Membaca buku tapi tidak selesai, sama halnya
berhenti makan sebelum habis. Mubazir, juga berdosa.
—
@noffret
Akhir-akhir
ini saya sering dilema setiap kali ada pameran buku, apalagi jika
pameran berlangsung di dekat tempat saya tinggal. Dilema, karena membuat
serbasalah. Kalau datang ke pameran, saya pasti akan “mabuk buku” di
sana, lalu pulang dengan segerobak buku yang akan menambah tumpukan buku
tak terbaca di rumah. Sebaliknya, jika tidak datang ke pameran, saya
merasa telah melakukan dosa besar tak terampuni.
Saya tidak tahu
bagaimana yang dirasakan para pencinta buku lain. Yang jelas, saya
selalu “orgasme” setiap kali mendapatkan setumpuk buku baru, lalu saya
elus-elus dengan sayang, menciuminya satu per satu, kadang
menepuk-nepuknya dengan lembut dan penuh kasih.
Membeli dan
mengumpulkan buku adalah satu hal, tapi membaca dan mengkhatamkannya
adalah hal lain. Saya tidak kesulitan membeli buku, hingga dari waktu ke
waktu koleksi buku saya makin banyak dan semakin banyak. Tetapi saya
sudah kesulitan meluangkan waktu sebanyak dulu untuk membaca buku.
Akibatnya, waktu membaca semakin berkurang, sementara buku yang ingin
saya baca semakin banyak.
Saat memandangi tumpukan buku-buku yang
belum terbaca, saya sering membatin, “Apa umurku cukup untuk
mengkhatamkan semua buku itu?” Lalu saya galau. Mati kapan pun tidak
pernah merisaukan saya. Yang saya risaukan adalah keburu mati sebelum
sempat membaca buku-buku bagus yang terbit akhir-akhir ini.
Omong-omong
soal buku bagus, saya ingin kembali berbagi buku-buku terbaik yang saya
baca, fiksi maupun nonfiksi, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Daftar
berikut tidak dimaksudkan sebagai rekomendasi, namun murni apresiasi,
yang tentu bisa subjektif. Berikut ini—tertulis secara alfabetis
berdasarkan nama-nama penulisnya—10 buku yang saya anggap terbaik dari
semua buku yang saya baca sepanjang 2015. Silakan disimak.
Agus Haryo Sudarmojo, Ir.:
Benarkah Adam Manusia Pertama?
Ajaran
Islam mendeskripsikan surga sebagai tempat yang, “belum pernah terlihat
mata, belum pernah terdengar telinga, dan belum pernah terbetik dalam
hati manusia.” Artinya, meski ada beberapa penjelasan bahwa di surga ada
kolam susu, pohon yang buahnya mudah dijangkau, hingga bidadari bermata
indah, tetap saja surga adalah tempat yang sepenuhnya tidak bisa
dibayangkan manusia.
Tetapi, ajaran Islam juga menjelaskan bahwa
Adam pernah tinggal di surga. Padahal, kita tahu, Adam adalah manusia,
bahkan disebut sebagai manusia pertama. Fakta bahwa Adam kemudian
terusir dari surga gara-gara rayuan Iblis melalui Hawa, tidak
mementahkan fakta bahwa Adam pernah tinggal di surga. Jadi, jika surga
adalah tempat yang belum pernah dilihat, didengar, dan dibayangkan
manusia, lalu bagaimana dengan
Adam dan Hawa? Bukankah mereka juga manusia?
Dua
hal itu kontradiktif, eh? Pada waktu SMP, saya pernah menanyakan
“kotradiksi” itu pada guru agama di sekolah. Bukannya diberi penjelasan,
saya justru diceramahi.
Persoalan deskripsi surga dan keberadaan
Adam di sana adalah satu di antara beberapa persoalan lain menyangkut
agama yang menjadi tanda tanya saya. Memang, seperti yang dibilang para
ahli agama, tidak semua hal harus bisa diterima akal, apalagi hal-hal
yang bersifat gaib, semisal beberapa ajaran agama. Tapi jangan lupa, ada
hal-hal yang “tidak bisa diterima akal karena termasuk gaib”, dan
hal-hal yang “tidak bisa diterima akal karena kontradiktif”.
