasai topik yang akan dibicarakan. Yang terasa sulit bagi saya adalah berhubungan atau berkomunikasi dengan orang lain di acara atau pertemuan yang membutuhkan banyak basa-basi. Misalnya, di acara resepsi perkawinan, pesta, acara kumpul-kumpul informal, atau semacamnya.
Ketika harus berada di tengah-tengah orang banyak, dan di dalamnya dibutuhkan banyak basa-basi, saya sering mengalami kesulitan. Saya telah menyadari hal itu sejak kecil, dan saya telah berusaha belajar untuk bisa berbasa-basi dengan lebih baik. Sekarang, saya cukup mampu melakukan basa-basi dengan orang lain, meski mungkin belum bisa dibilang ahli, karena masih kaku.
Nah, sifat introver pula yang kadang membuat saya agak kesulitan menjalin hubungan dengan orang lain. Sebelum saling kenal, orang biasanya akan mengira saya angkuh—karena mungkin sikap saya tampak begitu. Tapi setelah kenal, apalagi saya merasa nyaman bersamanya, saya pun bisa asyik ngobrol dengannya semalam suntuk, bercerita apa saja, membahas apa saja, sambil bercanda dan tertawa-tawa.
Rasa nyaman—itulah yang paling saya butuhkan ketika berhubungan dengan orang lain. Baik untuk pertemanan, apalagi untuk hubungan yang lebih serius semacam pacaran.
Bertahun-tahun lalu, saya berkawan dengan seorang bocah bernama Agus Bagong—itu nama populernya di kalangan pergaulan kami. Sekarang dia menjadi wartawan di harian Suara Merdeka. Nah, awal pertemanan saya dengan dia bisa dibilang sangat unik, dan menjadi salah satu contoh bagaimana kenyamanan menjadi hal paling penting—bahkan mutlak—bagi saya untuk melangsungkan suatu hubungan.
Saya dan Agus mulanya kadang bertemu di suatu tempat forum diskusi. Tapi waktu itu kami hanya sebatas saling kenal. Sampai kemudian, suatu malam, dia datang ke rumah saya sendirian. Saya terkejut ketika membuka pintu, dan mendapatinya berdiri dengan muka bingung. Saya mempersilakannya masuk, dan kami bercakap-cakap dengan kaku. Meski telah saling kenal, tapi waktu itu kami belum menjadi teman. Jadi, percakapan kami belum nyambung, bahkan terasa kurang nyaman.
Sekitar satu jam kemudian, dia pamit.
Beberapa hari kemudian, dia datang lagi, dan kami kembali bercakap-cakap dengan kaku seperti sebelumnya. Sebenarnya, percakapan itu bahkan tidak bisa disebut percakapan, karena kadang dia ngomong A dan saya menjawab B. Intinya tidak nyambung. Dan kami (khususnya saya) tetap merasa belum nyaman.
Seiring bergantinya hari, percakapan yang semula kaku mulai terasa cair, obrolan yang semula kurang nyambung mulai nyambung, dan perasaan yang semula tidak nyaman berangsur-angsur menjadi nyaman. Akhirnya, seiring dengan itu, kami pun semakin akrab dan benar-benar menjadi teman. Ketika saya mulai nyaman bersamanya, saya pun merasa bebas mengobrolkan apa saja, dan waktu-waktu itu kami sering ngobrol sampai subuh, dengan canda dan tawa membahana.
Kisah itu menjadi cermin bagi saya bahwa kenyamanan adalah hal paling penting ketika saya ingin melangsungkan suatu hubungan. Dengan sesama lelaki, apalagi dengan perempuan. Tak peduli dengan siapa pun, yang paling saya butuhkan adalah rasa nyaman. Jika seseorang mampu memberikan itu, saya akan menjadi temannya. Jika tidak, kemungkinan besar kami juga akan sulit berteman.
Kadang-kadang, rasa nyaman dengan seseorang muncul karena pertemuan yang intens, seperti kisah dengan Agus yang saya ceritakan di atas. Tapi kadang-kadang pula, rasa nyaman juga bisa muncul karena hal-hal lain—misalnya karena memiliki filosofi hidup yang sama. Meski mungkin belum pernah bertemu, bisa jadi saya akan merasa nyaman dengan seseorang, jika kami memiliki suatu kesamaan yang bersifat esensial.
Lebih dari satu tahun yang lalu, saya kenal dengan seorang perempuan di internet. Dan dalam waktu singkat saya bisa merasa nyaman dengannya, meski waktu itu kami belum pernah bertemu. Saya hanya membaca sebaris kalimat filosofi hidupnya di Google+, yang memiliki kesamaan dengan saya. Cuma itu, dan saya langsung merasa nyaman dengannya.
Setelah saling kenal, kami pun berkomunikasi intens lewat e-mail, dilanjutkan lewat ponsel, dan—karena merasa nyaman—kami bisa ngobrol apa saja, lengkap dengan canda dan tawa. Waktu itu, meski kami belum pernah bertemu, saya nyaman mengobrolkan apa saja dengannya—sesuatu yang tidak akan saya obrolkan dengan orang lain. Dia orang yang terbuka, ramah, tidak sok jaim apalagi sok alim, dan kejujurannya membuat saya nyaman bersamanya.
