Ada orang-orang yang, entah apa isi otaknya,
suka mempersulit diri, lalu pusing dan stres sendiri,
lalu menyalahkan orang lain karena dianggap mempersulit mereka.
Padahal diri mereka sendiri yang mempersulit diri.
Salah satu pertengkaran saya dengan mantan pacar (yang waktu itu masih jadi pacar saya) berawal dari hal sepele. Hari itu kami meninggalkan kampus sekitar pukul 11.00, dan pulang ke rumah saya. Kami mengobrol seperti layaknya sepasang pacar. Sekitar zuhur, ada telepon yang masuk, dan saya meninggalkannya sejenak untuk menerima panggilan tersebut.
Telepon siang itu terkait pekerjaan, dan saya bercakap-cakap dengan si penelepon cukup lama. Setelah itu, saya kembali ke ruang depan, dan menemui pacar yang masih duduk manis di sofa. Dia berkata, “Perutku sakit.”
Waktu itu pikiran saya masih terpecah, antara urusan pekerjaan yang baru saya percakapkan di telepon, dan pacar saya. Ketika dia mengatakan perutnya sakit, saya menawarkan balsem. Tapi dia malah menunjukkan muka cemberut. Saya menawari apakah dia mau berbaring, dia tetap cemberut.
Dengan segala keluguan, saya hanya berpikir bahwa dia mungkin tidak enak badan, jadi mood-nya rusak, dan mukanya cemberut. Setelah itu dia minta diantar pulang. Sekali lagi, dengan segala keluguan, saya menuruti permintaannya. Namun, saya menawarkan agar kami makan siang dulu. Dia langsung setuju.
Usai makan siang, dia tidak jadi minta diantar pulang, dan kami kembali ke rumah saya, dan kali ini wajahnya terlihat ceria, dan perutnya tak sakit lagi. Bahkan sampai di situ, saya masih belum paham apa yang sebenarnya terjadi.
Belakangan, ketika kami bertengkar karena sesuatu, pacar saya menuduh saya tidak peka, dan dia menggunakan peristiwa tadi sebagai salah satu contoh “betapa tidak pekanya saya”. Jadi, waktu dia mengatakan “perutnya sakit”, sebenarnya bermaksud mengatakan bahwa dia lapar. Tapi saya tidak juga mengajaknya makan, sampai akhirnya dia minta diantar pulang.
Mendengar penjelasan itu, saya tercengang campur jengkel. Jadi, selama kami bersama dari waktu ke waktu, pacar saya sering mengirim kode-kode tertentu—semisal ucapan sakit perut tadi—tapi saya tidak juga paham. Dan karena itu, menurutnya, saya tidak peka.
Saya balik bertanya, kenapa dia tidak mengatakan maksudnya dengan jelas saja? Bukankah itu lebih mudah? Alih-alih mengatakan sakit perut padahal kelaparan, saya pikir jauh lebih baik kalau dia mengatakan, “Aku lapar, ayo kita cari makan” (atau varian kalimat lain yang dia suka).
Dengan perkataan yang jelas dan gamblang semacam itu, saya akan langsung paham, dan langsung memenuhi permintaannya. Sekali lagi, bukankah itu lebih baik dan lebih mudah?
Tapi tampaknya ada banyak orang, khususnya wanita, yang menderita “sindrom” semacam itu. Alih-alih menggunakan bahasa yang lugas, jelas, dan sederhana, mereka justru menggunakan cara yang sulit, rumit, dan punya kemungkinan besar gagal—lalu jengkel sendiri dan menuduh orang lain tidak peka.
Beberapa tahun lalu, saya mengenal seorang wanita di Twitter, yang belakangan bahkan saya jumpai di dunia nyata. Sejak pertama kali saling kenal, kami sama-sama merasa nyaman. Wanita ini begitu apa adanya, tidak sok jaim, dan dalam waktu singkat kami sudah mengobrol panjang lebar lewat e-mail (waktu itu Twitter masih terbatas 140 karakter, dan fasilitas DM juga masih sangat terbatas).
Di Twitter, kami juga sering berkomunikasi dan bercanda. Dia kuliah di Yogya, dan singkat cerita kami janjian untuk ketemu.
Suatu hari, menggunakan travel, saya datang ke Yogya, dan langsung sampai di alamat yang dia berikan. Lalu kami menikmati kebersamaan di Yogya, hingga tiga hari. Sejak hari pertama, dia mengajak saya jalan-jalan, ke Malioboro, ke toko buku, ke mal, ke bioskop, ke Starbucks, nonton kabaret, dan lain-lain. Saya asyik-asyik saja menemaninya.
Tapi ada satu hal yang waktu itu sangat mengganggu saya.
Selama kami jalan-jalan, dia selalu berjalan sangat cepat—sebegitu cepat, hingga saya sering tertinggal di belakangnya. Berkali-kali saya meminta agar kami berjalan lebih perlahan, tapi dia seperti tidak peduli. Dia terus berjalan sangat cepat. Akibatnya, tiap kali kami pulang usai jalan-jalan, saya merasa baru berolah raga, bukan seperti baru jalan-jalan.