Seperti
persoalan deskripsi surga, dan fakta bahwa Adam pernah di sana. Itu
sulit diterima akal—bukan karena bersifat gaib, tapi lebih karena
kontradiktif. Karenanya, meski saya orang beragama, saya pikir juga
punya hak untuk mempertanyakannya. Dan untuk hal itu, saya sangat
berterima kasih pada buku yang ditulis Ir. Agus Haryo Sudarmojo.
Buku
ini menjelaskan secara masuk akal mengenai “kontradiksi” di atas, bukan
hanya melalui dalil-dalil agama yang dogmatis dan doktrinatif, tapi
juga menggunakan pemaparan yang ilmiah. Di antaranya menjelaskan
definisi dan terminologi “jannah” dalam Al-Qur’an yang selama ini
diartikan sebagai “surga”, hingga hal-hal lain yang berkaitan dengan ras
Adam dan kehidupan di dunia.
Bagi saya, ini buku pertama yang mampu menjawab “kontradiksi” mengenai deskripsi surga dan fakta bahwa Adam pernah ada di sana.
Goenawan Mohamad: Catatan Pinggir 10
Sebenarnya,
saya telah rutin membaca tulisan-tulisan Goenawan Mohamad yang terbit
di majalah Tempo. Saya juga telah membaca ratusan Catatan Pinggir yang
terbit di internet, termasuk di web Tempo dan blog pribadi Goenawan
Mohamad. Tetapi, ketika tulisan-tulisan tersebut dibukukan, saya masih
merasa perlu untuk memilikinya, dan membacanya sekali lagi.
Sejauh ini,
Catatan Pinggir 10
adalah jilid pamungkas dalam rangkaian buku Catatan Pinggir yang
mengumpulkan tulisan-tulisan Goenawan Mohamad. Dalam daftar buku terbaik
tahun ini, saya menjadikan
Catatan Pinggir 10 sebagai “wakil” dari 9 jilid lainnya. Kebetulan, saya mendapatkan rangkaian jilid tersebut dalam satu paket.
Well,
membaca 10 jilid Catatan Pinggir rasanya seperti mengunyah gajah—besar,
alot, sulit dikunyah, meski memberi kenyang luar biasa. Setidaknya,
itulah yang saya rasakan saat membaca lembar demi lembar 10 jilid
Catatan Pinggir. Kita tahu bagaimana Goenawan Mohamad menulis—datar,
dalam, kalem, dan kadang juga sulit dipahami. Kadang-kadang, saat
selesai membaca satu catatan, saya harus berdiam diri dulu, memikirkan
apa yang dimaksud Goenawan Mohamad dalam catatan tersebut.
Catatan Pinggir 1 berisi 275 catatan yang terbit pada Maret 1976 sampai September 1981, dengan tebal 978 halaman.
Catatan Pinggir 2 berisi 111 catatan yang terbit sepanjang September 1981 sampai Desember 1985, dengan tebal 810 halaman.
Catatan Pinggir 3
berisi 100 catatan yang terbit sepanjang Januari 1986 sampai Februari
1990, dengan tebal 434 halaman. Dan begitu seterusnya, sampai
Catatan Pinggir 10, berisi 106 catatan yang terbit sepanjang Januari 2011 sampai Desember 2012.
Selain
jumlah tulisannya yang luar biasa banyak, tema yang dibahas pun
merentang dari ujung paling barat sampai ujung paling timur, dari Marx
sampai Rumi, dari Bisma sampai Zarathustra, dari Bung Karno sampai Che
Guevara, dari Abu Nawas sampai Herr Keuner, dari Chairil Anwar sampai
Alvin Toffler, dari Pram sampai Nietzsche, dari John Maynard Keynes
sampai John Kenneth Galbraith, dari Absyalom sampai... oh, well.
