Senin, 20 Juli 2020

Selera, dari Musik Sampai Humor

Perbedaan yang sulit dijembatani mungkin perbedaan selera humor, 
karena itu jenis perbedaan yang (sering kali) sulit dijelaskan.


Di antara banyak perbedaan yang bisa terjadi pada orang per orang adalah selera. Dari selera musik, film, sampai selera humor. Dan selera, sebagaimana kita tahu, sangat subjektif. Sesuatu yang bagi kita “hebat”, bisa jadi “buruk” bagi orang lain. Atau sebaliknya. Meski, pada hal-hal tertentu, selera banyak orang bisa sama dan selaras.

Banyak orang, misalnya, menyukai musik Linkin Park. Saya juga termasuk penyuka Linkin Park, karena memang musiknya asyik dinikmati. Sejauh ini, sepertinya saya belum pernah menemukan orang yang tidak suka Linkin Park. Kapan pun orang mendengar musik Linkin Park, biasanya dia akan ikut menikmati, karena beat-nya enak di telinga. Artinya, bisa jadi, rata-rata orang punya selera serupa pada musik Linkin Park—meski bukan berarti semua orang pasti suka.

Beda soal dengan musik-musik yang lebih “spesifik”, misalnya musik klasik. Ada sebagian orang menyukai musik klasik, tapi sebagian lain tidak suka. Biasanya, mereka yang tidak suka bukan karena menilai musik itu jelek atau buruk, tapi semata-mata tidak paham di mana keindahannya, sehingga tidak bisa menikmati. Dengan kata lain, bukan seleranya.

Karena kenyataan itu, biasanya penikmat musik klasik sengaja menikmati musik-musik sejenis itu saat sendirian. Karena mereka sadar bahwa selera mereka terhadap musik klasik belum tentu bisa dinikmati orang lain.

Selain musik, selera film orang per orang juga bisa berbeda. Film Avengers atau seri tokoh-tokoh superhero Marvel, sebagai misal, adalah jenis film yang digemari banyak orang di dunia. Cuma film Avengers yang sampai diputar kala subuh di Indonesia, saking besarnya antusiasme penonton terhadap film tersebut. Artinya, rata-rata orang menyukai film serupa—meski bukan berarti semua orang pasti suka.

Beda soal dengan film-film yang lebih “spesifik”, yang kadang hanya bisa dinikmati sebagian orang. Sebagai contoh, kita bisa melihat film-film yang disutradarai Quentin Tarantino, dan, di lain sisi, film-film yang disutradarai Michael Bay.

Quentin Tarantino adalah sutradara yang mendapat aneka puja-puji seolah dia nabi yang turun dari langit Hollywood. Apa pun jenis pujian yang melekat pada film, juga melekat pada Tarantino. Film-filmnya disebut masterpiece. Ada banyak orang menggilai, bahkan merasa hidupnya sia-sia jika belum mengkhatamkan film-film Tarantino. Kill Bill, Pulp Fiction, Reservoir Dogs, Django Unchained, The Hateful Eight, Inglourious Basterds, Death Proof, sebut lainnya.

Tapi bukan berarti semua orang pasti menyukai film-film Tarantino. Saya termasuk di antaranya. Jujur saja, saya kurang mampu menikmati film-film Tarantino. Kill Bill, sebagai contoh, adalah film yang konon wajib ditonton sebelum mati. Tapi jujur saja, saya tidak paham di mana menariknya film itu. Tentu bukan karena Kill Bill—atau film-film lain Tarantino—yang buruk, tapi semata karena film-film itu bukan selera saya.

Di sisi lain, Michael Bay adalah sutradara Hollywood yang kerap diejek “kacangan”, karena film-filmnya cuma berisi ledakan, ancur-ancuran, ngomong sedikit, ledakan lagi, kejar-kejaran, ledakan lagi, gedebak-gedebuk, ledakan lagi, dan begitu seterusnya. Karena itulah banyak orang mencibir film-film Michael Bay, sebab hanya mengandalkan adegan ledakan dan ancur-ancuran tanpa henti.

Meski begitu, banyak yang sangat menggemari film-film Michael Bay, dan saya termasuk di antaranya. Apa pun film yang dibuat Michael Bay, saya selalu bergairah menontonnya! Itu jenis film yang mampu membuat saya terpesona, tercengang, tertawa, dan sangat terhibur. Menyaksikan adegan laga penuh ledakan, kejar-kejaran, mobil yang saling bertabrakan, hingga gedung-gedung yang hancur berantakan, adalah kenikmatan luar biasa.

The Island dan 6 Underground adalah dua film Michael Bay yang sangat saya suka. Sebegitu suka, sampai saya menonton film itu berulang-ulang tanpa bosan. Karenanya, kalau ada orang yang tidak suka, saya pikir yang bermasalah bukan filmnya, tapi karena seleranya yang berbeda.