Lama-lama, karena dongkol dengan hal itu, saya menunjukkan sikap jengkel. Dia juga menunjukkan hal serupa. Kenyataan itu membuat kami “tegang” atau saling tidak nyaman. Belakangan, ketika saya dalam perjalanan pulang, dia mengirim SMS yang menyatakan perasaan atau kejengkelannya.
Saat itulah saya mulai paham kenapa dia berjalan sangat cepat, hingga kami sama-sama jengkel dan tidak nyaman. Rupanya, jalan cepat yang dia lakukan itu “kode”, agar saya “peka” dan menggandeng tangannya!
Ketika kesadaran itu hinggap di pikiran saya, rasanya ingin membanting ponsel saking jengkelnya. Kenapa dia tidak mengatakan terus terang saja? Kenapa harus pakai jalan cepat yang membuat kami sama-sama kelelahan dan saling jengkel dan tidak nyaman? Kenapa dia tidak memberitahukan saja maksudnya dengan jelas, agar saya bisa langsung paham keinginannya?
Karena sama-sama jengkel, kami tidak pernah lagi berkomunikasi sejak itu. Dia mungkin jengkel karena saya “tidak peka”. Sementara saya jengkel karena dia harus mempersulit sesuatu yang seharusnya sangat sederhana.
Semula, saya pikir hanya kaum wanita yang melakukan hal tolol dengan kode-kode semacam itu. Ternyata, kaum pria juga melakukannya, dan saya benar-benar tidak habis pikir ketika mendapatinya.
Untuk suatu keperluan, saya pernah mengundang beberapa tukang batu ke rumah. Mereka sempat bekerja di rumah saya hingga hampir sebulan. Selama itu, saya biasa menyediakan makanan dan minuman untuk mereka, lengkap dengan teko penuh teh dan gula di sebuah wadah. Mereka bebas bikin teh sendiri, dengan gula sesuai selera mereka sendiri.
Suatu siang, ketika saya sedang membaca buku, para tukang batu itu terdengar saling ribut dengan temannya. Mereka menyebut-nyebut “pabrik gula tutup”, “gudang gula terbakar”, dan semacamnya. Saya sama sekali tidak paham, saat mendengar celoteh-celoteh itu—saya pikir mereka sedang saling bercanda dengan temannya.
Belakangan, ketika saya mendatangi tempat mereka bekerja, saya mengecek teh di teko dan gula di wadahnya. Para tukang batu itu hanya memandangi saya, tapi tidak mengatakan apa-apa.
Saya mendapati wadah gula kosong. Jadi saya pun mengambil gula dari lemari, dan menuangkannya ke wadah gula. Setelah itu, para tukang batu segera bikin teh. Akhirnya saya paham bahwa ribut-ribut soal “pabrik gula tutup” dan “gudang gula terbakar” tadi dimaksudkan sebagai kode untuk memberi tahu saya bahwa gula di wadah sudah habis.
Setelah menyadari hal itu, saya berkata pada mereka, “Lain kali, kalau butuh sesuatu, tolong langsung katakan saja dengan jelas.”
Peristiwa itu sangat membingungkan saya. Apa susahnya ngomong baik-baik, misalnya, “Kami mau bikin teh, tapi gula di wadah pas habis.” Mudah, sederhana, dan saya akan langsung paham, hingga bisa segera memenuhi permintaan atau kebutuhan mereka.
Tapi alih-alih menggunakan cara yang mudah dan sederhana semacam itu, mereka justru menggunakan cara yang rumit, melalui kode dan metafora—sebelas dua belas dengan mantan pacar saya yang mengatakan perutnya sakit padahal lapar, atau wanita di Yogya yang sampai jalan cepat dan membuat kami sama-sama kelelahan padahal cuma ingin ngomong, “Tolong gandeng aku.”
Sejujurnya, saya tidak pernah paham dengan hal-hal semacam itu. Komunikasi adalah upaya menyampaikan maksud kita, agar orang lain bisa memahami. Agar orang lain bisa memahami maksud kita dengan baik, dan tidak salah paham, mestinya kita harus menyampaikan maksud dengan jelas, sederhana, dan mudah dipahami. Jika kita mengatakan sesuatu tapi malah mutar-mutar dan menggunakan aneka metafora, itu berkomunikasi atau baca puisi?
Selain menggunakan kode atau metafora yang sulit dipahami—bahkan rentan menimbulkan salah paham—rupanya ada lagi cara lain melakukan “komunikasi”, yang sama-sama sulit dipahami, bahkan sama-sama rentan menimbulkan salah paham.
