Senin, 01 Januari 2024

Percakapan Usai Makan Malam

Makan malam telah selesai, piring-piring telah kosong, dan saya duduk menyandarkan punggung ke sandaran kursi, dengan sebatang rokok di tangan. Orang di depan saya melakukan hal yang sama. Lamat-lamat suara instrumentalia terdengar menenangkan.

Tempat itu relatif ramai, karena malam Minggu, dan meja-meja di sana hampir penuh. Tapi suasananya sangat tenang, jauh dari kebisingan, karena orang-orang khusyuk menikmati makanannya, atau bercakap-cakap dengan suara pelan. Biasanya, saya di sana sendirian, tapi kali ini bersama seseorang. Dia telah menunggu saya di tempat parkir, dan sekarang kami duduk semeja.

Setelah bercakap-cakap beberapa saat, dia mengeluarkan ponselnya, memperlihatkan foto seseorang di layar, lalu berkata, “Aku penasaran dengan orang ini. Bagaimana asal usulnya, sampai seperti sekarang?”

Saya melihat foto di layar ponsel, dan segera mengenali sosoknya. Setelah mengisap rokok sesaat, saya berkata, “Sekitar lima tahun yang lalu, dia masuk ke sebuah kampus, tapi tidak ada yang mengenalinya. Waktu itu, di kampus sedang ada keramaian entah apa, dan dia datang ke sana. Dia bukan siapa-siapa, dan tidak ada orang yang kenal, tidak ada yang tertarik. Itu pertama kali aku melihatnya.”

“Jadi, bagaimana dia bisa sampai seperti sekarang?”

Saya tersenyum. “Kita bisa mengatakan itu hasil kerja keras, doa yang dikabulkan, keberuntungan tak disangka—anything. Tapi ceritanya jauh lebih sederhana. Dia ditemukan orang yang tepat.” Saya membuka ponsel, mencari foto seseorang, lalu menunjukkan layar kepadanya. “Orang inilah yang membawa dia ke tempatnya sekarang. Dan ini tak terbantah, karena kedua pihak saling mengakui kenyataan itu, meski kebanyakan orang mungkin tidak tahu. Mereka saling membutuhkan, dan simbiosis mutualisme terjadi.”

Dia mengisap rokoknya, lalu kami membicarakan banyak hal terkait orang yang ditanyakannya. Selalu ada fakta di balik peristiwa. Dan semakin besar peristiwa, sering kali faktanya makin tak terduga. 

Ketika seorang pelayan melangkah lewat di dekat kami, dia menghentikan, dan minta minuman baru serta kudapan. Saya meminta hal yang sama. Percakapan kami masih akan panjang.

Pelayan mencatat pesanan, kemudian berlalu.

Dia kembali membuka ponselnya, lalu memperlihatkan sebuah gambar di layar. “Aku mendengar kalau kamu menganggap ini rekayasa.”

Saya melihat layar ponselnya, mengangguk, dan menggumam, “That’s embarrassing.”

“Ceritakan,” pintanya.

Saya pun menceritakan, “Itu sebenarnya produk gagal. Pembuatnya mengirimkan itu pada dua pihak yang berbeda, dan keduanya menolak. Karena memang buruk. Tapi dia terlalu percaya diri, dan yakin itu mahakarya. Dia lalu mengirimkan ke pihak ketiga, yang waktu itu di ambang kebangkrutan, dan produk itu pun dibuat, dengan harapan dapat menyelamatkan perusahaan dari bangkrut total. So, produk itu pun muncul di pasar. Tapi itu produk gagal, dengan kualitas buruk. Sampai di sini, sebenarnya kita bisa meramalkan apa yang terjadi; produk itu tidak akan laku. Tapi pembuatnya—si keparat yang terlalu percaya diri—melakukan sesuatu yang tak terpikirkan siapa pun.”

Saya mengisap rokok sesaat, lalu melanjutkan, “Dia membanjiri forum-forum di internet—yang waktu itu masih sangat ramai—dengan tulisan-tulisan ala testimoni terkait produk tadi. Di waktu-waktu itu, pelan namun pasti, semua orang di berbagai forum mulai mengenal produk itu, dan ikut membicarakannya karena penasaran.”

Saya membuka ponsel, mencari sesuatu, lalu meletakkannya di meja. Di layar ponsel terlihat halaman forum yang berisi tulisan ala testimoni, dan saya berkata, “Ini hanya beberapa contoh yang masih bisa terlacak sampai sekarang. Ada banyak forum yang sekarang sudah tutup, sehingga tulisan-tulisan di masa itu sudah tak terlacak. Tapi coba lihat yang ini... dan ini... dan ini... dan ini...”

Dia membaca tulisan-tulisan di beberapa forum yang saya tunjukkan, mengangguk-angguk, lalu berkata, “Jadi, dari sini hype mulai terjadi?”

“Hype-nya mungkin dari situ,” sahut saya, “tapi booming-nya dimulai dari sini.” Saya membuka YouTube, dan memperlihatkan rekaman video acara televisi yang sangat terkenal. “Dia mengirim surat ke acara ini—seolah-olah dikirim orang lain—membicarakan produk tadi, dengan segala uraian yang bombastis. Surat itu dikirimkan seseorang dengan nama dan alamat yang jelas di amplopnya.”

“Wait,” dia berkata, “maksudmu, surat itu dikirim dalam bentuk kertas dan amplop? Bukan e-mail?”

“Ya.”

“Kenapa?”