Jadi,
seperti yang saya sebut tadi, mengkhatamkan 10 jilid Catatan Pinggir
rasanya seperti mengunyah gajah. Juga pengalaman menyenangkan, dan
membuat saya terkagum-kagum menikmati wawasan dan pengetahuan Goenawan
Mohamad yang sangat, sangat, sangat luas.
Dia telah menulis
jauh-jauh hari sebelum saya lahir, terus menulis saat saya telah lahir,
dan masih terus menulis saat saya kini juga mulai menulis. Tahun-tahun
yang terentang panjang itu tentu tidak hanya membutuhkan ketekunan dan
konsistensi yang luar biasa, namun juga pengetahuan dan kemampuan untuk
tanpa henti menghasilkan tulisan yang terus dinikmati pembaca.
John Coleman, Dr.: Committee 300
Buku
ini mengungkapkan banyak hal mengejutkan seputar latar belakang sejarah
dan tokoh-tokoh terkenal. Kalau kita akrab dengan sejarah dan
tokoh-tokoh dunia, hampir bisa dipastikan buku ini akan membuat kita
terguncang.
Salah satu yang menarik untuk dibahas di sini adalah
pengungkapan bahwa J.K. Rowling sebenarnya bukan penulis serial Harry
Potter. Apakah ini mengejutkan? Jelas! Jika kalian bertanya, apakah saya
percaya yang dikatakan buku ini? Terus terang, ya... saya percaya.
Sebelum
J.K. Rowling menulis novel lain di luar Harry Potter, saya tentu
percaya dialah yang memang menulis serial tersebut. Tetapi, ketika J.K.
Rowling mulai menulis novel-novel di luar Harry Potter—dan saya juga
membaca novel-novel tersebut—kepercayaan saya mulai goyah. Ada banyak
kejanggalan yang saya temukan selama membaca novel-novel Rowling di luar
Harry Potter. (Penjelasan mengenai hal ini bisa sangat panjang, jadi
mungkin akan saya uraikan di catatan lain saja, yang secara khusus
membahas soal tersebut.)
Yang jelas, kecurigaan saya terhadap J.K. Rowling seperti mendapat konfirmasi dalam buku
Committee 300
yang ditulis Dr. John Coleman. Di buku ini, John Coleman menyatakan
bahwa Harry Potter sebenarnya bukan karya J.K. Rowling, melainkan kreasi
sekelompok orang di Tavistock Institute—salah satu think tank Komite
300—yang di dalamnya terdapat orang-orang genius. Sementara Harry Potter
sebenarnya personifikasi Richard Potter, seorang miliuner tak terkenal
yang menggeluti sihir dan okultisme. Richard Potter benar-benar ada,
tapi menutup diri dari publik, sehingga sosoknya kurang dikenal.
Putrinya, Beatrice Potter, adalah pendiri Fabian Society, sebuah
organisasi di bawah Komite 300.
Selain mengungkap fakta
tersebut, buku ini juga menjelaskan banyak hal lain yang sangat
mengejutkan. Termasuk keterlibatan Theodor Adorno dalam penciptaan musik
dan group
The Beatles, fakta gelap Aldous Huxley hingga
H.G. Wells, sampai pengungkapan siapa sebenarnya
Ayatullah Khomeini. Menurut buku ini, Khomeini sebenarnya agen intelijen Inggris!
Jika
ini terdengar mengejutkan, saya setuju. Saat pertama kali menemukan
fakta tersebut, saya juga tidak percaya. Jadi, sambil membaca buku ini,
saya mencoba menelusuri kembali sejarah Iran serta kehidupan Khomeini,
dan penelusuran itu tampaknya justru mengonfirmasi pernyataan tadi. Buku
ini menyebut Khomeini berasal dari Afghanistan, tempat ayahnya bekerja
bertahun-tahun di sana sebagai... agen MI6 (dinas intelijen Inggris).
