Dikandani bocah ora percoyo.
Saat ini, jumlah orang yang terkonfirmasi positif mengidap virus corona (Covid-19) di dunia mencapai 1,8 juta. Sementara yang dinyatakan sembuh cuma sekitar setengah juta (tepatnya 422.572 orang, per Senin 13/4/2020). Bisa melihat sesuatu yang sangat penting di sini?
Jumlah 1,8 juta yang terkonfirmasi positif corona itu benar-benar telah terkonfirmasi—mereka telah melalui tes lengkap yang hasilnya membuktikan bahwa mereka positif corona. Padahal selalu ada kemungkinan orang-orang yang sama positif, tapi tidak/belum terdeteksi.
Artinya, jumlah orang di dunia yang saat ini mengidap virus corona bisa jadi lebih dari 2 juta orang—atau bahkan bisa dua hingga tiga kali lipat dari jumlah yang terkonfirmasi. Dan mereka ada di luar sana, tampak sehat, tidak menunjukkan gejala, juga tanpa pengawasan.
WHO dan para ilmuwan sudah mengonfirmasi bahwa orang bisa mengidap virus corona—dalam arti ada virus corona di tubuhnya—tapi tidak menunjukkan gejala apa pun, dan tetap seperti orang sehat pada umumnya. Bisa jadi karena masih muda, atau imun tubuhnya memang bagus.
Ini benar-benar kondisi yang sangat riskan. Selalu ada kemungkinan kita bertemu, berpapasan, atau bahkan bercakap-cakap dengan orang semacam itu—yang mengidap virus corona tapi tidak menyadari bahwa dia membawa virus itu—lalu kita tertular, dan begitu seterusnya.
Tentu saja ini terdengar menakutkan, tapi kita perlu menyadari, agar lebih berhati-hati. Itulah kenapa kita diminta memakai masker, melakukan social distancing—atau apa pun sebutannya—hingga diimbau agar tidak keluar rumah jika tidak penting-penting amat. Agar aman.
Sekarang, agar ocehan ini lebih ilmiah, mari gunakan data pasti yang telah terkonfirmasi. Ada 1,8 juta orang di dunia yang telah terkonfirmasi mengidap virus corona, dan hanya 400.000-an yang telah sembuh. Artinya, kurang dari separo, bahkan kurang dari sepertiga yang sembuh!
Itu berarti, secara kasar, kalau kau tertular virus corona, kemungkinanmu sembuh kurang dari sepertiga! Dan masih ada orang-orang yang mencoba ngibul mengatakan bahwa virus corona bukan penyakit berbahaya!
Kalau kau terkena, lebih besar kemungkinanmu mati! Tidak berbahaya apaan?
Bahkan itu belum seluruhnya. Karena bahkan kau telah dinyatakan sembuh, selalu ada kemungkinan “bekas” (kerusakan) tertinggal di tubuhmu, meski tak terlihat. Perlahan namun pasti, para peneliti di berbagai negara terus mendapati temuan-temuan baru yang membuktikan hal ini.
Jadi, kita mendapati sesuatu yang sangat serius, sekaligus berbahaya, saat ini. Dari virusnya, cara penularannya yang masif, kemungkinan carrier (pengidap tanpa gejala hingga menularkan ke orang lain) yang tak terdeteksi, sampai dampak yang terjadi pada pasien sembuh.
Di atas semua itu, kita menghadapi masalah lain; belum ada vaksin atau obat yang bisa digunakan untuk menyembuhkan!
(Itulah kenapa, para pasien corona yang sembuh dimungkinkan terkena dampak lain di tubuhnya, karena penyembuhannya memang tanpa obat atau vaksin).
Sudah melihat jalinan masalah yang rumit di sini? Tapi itu saja belum cukup. Ada banyak kartu yang harus diletakkan di meja, agar kita benar-benar bisa melihat keseluruhan masalahnya. Karena dunia tidak seindah yang mungkin kita bayangkan, dan ada terlalu banyak kepentingan.