Di dunia maya, saya pernah tertarik pada seorang wanita. Kami juga saling follow di Twitter, dan saya pernah beberapa kali membuka percakapan dengannya, khususnya melalui DM Twitter. Responsnya positif. Tetapi, dia selalu menghapus percakapan kami di DM (di masa itu, pesan di DM yang dihapus oleh salah satu pihak akan ikut menghapus pesan di boks DM lawan bicara).
Saya paham tujuan wanita itu menghapus percakapan kami di DM, yaitu agar saya (lebih) agresif mendekatinya, hingga langsung menemuinya. Tetapi menghapus percakapan kami di DM justru menjadi kesalahan terbesarnya!
Saya sering mengalami kesulitan saat ingin membuka komunikasi dengan orang lain, terkhusus dengan wanita yang membuat saya tertarik. Dengan adanya komunikasi di DM, setidaknya saya akan terbantu saat ingin melanjutkan percakapan di lain waktu, karena bisa nyambung dari percakapan sebelumnya. Tapi dia justru menghapusnya, dan saya pun berhenti!
Di catatan tempo hari, saya menyatakan; jika responsmu baik, saya akan melanjutkan; jika responsmu tidak baik, saya akan berhenti. Sejak itu, saya tidak peduli lagi dengan wanita tersebut. Kalau dia berpikir saya akan agresif dan mengejar-ngejarnya, dia jelas salah sangka.
Sejak itu pula, dia sering menulis tweet di Twitter yang nadanya “memancing” saya agar (terus) mendekatinya. Tapi saya tidak peduli!
Mungkin karena menyadari upayanya memancing saya lewat Twitter tidak berhasil, dia mencoba melakukan hal lain, tapi yang dilakukannya lagi-lagi kesalahan. Setelah sangat lama kami tidak berkomunikasi, dia malah mengirim kode—sesuatu yang justru membuat saya makin kehilangan selera.
Kode yang dia lakukan adalah terus menerus mengklik tulisan di blog ini, yang berjudul Houdini dan Pintu Tak Terkunci. Kapan pun saya membuka dasbor blog, artikel itu pasti muncul—sesuatu yang jelas tidak wajar.
Ketika saya menyadari kalau artikel itu ternyata diklik oleh wanita tadi, saya mencoba berpikir apa maksudnya, sesuai isi artikel tersebut. Bisa jadi, dia terus menerus mengklik artikel itu untuk mengatakan, “Kamu sebenarnya tidak punya masalah apa pun. Ayo temui aku. Tidak akan ada masalah apa-apa.”
Apakah artinya memang begitu? Saya tidak tahu, wong dia tidak pernah mengatakannya secara jelas, selain hanya terus menerus mengklik tulisan itu setiap hari. Dan kalau pun artinya memang begitu, lalu apa yang harus saya lakukan?
Saya tidak berkomunikasi dengan kode tolol semacam itu!
Akhirnya, ketika sedang jengkel, saya menulis kalimat ini di Twitter, “Kepada seseorang yang tiap hari ‘mengingatkanku’ pada Houdini, aku ingin mengingatkan, hari ini kau belum melakukan sesuatu yang telah kaulakukan berminggu-minggu kemarin. Dan kalau kau berpikir aku tidak tahu siapa dirimu, kau keliru. Oh, ya, persetan denganmu!”
Saya benar-benar tidak habis pikir dengan wanita ini. Dia sudah dewasa, biasa berinteraksi dengan lawan jenis, tapi yang dia lakukan terkait saya adalah kesalahan, kesalahan, dan kesalahan.
Diajak berkomunikasi baik-baik lewat DM Twtter, dia malah menghapus komunikasi kami. Giliran saya berhenti dan tak peduli, dia terus menerus mengirim kode yang justru menjengkelkan. Padahal, kalau saja dia mengatakan, “Ayo kita ketemu,” saya akan datang menemuinya! Mudah, simpel, sederhana, tanpa banyak kode rumit, dan tanpa banyak drama.
Saya tertarik kepadanya, dan itu sudah cukup menjadi alasan saya mau menemuinya. Tapi dia justru mempersulit hal-hal sederhana—sesuatu yang tidak hanya menyulitkan diri saya, tapi juga menyulitkan dirinya sendiri. Sekarang, terus terang, saya sudah tak tertarik.
Saya orang sederhana, dan terbiasa berpikir sederhana. Saya tidak tertarik pada hal-hal rumit, apalagi hal-hal sederhana yang dibikin rumit.
Oh, ya, saya juga tidak punya kepentingan apa pun dengan orang-orang yang hanya saya tahu di dunia maya, wong saya tidak mengenalmu. Tetapi, kalau kau punya kepentingan dengan saya, kau harus mengatakannya secara langsung, jelas, dan gamblang—sebegitu jelas dan gamblang, hingga saya tidak mungkin salah paham.
Kalau kau masih mengandalkan kode-kode dan berharap saya akan peduli, terus terang saya tidak akan peduli. Jangankan peduli, tertarik pun tidak. Dan kau bisa menunggu sampai kiamat.