Tampaknya, Khomeini meneruskan pekerjaan ayahnya.
Jika saya mempelajari kembali
detail-detail sejarah Iran—khususnya ketika
revolusi bergolak di sana,
hingga Khomeini datang dari Paris lalu mengambil alih Teheran, kemudian
memimpin Iran sepenuhnya—semua rentetan kejadian itu match dengan
penjelasan di buku ini. Jadi, Khomeini adalah agen Inggris yang sengaja
diplot untuk menguasai Iran, demi satu tujuan.
Tujuan apa?
Jawabannya mengerikan. Sebegitu mengerikan, hingga saya tidak bisa
menyatakannya di sini. Silakan kalian baca sendiri.
Committee 300
adalah buku yang besar, tebal, sekaligus berat. Rangkaian pengungkapan
di lembar-lembar buku ini terus menerus mengejutkan dan mencengangkan,
khususnya bagi kita yang telah akrab dengan sejarah dan para tokoh
dunia. Saat mengkhatamkannya, saya mengalami kerisauan luar biasa,
sekaligus merasakan ledakan orgasme di kepala.
Karen Kelly: The Secret of The Secret
Pada 2 Maret 2007, Penerbit Atria Books/Beyond Words Publishing—yang menerbitkan buku
The Secret karya Rhonda Byrne—mengumumkan bahwa mereka akan mencetak ulang buku
The Secret.
Sebenarnya, itu hal biasa dalam industri penerbitan, khususnya di
Amerika. Yang tidak biasa adalah jumlah cetak ulang yang dilakukan—2
juta eksemplar! Itu merupakan angka cetak ulang (untuk buku tunggal)
terbesar dalam sejarah perbukuan Amerika Serikat.
Kenyataannya,
The Secret
karya Rhonda Byrne memang sangat fenomenal—buku maupun DVD-nya laris
terjual, dan diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia, termasuk
Indonesia. Di Amerika saja, buku
The Secret terjual hingga 3,75
juta eksemplar—belum termasuk DVD-nya yang juga menduduki daftar
terlaris. Nama Rhonda Byrne pun dikenal di seluruh dunia, dan muncul di
berbagai acara talkshow populer, termasuk acara Oprah.
Bagi saya, yang paling menarik dari
The Secret adalah
kemasannya. Buku itu dicetak dalam bentuk mungil, bersampul hardcover
plus jaket sampul, dengan desain mirip buku kuno, lengkap dengan lilin
bersegel. Lembaran-lembaran kertas di dalamnya juga sangat bagus, plus
lay out yang sama bagus. Semua kemewahan dan keindahan itu—ditunjang
promosi yang tepat—menjadikan
The Secret laris dan fenomenal.
Jadi, untuk urusan penjualan,
The Secret sukses besar. Tapi bagaimana dengan materi buku? Hal itulah yang dibahas dalam
The Secret of The Secret yang ditulis Karen Kelly.
Dalam
The Secret of The Secret, Karen Kelly mengkritisi materi atau isi yang disampaikan oleh Rhonda Byrne dalam
The Secret, dari latar belakang munculnya buku itu, dampaknya ke masyarakat, pengungkapan orang-orang yang dikutip dalam
The Secret, hubungan
The Secret dengan sains, sampai menguak kejanggalan-kejanggalan yang terdapat dalam
The Secret. Secara keseluruhan, buku ini memberi cara pandang baru, sekaligus kritis, dalam memahami
The Secret.
Michael Crichton: Next
Selalu
menyenangkan membaca novel-novel Michael Crichton. Dia pendongeng
fantastis, yang mampu mengisahkan hal-hal rumit menjadi sesuatu yang
enak dipahami. Crichton adalah kutubuku berwawasan yang pintar
bercerita.
Dalam
Jurassic Park, misalnya, dia mengisahkan
dinosaurus yang hidup jutaan lalu dilahirkan kembali untuk hidup di abad
modern. Dan dia bisa menjelaskan “cara melakukannya” dengan begitu
meyakinkan, hingga para ilmuwan pun manggut-manggut saat membaca
novelnya.