“Ada beberapa kemungkinan. Dia bisa saja tidak tahu alamat email yang harus dituju. Nyatanya, host acara televisi itu memang tidak mempublikasikan alamat e-mailnya, khususnya di masa itu. Jika dia menulis e-mail dan mengirimkannya ke alamat e-mail stasiun televisi yang menayangkan acara itu, tidak ada jaminan e-mail-nya akan dianggap serius, dan tidak ada jaminan e-mail itu akan disampaikan pada orang yang dituju. Jadi, dia sengaja mengirim surat lewat pos, karena ingin memastikan pesannya benar-benar sampai pada orang yang dituju—host acara televisi tadi.”

Dia mengangguk-angguk, dan berkata perlahan, “I see... aku paham maksudnya. Jika kita mendapat surat berbentuk amplop dengan nama seseorang tertulis di amplopnya, kita pasti akan menyerahkan surat itu kepadanya, kan?”

“Tepat seperti itu!” 

“Lanjutkan.”

Pelayan datang membawakan dua minuman dan dua piring berisi kudapan. Setelah mempersilakan dengan sopan, dia kemudian berlalu.

Saya menyesap minuman di gelas, mengisap rokok, lalu berkata, “Surat itu, seperti yang kita perkirakan, sampai ke tangan host acara televisi tadi. Membaca isinya, host itu mungkin penasaran, lalu mencari beberapa orang—tiga wanita, waktu itu—yang tahu produk tadi. Tiga wanita itu diundang ke acara tersebut, mereka membicarakan produk itu bersama sang host, dan itu benar-benar iklan gratis selama satu jam yang luar biasa.”

Dia berkata, “Dan setelah itu, produk tadi booming?”

“Ya,” saya mengangguk. “Sejak itu ratusan ribu produk terjual, bahkan orang-orang yang awam tentang produk itu ikut-ikutan beli gara-gara hype yang terjadi. Di masa itu, di mana pun, orang-orang asyik membicarakannya, padahal mereka tidak pernah bersentuhan dengan produk semacam itu sebelumnya. Tiba-tiba, semua orang seperti ‘ahli’ terkait produk itu.”

Dia mengunyah kudapan di piringnya, menyesap minuman, lalu bertanya, “Jadi, bagaimana kamu sampai terpikir semua itu hasil rekayasa?”

“Karena sejak awal aku tahu itu produk gagal.” Setelah terdiam sesaat, saya berbicara panjang lebar tentang produk itu. Kemudian, “Pada amplop yang dikirim ke host acara televisi tadi, terdapat nama dan alamat si pengirim—itulah yang menjadikan surat itu tampak ‘nyata’. So, aku melacak alamat itu. Hasilnya, tidak ada nama dan alamat seperti yang tertulis di amplop!”

“Jadi pengirim surat itu memang fiktif?”

“Sejak awal aku sudah tahu surat itu memang fiktif. Jadi, aku sama sekali tidak terkejut ketika mendapati kenyataan nama dan alamat di amplop itu benar-benar tidak ada.”

Selama sesaat, kami menikmati kudapan di piring sampai tandas, lalu menyesap minuman. Setelah itu, kami menyalakan rokok baru, dan berbicara panjang lebar tentang produk tadi. Setelah puas mendengar penjelasan yang ingin diketahuinya, dia berkata, “Kenapa kamu tidak pernah mengungkapkan semua ini ke publik?”

Saya berkata dengan berat, “Ada banyak kebenaran yang sebaiknya kamu simpan sendiri, karena orang-orang tidak akan percaya kalau kamu mengatakannya pada mereka.”

Sekali lagi kami tenggelam dalam percakapan yang intens, dengan minuman yang makin berkurang dan asap rokok yang tak henti mengepul.

Setelah topik percakapan soal itu usai, kami beralih ke topik lain. Kali ini dia berkata, “Kemarin aku ketemu Amri dan teman-temannya, dan kami membicarakan proyek yang mereka tangani. Amri bercerita, kamu membantu mereka, tapi sepertinya ogah-ogahan. Kenapa, kalau boleh tahu? Siapa tahu aku bisa menyampaikannya ke Amri, karena dia sangat ingin kamu membantunya.”

“Tidak ada kesepakatan yang jelas,” saya menjawab. “Ketika aku membantu mereka, aku hanya berpikir semata-mata membantu teman. Sebenarnya, aku bukan ogah-ogahan membantu, tapi tidak tahu apa sebenarnya yang harus kulakukan untuk membantu mereka, karena memang tidak ada intruksi yang jelas. Karena sifatnya hanya membantu, aku juga tidak berani berinisiatif macam-macam, karena tidak enak kalau dianggap melangkahi atau melancangi. Jadi, selama membantu mereka, aku hanya sekadar membantu, dan tidak berani menyampaikan pendapat apapun, karena kupikir itu bukan kapasitasku untuk melakukannya.”

Saya mengisap rokok, lalu melanjutkan, “Beda soal kalau misal ada kesepakatan yang jelas terkait proyek itu, dan Amri menjelaskan apa tugasku, dan apa yang harus kulakukan. Dengan deskripsi yang jelas semacam itu, aku jadi paham bagaimana posisiku, sehingga tidak ragu-ragu kalau mau berinisiatif apapun, karena menyadari memang punya kapasitas untuk melakukannya.”

Dia mengangguk. “Jadi, apa yang harus kukatakan pada Amri?”

“Sederhana. Beri aku kesepakatan yang jelas, dengan job description yang jelas, agar aku tahu apa yang harus kulakukan.”

“Done. Anggap saja sudah kulakukan, dan besok kamu akan mendapat kesepakatanmu.” Setelah itu dia kembali membuka ponsel, lalu menyodorkannya ke arah saya, “Sekarang ceritakan tentang orang ini.”

Saya tersenyum. “Sepertinya obrolan kita masih akan panjang.”

Dia memanggil pelayan untuk kembali memesan minuman.

 
;