Ada pemulung yang bekerja sejak pagi buta, sampai matahari terbenam. Seharian penuh dia berkeliling, mencari benda apa pun yang sekiranya bisa dikilokan—rongsokan besi, ember rusak, anything—yang ia kumpulkan sedikit demi sedikit di karung yang ia siapkan dari rumah.
Keesokan harinya, saat berangkat memulung, dia membawa benda-benda rongsokan itu ke pengepul untuk dijual. Saya mengenal orang yang bekerja sebagai pemulung, dan pernah bertanya berapa pendapatannya dalam sehari. Dia menjawab jujur, “Rata-rata 30 sampai 40 ribu per hari.”
Kadang-kadang, pas ada rezeki nomplok—misal rongsokan yang ia temukan lebih banyak—penghasilannya bisa lebih besar. Tapi rata-rata dia hanya mendapat 30 sampai 40 ribu per hari. Karenanya, ia berkata, “Kalau tidak bekerja, aku tidak bisa makan.”
Orang yang harus bekerja seharian demi mendapat 30-40 ribu per hari—seperti pemulung tadi—pasti tidak akan cocok berteman dengan orang yang punya penghasilan, misalnya, 1 juta per hari. Kenapa? Karena yang punya penghasilan 1 juta per hari cenderung lebih santai dalam hidupnya.
Orang yang punya penghasilan 1 juta per hari mungkin bisa ngoceh, “Kerja tidak usah ngoyo,” atau, “Rezeki sudah ada yang ngatur,” atau, “Hidup harus dinikmati,” bla-bla-bla. Kalimat semacam itu mungkin relevan bagi dia, tapi tidak relevan bagi si pemulung. Mereka tak akan cocok.
Kalau orang punya penghasilan 1 juta per hari, dia bisa libur kerja tiga hari dan bisa tetap hidup. Tapi orang yang punya penghasilan 30 ribu per hari, bekerja sudah bukan lagi kebutuhan atau kewajiban, tapi perjuangan mempertahankan hidup, yang mau tak mau harus dilakukan.
Latar belakang semacam itulah yang menjadikan pemulung lebih suka berteman dengan sesama pemulung, daripada berteman dengan, misalnya, bos rental mobil. Karena pemulung akan merasa lebih cocok dengan sesama pemulung—bukan dengan bos rental mobil.
Kalau pemulung berteman dengan bos rental, dia akan sering tertekan dan tidak nyaman. Ketika sedang sibuk bekerja, misalnya, bos rental ngajak nyangkruk. Bagi si bos rental, nyangkruk bukan masalah. Tapi bagi si pemulung, nyangkruk artinya menyia-nyiakan waktu yang berharga.
Ilustrasi ini adalah gambaran mudah sekaligus “draft kasar” yang membentuk kita, lingkungan sosial dan pergaulan kita, dan yang ikut menentukan orang-orang di sekeliling kita. Tidak semua baut akan cocok dengan mur, dan kalau dipaksakan dapat menimbulkan masalah.