Setelah musik dan film, selera lain yang populer dan juga kerap berbeda adalah selera baca. Dulu, waktu saya rutin merilis daftar buku terbaik tiap akhir tahun di blog ini, saya selalu menyatakan bahwa buku-buku itu terbaik menurut saya, namun saya tidak merekomendasikannya. Karena saya sadar, selera baca orang per orang bisa berbeda. Yang “terbaik” bagi saya belum tentu pula bagi orang lain.

Novel Harry Potter, sebagai contoh, adalah jenis bacaan yang disukai jutaan orang di dunia, bahkan dari segala usia, dari anak-anak sampai kakek-nenek. Hanya novel Harry Potter yang mampu membuat banyak orang rela antre sejak tengah malam di depan toko buku, demi menunggu peluncurannya pada pukul 08.00 pagi. Di dunia buku, itu jenis prestasi yang belum tentu akan terjadi lagi dalam satu abad mendatang.

Sebagai penggemar Harry Potter, saya menganggap novel itu sangat hebat. Dan tidak mengejutkan, karena nyatanya ada jutaan orang di luar sana yang sama menggemari Harry Potter. Saya bahkan sempat berpikir seluruh umat manusia menyukai Harry Potter.

Tapi apakah memang begitu kenyataannya? Ternyata tidak. Di Twitter, saya pernah mendapati orang yang menulis di bio-nya, kira-kira seperti ini, “Penyuka semua jenis novel, kecuali novel tentang penyihir cilik berkaca mata yang kisahnya aneh dan tak masuk akal”.

Siapa pun paham bahwa “penyihir cilik berkaca mata” yang tertulis di situ merujuk pada Harry Potter. Dan kenyataan itu menyadarkan saya bahwa sesuatu yang disukai jutaan orang bukan berarti semua orang pasti suka. Karena selalu ada kemungkinan orang yang punya selera berbeda. Dalam hal ini tentu bukan novel Harry Potter yang buruk, tapi kebetulan saja selera orang itu tidak nyambung ke kisahnya.

Terakhir, selera yang juga populer dan kerap berbeda adalah selera humor. Seperti kita tahu, ada jenis humor yang bisa dipahami (dan dinikmati) semua orang, namun ada pula jenis humor yang hanya bisa dipahami (dan dinikmati) sebagian orang.

Humor yang bisa dipahami semua orang bisa ditandai dengan mudah; kapan pun disebut atau diceritakan, orang akan tertawa. Sebaliknya, humor yang hanya dipahami sebagian orang, kadang bermasalah. Ketika disebutkan atau diceritakan, belum tentu semua orang akan paham. Alih-alih tertawa, mereka justru bisa bingung, salah paham, atau—dalam skala ekstrem—sampai marah dan tersinggung. Humor semacam itu biasanya humor internal, yang memang hanya dipahami (dan dinikmati) kalangan terbatas.

Humor ala Raditya Dika, misal, khususnya dalam buku Kambing Jantan, adalah jenis humor yang bisa dipahami semua orang, khususnya lagi orang-orang yang seusia dengannya. Siapa pun akan tertawa saat membaca buku itu, karena humor di dalamnya memang mudah dipahami. Adegan-adegan lucu (atau bodoh) yang ditulis Raditya Dika sangat mudah dibayangkan, dan pembaca langsung paham di mana lucunya.

Tapi ada pula jenis humor yang kadang sulit dipahami, dan hanya orang-orang yang “paham” yang bisa tertawa. Dalam hal ini, saya bisa mencontohkan humor yang kerap terselip dalam novel-novel Sidney Sheldon atau John Grisham. Novel-novel mereka dikenal sebagai novel-novel serius. Tetapi, bagi yang paham, ada banyak humor yang terselip (atau sengaja diselipkan) dalam kisah Sheldon atau Grisham, yang membuat cekikikan pembaca yang paham.

Grisham maupun Sheldon punya celetukan-celetukan yang “konyol atau gila” dalam novel-novel mereka, dan celetukan-celetukan gila itu kerap membuat pembaca cekikikan—sekali lagi, bagi yang paham kalau celetukan itu konyol. [Grisham maupun Sheldon sama-sama mengakui kalau celetukan-celetukan dalam narasi novel mereka memang dimaksudkan sebagai humor gelap].

Hal serupa saya dapatkan dalam tulisan-tulisan AS Laksana di edisi Minggu Jawa Pos. AS Laksana kerap menyelipkan celetukan-celetukan yang, bagi saya, konyol atau lucu, dan saya selalu cekikikan dibuatnya. Meski, dalam hal ini, saya tidak yakin apakah AS Laksana memang memaksudkannya sebagai humor atau tidak. Karena AS Laksana, sejauh yang saya tahu, tidak pernah menyatakan celetukan-celetukannya sebagai humor. Tetapi, sebagai pembaca, saya menangkapnya sebagai humor, dan saya menikmatinya.