Setelah berbulan-bulan berkomunikasi secara intens, kami memutuskan untuk bertemu, dan saya tidak punya alasan untuk menolak. Dia telah memberi satu hal penting bagi saya—kenyamanan. Setelah saya merasa nyaman dengan seseorang, saya bisa menjadi temannya. Dan ketika menemuinya,
saya merasa sedang menemui seorang teman, bukan menemui orang yang sekadar saya kenal. Kenyamanan, sekali lagi, adalah hal paling mendasar yang saya butuhkan sebelum melangsungkan hubungan dengan seseorang. Ini bukan berarti saya pilah-pilih dalam berteman—tolong ingat sifat saya yang introver. Sebagai introver, saya sering kesulitan menjalin hubungan dengan orang lain, meski sebenarnya saya ingin berteman dengan siapa pun.
Sejujurnya, saya sering iri melihat orang yang bisa enjoy bercakap-cakap dengan orang asing, lalu mereka bisa berteman dalam waktu singkat. Saya juga sering iri melihat cowok-cowok yang bisa
pedekate pada seorang cewek, kemudian dalam waktu singkat bisa menjalin hubungan pacaran.
Saya ingin sekali bisa seperti itu, tapi saya benar-benar tak mampu, atau setidaknya sangat kesulitan. Karena itu, jika seseorang bisa memberi rasa nyaman kepada saya, maka saya akan sangat berterima kasih kepadanya, dan dia akan menjadi teman saya.
Itu untuk hubungan pertemanan. Bagaimana dengan hubungan yang lebih serius, semisal pacaran? Sama saja—kenyamanan tetap menjadi syarat mutlak! Jika untuk berteman saja saya membutuhkan proses tertentu agar benar-benar nyaman, apalagi untuk hubungan pacaran yang bisa dibilang lebih serius dibanding sekadar berteman?
Kalau saya naksir seseorang, tapi kami belum lama kenal—atau intensitas komunikasi kami belum bagus—saya tidak akan memberanikan diri melangkah lebih jauh, semisal mengajak kencan, bahkan umpama dia menunjukkan sikap positif. Mungkin standar moral saya terlalu tinggi, atau mungkin pula itu dilatari sifat saya yang introver. Yang jelas, saya membutuhkan kedekatan yang memberi rasa nyaman terlebih dulu sebelum melangkah lebih jauh.
Lebih dari itu, saya tipe orang yang menganut “cinta hadir karena kebersamaan”.
Cinta hadir karena kebersamaan, dan kebersamaan hadir karena rasa nyaman. Mungkin saya bisa jatuh cinta pada seseorang, padahal kami belum saling kenal. Tapi saya tidak akan berusaha menjadikannya pacar, sebelum kami bisa berteman. Pertemanan—dan kebersamaan yang penuh kenyamanan—adalah syarat mutlak bagi saya untuk menjadikan seseorang sebagai pacar.
Sebagai lelaki, kadang saya naksir perempuan, kemudian melakukan pendekatan. Lelaki lain mungkin menjadikan pendekatan sebagai langkah awal untuk menjadikan pacar. Tetapi saya menjadikan pendekatan sebagai pintu masuk ke pertemanan. Pertemanan, bagi saya, adalah ujian sebelum masuk ke hubungan pacaran.
Rumusnya sederhana: Jika seseorang gagal menjadi teman, kemungkinan besar ia akan gagal menjadi pacar. Kalau ngobrol saja masih belum nyambung, bagaimana kita berharap bisa bergandeng tangan?
Bagi saya, tidak ada pacaran tanpa pertemanan, dan tidak ada pertemanan tanpa rasa nyaman. Kenyamanan dengan seseorang adalah syarat mutlak bagi seorang introver seperti saya—tidak hanya untuk hubungan pacaran, tetapi juga untuk pertemanan.
....
....
Yang ingin saya sampaikan melalui catatan ini adalah agar kita bisa lebih berempati terhadap orang lain, khususnya kepada orang-orang yang (mungkin) introver, atau tampak “tidak seperti kita”. Orang yang tampaknya antisosial, tidak mau bergaul dengan orang lain, hingga kemudian kita menyimpulkannya
sombong, sebenarnya belum tentu memang seperti itu.
Sejauh yang saya tahu, setiap orang sebenarnya suka berteman dengan orang lain, hanya kadang mereka merasa tidak mampu, atau tidak nyaman. Karenanya, sikap terbaik yang bisa kita lakukan bukan memvonis mereka dengan praduga yang bisa jadi negatif, melainkan berempati dan memahami mengapa mereka seperti itu.
Jika kita bisa menempatkan diri dengan baik, dan memperlakukan orang-orang itu dengan tepat hingga mereka bisa merasa nyaman, mereka pun akan menunjukkan dirinya yang asli—seseorang yang sebenarnya menyenangkan dijadikan teman, namun mungkin tertutup cangkang bernama ketidaknyamanan.
Dan, bagi cewek-cewek. Kalau cowok gebetanmu tampak pedekate tapi sikapnya tidak jelas, jangan buru-buru memvonisnya PHP. Bisa jadi dia seorang introver yang pedekate dengan tujuan menjadikanmu teman, tapi kau buru-buru menganggapnya pedekate untuk pacaran. Ketika itu terjadi, dia justru akan mundur—atau setidaknya menahan diri—karena merasa tidak nyaman. (Sekarang kita mulai melihat mengapa ada banyak cewek yang “merasa” di-PHP, padahal yang mereka “rasa” belum tentu benar).
Solusinya? Sangat mudah. Perlakukan dia sebagaimana kau memperlakukan temanmu yang lain—dengan keramahan, tanpa sok jaim-jaiman—hingga dia merasa nyaman. Setelah dia benar-benar nyaman, tunjukkan respon positif agar dia tidak ragu. Setelah itu... dia milikmu.