Selain mengancam kesehatan umat manusia, wabah virus corona juga mengancam perekonomian. Kita sedang memasuki resesi global, karena hampir semua bisnis terhenti, sebagian usaha gulung tikar, PHK terjadi di mana-mana, dan orang-orang (makin) sulit mendapat uang untuk makan.
Menghadapi wabah saja, dunia sudah berdarah-darah, dan wabah itu masih ditambah dengan resesi. Ini dua hal yang jelas tidak akan bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Resesi baru bisa diatasi, setelah wabah selesai. Dan wabah baru bisa diatasi, setelah ada vaksin!
Pertanyaannya, kapan vaksin akan ditemukan? Tidak ada yang tahu! Hanya ada prediksi-prediksi, ramalan-ramalan, bahkan isu-isu—"konon katanya perusahaan anu telah berhasil memproduksi vaksin". Tapi tidak ada kejelasan nyata bahwa vaksin atau obat telah ditemukan.
Jadi, saat ini, dunia sedang dalam kondisi koma—hidup tidak, mati pun tidak—dan tidak ada yang bisa mengatakan kapan kondisi koma ini akan berakhir. Yang mengerikan, kondisi koma ini tidak sekadar koma, tapi diam-diam menggerogoti kesehatan, ekonomi, hingga kehidupan luas.
Kita telah melihat statistik nyata yang membuktikan hanya ada (kurang dari) sepertiga pasien corona yang sembuh. Sementara korban-korban di seluruh dunia terus berjatuhan. AS sudah menjadi ladang kematian. Ekuador terpaksa menumpuk mayat di jalanan. Begitu pun Italia, Iran....
Tapi masalah kita saat ini tidak sebatas itu. Kristalina Georgieva, Direktur Pelaksana IMF, tempo hari ngemeng bahwa dampak kejatuhan ekonomi akibat wabah corona saat ini akan menyebabkan setengah dari populasi dunia jatuh ke dalam kemiskinan. Setengah dari populasi dunia!
Entah dia ngibul atau benar adanya—namanya juga IMF, dan kita tahu mereka selalu punya kepentingan—yang dikatakan Kristalina Georgieva itu bisa menjadi warning, bahwa kondisi wabah saat ini bukan sesuatu yang bisa disepelekan seperti yang diocehkan Denny Siregar.
Sekarang, mengacu pada omongan IMF—bahwa setengah populasi dunia akan jatuh miskin begitu wabah ini selesai—kita seperti melihat bayang-bayang gelap di depan. Karena bahkan jika wabah corona saat ini teratasi dan selesai, kita masih akan menghadapi masalah besar; resesi global.
Dalam hal ini, selalu ada kemungkinan IMF akan mengail di air keruh—memaksakan utang baru pada negara-negara yang jatuh akibat wabah corona, dan saat ini pun telah (mulai) terjadi. Itu artinya... apakah kau bisa melanjutkannya sendiri? Ini benar-benar jelas dan gamblang!
Sekarang kita sampai pada sesuatu yang sangat krusial dari ocehan mbuh ini; apa kira-kira yang ada dalam pikiran para penentu kebijakan saat ini, terkait wabah corona yang sedang terjadi?
Jika berkaca pada negara kita sendiri, kemungkinannya agak suram, seperti yang kita tahu.
Ketika Wuhan menjadi episentrum wabah corona, apa yang dilakukan pemerintah China? Mereka langsung melakukan lockdown, mengatasi seefektif mungkin, dan Wuhan kini sembuh.
Pemerintah China berhasil melakukan “keajaiban” itu, karena mereka memang memiliki kemampuan memadai.
Pemerintah kita mungkin menyadari tidak memiliki kemampuan seperti pemerintah China. Karenanya, alih-alih mencontoh China yang sukses, pemerintah kita lebih cenderung berkaca pada India, yang program lokcdown-nya bisa dibilang gagal total. Atau Filipina, yang agak-agak anu.
