Dulu, di kota saya ada kafe bernama BSP, yang menyatu dengan stasiun radio dengan nama sama. BSP adalah kafe dengan konsep semi-outdoor, jadi tidak ada ruangan tertutup. Kalau kamu masuk ke sana, semua orang bisa melihatmu.
Semua makanan di tempat itu sangat enak!
Kafe itu biasa ramai kalau malam hari, sementara kalau siang relatif sepi. Suasana yang tenang, plus angin semilir, juga makanan yang enak dan Wifi kencang, membuat saya sering ke sana, saat siang hari. Sendirian, dengan bawa laptop, saya bisa di sana sampai berjam-jam.
Suatu siang, saat saya sedang di BSP, seorang teman—bernama Heri—menelepon, dan mengatakan, “Ada temanku, perempuan, yang lagi bikin skripsi, dan ingin minta tolong sesuatu.” Intinya, perempuan itu mau tanya-tanya sesuatu terkait topik skripsinya, yang tidak ia pahami.
Dengan itikad baik, saya merespons, “Kebetulan aku lagi di Kafe BSP. Gimana kalau dia ke sini aja?”
Heri bilang akan memberitahukan ke teman perempuannya, agar menemui saya di BSP. Saya pun menunggu, sampai sore, tapi dia tidak datang. Sampai kemudian saya pulang.
Di rumah, saya menelepon Heri, memberitahu kalau saya sudah menunggu temannya setengah harian di BSP, tapi tidak datang.
Heri menceritakan, dia sudah ngasih tahu temannya agar ke BSP, tapi perempuan itu malah bilang, “Kok ngeri, ya. Belum kenal udah ngajak ketemuan di kafe.”
Saya kaget dengan penjelasan Heri. Konteksnya, saya lagi di BSP, karena hampir saban siang memang di sana. Saya tidak kenal perempuan itu, dan saya bersedia membantunya karena ada perantara Heri, yang merupakan teman saya. Jadi apa salahnya kalau saya meminta dia ke BSP?
Padahal, kalau dia benar-benar datang ke BSP, saya tidak akan minta dia membayari makanan saya! Dan seperti saya bilang tadi, BSP adalah kafe terbuka, tidak ada satu pun ruangan tertutup—kamu ada ke sana, semua orang akan bisa melihatmu.
Heri memberikan nomor ponsel perempuan itu, tapi saya tidak pernah tertarik mengontaknya—ya buat apa? Kenal juga tidak! Anehnya, perempuan itu lalu sering missed-call atau ngirim SMS kosong ke ponsel saya (di zaman itu belum ada WhatsApp atau semacamnya).
Saya tidak pernah mempedulikan sedikit pun, sampai kemudian mungkin dia bosan/capek sendiri. Hingga sekarang, saya tidak pernah ketemu dan tidak pernah kenal perempuan itu. Dan sejujurnya, saya juga tidak tertarik ingin kenal atau ketemu. Wong tahu siapa dia saja tidak!
Setiap kali teringat kisah lama itu, kadang saya bingung sendiri. Seseorang, yang tidak kamu kenal, ingin minta tolong ke kamu. Dan kamu bersedia menolongnya, semata karena ada perantara seorang teman yang kamu kenal. Tetapi, itikad baikmu malah dipersepsikan secara buruk.
Jadi, apa sebenarnya yang diinginkan perempuan tadi? Dia mau minta tolong ke saya—orang yang tidak mengenalnya—dan dia ingin saya yang menemuinya, di tempat yang dia inginkan, di waktu yang dia tentukan. Saya yang harus proaktif, padahal dia yang butuh, dan saya tidak kenal dia!
Dan ketika saya tidak juga menghubungi atau menemuinya, apa yang kemudian dia lakukan? Dia “main drama” dengan sering missed-call atau mengirim SMS kosong ke ponsel saya. Mungkin memang ada orang kurang kerjaan yang mau merespons hal konyol kayak gitu, tapi jelas bukan saya!
Ini adalah kesalahan konyol komunikasi, terlepas kamu laki-laki atau perempuan. Selama kamu masih menggunakan cara semacam itu, sesuatu yang disebut “komunikasi” tidak akan terjadi, bahkan akan rusak! Cara komunikasi semacam itu juga sangat kekanak-kanakan.
Komunikasi adalah aktivitas dua arah, dan aktivitas dua arah itu dimulai oleh pihak yang berkepentingan. Kalau saya ingin kenal atau punya kepentingan dengan seseorang, saya akan menghubunginya, bukan menunggu dia menghubungi saya, atau “main drama” dengan mancing-mancing dia agar menghubungi saya.
Sebagai orang yang suka to the point dan menyukai pembicaraan yang jelas, saya benar-benar ilfil dengan orang yang menggunakan cara mancing-mancing atau menggunakan kode untuk berkomunikasi. Bahkan umpama semula tertarik kepadanya, saya akan kehilangan minat jika dia menggunakan cara komunikasi yang tidak sehat semacam itu. Wong tinggal ngomong saja harus mutar-mutar pakai kode dan drama macam-macam.
Finally. Saat saya menulis catatan ini, Kafe BSP dan stasiun radio BSP sudah tidak ada. Saya salah satu orang yang kehilangan. Meski begitu, saya akan selalu mengingat pelajaran dari peristiwa yang saya dapat di sana, tentang pentingnya cara berkomunikasi yang benar.