Humor-humor yang hanya dipahami sebagian orang ini mungkin serupa dengan humor internal, yang biasanya hanya dipahami di lingkungan pergaulan kita.

Biasanya, kita punya teman-teman sepergaulan yang punya humor tertentu, dan masing-masing orang paham itu humor, serta sama-sama tahu di mana letak lucunya. Tetapi humor internal kadang bisa bermasalah ketika dikeluarkan di luar lingkungan pergaulan kita. Karena belum tentu orang-orang lain akan paham—namanya juga humor internal.

Lingkungan pergaulan saya, misalnya, biasa menggunakan istilah-istilah ilmiah untuk humor, dan kami sama-sama paham di mana lucunya. Seperti istilah “registrasi”, “quo vadis”, “akademis”, “environmental”, “moratorium”, dan seterusnya. Istilah-istilah itu sebenarnya punya arti masing-masing yang dipahami semua orang, dan sama sekali tidak lucu—wong itu istilah-istilah ilmiah. 

Namun, di lingkungan pergaulan saya, istilah-istilah itu kerap digunakan sebagai humor, dan kami sama-sama paham letak lucunya, hingga bisa cekikikan.

Kalau ada teman melakukan sesuatu yang keliru, misalnya, dan kami ingin menegur dengan santai, biasanya kami akan mengatakan, “Benar-benar perbuatan yang tidak mencerminkan registrasi!” Lalu kami cekikikan; pihak yang menegur maupun yang ditegur bisa sama-sama tertawa, karena kami paham di mana letak lucunya.

Kalau ada teman ngajak makan di suatu tempat, karena menurutnya makanannya sangat enak, tapi menurut saya ternyata biasa-biasa saja, saya tidak bilang makanan itu “biasa-biasa saja”, tapi mengatakan, “Ini makanan yang sangat quo vadis.” Lalu kami sama-sama cekikikan. Teman saya paham di mana lucunya, juga paham yang saya maksudkan.

Misal lagi, ketika Marlboro Black baru muncul, seorang teman menawari saya. Ketika pertama kali melihat rokok itu, saya terpesona. Marlboro Black isi 20 batang dikemas dalam bungkus yang elegan—beda dengan bungkus rokok lain—dan masing-masing batang rokoknya juga memiliki lubang di bagian gabus (filter). Ketika melihat rokok itu, spontan saya nyeletuk, “Benar-benar rokok yang akademis!”

Celetukan itu tentu saja bersifat humor, dan kami sama-sama cekikikan, karena paham letak lucunya. Nyatanya Marlboro Black juga tidak dilengkapi footnote atau daftar pustaka!

Sayangnya, humor internal—seperti yang saya contohkan tadi—belum tentu bisa dipahami orang-orang di luar kalangan kami. Di blog, misalnya, saya kadang menyebut-nyebut istilah “environmental”, semata-mata karena menganggap istilah itu unik dan bisa dipakai untuk lucu-lucuan, khususnya terkait konteks yang saya tulis. Tetapi, sejujurnya, saya tidak yakin pembaca tulisan tersebut akan paham bahwa itu sebenarnya humor. (Puji Tuhan kalau ternyata ada yang paham, dan ikut cekikikan).

Begitu pun saat saya membawa “istilah-istilah humor” itu ke Twitter, bisa jadi orang tidak paham bahwa sebenarnya saya memaksudkannya sebagai humor. Apalagi ditambah image saya selama ini yang mungkin serius. Karenanya, ketika saya menyebut istilah “environmental” atau “akademis”, bisa jadi istilah itu akan dipahami sebagaimana arti sebenarnya yang serius—padahal itu cuma cara saya menertawakan sesuatu.

Di Twitter, misalnya, saya pernah menulis tweet, “Berbukalah sesuai prinsip-prinsip environmentalisme.” Lalu saya cekikikan sendiri. Tapi belum tentu orang lain akan paham bahwa itu lucu, dan bisa jadi akan menilai tweet saya secara serius.

Belakangan saya sadar, humor-humor internal semacam itu mestinya tidak saya keluarkan di sembarang tempat yang belum tentu semua orang akan paham, bahkan berpotensi menimbulkan salah paham. Kalau saya menegur teman sepergaulan, “Ngene iki ora ilmiah, juga ora akademis,” kami akan sama-sama cekikikan dan sama-sama paham itu humor. Tapi kalau kalimat yang sama saya katakan pada sembarang orang, bisa jadi timbul salah paham.

Selera, dari musik sampai humor, tampaknya memang bisa sangat subjektif, khas manusia.

 
;