Jika kita flashback ke belakang, kita melihat bahwa sejak awal pemerintah kita terlihat sangat ragu-ragu, sekaligus berusaha "ngadem-ngademi" seolah wabah corona adalah hal sepele. Sikap pemerintah sangat bimbang; antara mengurusi kesehatan, atau menyelamatkan ekonomi.
Dan sikap bimbang itu sampai sekarang jelas terlihat. Dari ribetnya birokrasi PSBB sampai keraguan antara melarang dan membolehkan mudik. Padahal, kalau pemerintah tegas MELARANG mudik, orang-orang juga tidak akan mudik. Bagaimana pun, sebagian besar mereka sadar bahayanya.
Tapi pemerintah hanya mengimbau, mengimbau, dan mengimbau. Baru kemarin, Menhub bahkan berencana menaikkan tarif tol dan tiket pesawat, dengan alasan “agar orang malas mudik”. Kok tanggung amat? Kenapa tidak dilarang sekalian? Bukankah pemerintah bisa melarang?
Dan nyatanya pemerintah kita memang bimbang, antara menyelamatkan kesehatan dan menyelamatkan ekonomi.
Bagaimana pun, pemerintah juga punya kepentingan; ingin ekonomi tetap berjalan, hingga membiarkan mudik, meski sebenarnya sangat riskan bagi kesehatan/keselamatan semua orang.
Bisa jadi, yang bimbang seperti itu bukan hanya pemerintah kita, tapi juga pemerintah di negara-negara lain, khususnya yang sadar tidak memiliki kemampuan melakukan lockdown (atau tindakan tegas lain), dan khawatir kalau-kalau malah semakin memperbesar masalah.
Jadi, inilah yang kita hadapi sekarang. Hidup di dunia yang sedang koma, dengan pemerintah yang bimbang, sementara ekonomi makin tidak jelas, bisnis gulung tikar, ribuan orang kena PHK, makin sulit dapat uang, sementara kita tidak tahu kapan semua ini akan berakhir.
Dan ketika wabah ini berakhir... kita masih akan dihadapkan kenyataan suram, seperti yang dikatakan Direktur IMF, bahwa “setengah populasi dunia akan jatuh miskin”.
Apakah masalah kita cukup sampai di situ? Oh, tidak! Kita masih punya masalah lain, yang sama mengkhawatirkan.
Sementara korban-korban wabah corona terus berjatuhan, rumah sakit kian penuh, dan dokter serta perawat ikut jadi korban hingga jumlah mereka terus berkurang... di sisi lain vaksin belum juga ditemukan... apa yang sekiranya dipikirkan oleh para pemegang dan penentu kebijakan?
Sebagian orang curiga, bahwa pemerintah-pemerintah di dunia saat ini diam-diam menjalankan sesuatu yang berbahaya; herd immunity. Di hadapan kenyataan bahwa tidak ada vaksin untuk mengatasi wabah, kita semua akan dibiarkan untuk “bertarung dan menang... atau kalah”.
Kecurigaan terhadap kemungkinan herd immunity itu juga masuk akal. Pertama, karena ketiadaan vaksin; kedua, karena korban terbesar wabah corona adalah para lansia atau orang-orang yang kondisi fisiknya lemah—dengan kata lain “tidak produktif”. Did you see that?
Jika ini benar, maka kita sedang kembali ke era kegelapan, di mana yang kuat akan menang dan yang lemah akan punah. Bedanya, kali ini, kita tidak bertarung dengan sesama manusia, tapi dengan sesuatu yang jauh lebih berbahaya, karena tak terlihat; virus.
Bagi yang mungkin belum tahu apa itu herd immunity, catatan ini bisa dibaca. Isinya menguraikan herd immunity dengan bahasa sederhana, hingga mudah dipahami siapa pun.
Apa yang Disebut Herd Immunity? » https://bit.ly/2Du7R6u
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 April 2020.