Dalam
Timeline, dia menceritakan cara pergi ke
masa lalu dengan menggunakan sebuah mesin waktu. Dan dia menjelaskan hal
itu dengan “sangat ilmiah”, seolah-olah kita benar-benar akan mampu
melakukan—meski entah kapan. Dan jalinan cerita yang ia bangun dalam
kisah itu sangat menakjubkan.
Dalam
Sphere, dia mengubah
absurditas psikologi dan alam bawah sadar menjadi sebuah cerita ilmiah
yang faktual. Dan, lagi-lagi, dia bisa menjelaskan hal itu dengan cara
mengasyikkan—melalui sebuah bola asing yang tenggelam di dasar laut.
Kisah-kisah
yang ditulis Michael Crichton selalu menakjubkan—perpaduan antara
wawasan yang luas, pengetahuan yang dalam, serta cara bercerita yang
enak dibaca. Tak mengherankan jika nyaris semua novelnya difilmkan, dan
dia penulis yang novelnya paling banyak difilmkan.
Dalam
Next,
Michael Crichton berbicara tentang genetika, dan batas tipis antara
hewan dan manusia. Ada cukup banyak fakta mengejutkan yang ia sampaikan
dalam novel ini—sebagaimana dalam novel-novelnya yang lain—khususnya
tentang “kesadaran” manusia. Seperti biasa pula, Michael Crichton senang
mengatakan sesuatu secara frontal, yang langsung menghantam kesadaran
pembaca. Kalimat berikut ini menjadi favorit saya:
“... karena
hampir semua orang di dunia membawa gen nyaman, mereka yakin banyak
orang mungkin menderita anomali genetis yang berkaitan dengan gen
tersebut. Misalnya: Orang-orang yang terlalu berhasrat bergabung dengan
mayoritas—itu bisa menjadi bukti suatu kelainan genetis. Dan orang-orang
yang merasa depresi kalau mereka sendirian—bisa dimengerti bahwa itu
kelainan juga. Orang-orang yang ikut pawai protes, yang pergi ke
pertandingan olahraga, yang mencari situasi di mana mereka akan
dikelilingi banyak orang yang sepaham—kelainan genetis potensial. Lalu
ada orang-orang yang merasa wajib setuju dengan siapa pun yang sedang
bersama mereka, tak peduli apa yang diutarakan—suatu kelainan lagi. Dan
bagaimana dengan orang-orang yang takut berpikir sendiri? Takut mandiri
di luar kelompok yang mengelilinginya?”
Next adalah
karya terakhir Michael Crichton. Dua tahun setelah menulis novel ini,
dia meninggal dunia setelah cukup lama menderita kanker. Sebagai
penggemar karyanya, saya merasa sangat kehilangan.
Noam Chomsky: How the World Works
Noam Chomsky adalah intelektual Amerika yang dianaktirikan Amerika. Kenyataan itu tak bisa dilepaskan dari luasnya pengetahuan serta wawasannya mengenai kebobrokan Paman Sam, hingga media-media mainstream Amerika menjaga jarak dengannya. Meski begitu, di dunia internasional, Chomsky dihormati sebagai intelektual berwawasan sekaligus pemikir cemerlang.
Chomsky telah menjadi profesor pada usia 32 tahun, dan dia mengajar di MIT. Selain mengajar, dia juga menulis banyak buku seputar isu-isu politik, dan telah menerima setidaknya 37 penghargaan dan gelar kehormatan. Selain mengajar dan menulis, Chomsky juga aktif sebagai pembicara, serta rutin mengisi siaran radio yang berisi wawancara-wawancara dengannya.
How the World Works adalah buku yang merangkum wawancara-wawancara radio KPFA, Berkeley, dengan Noam Chomsky. Layaknya wawancara, bentuknya pun seperti percakapan. Tapi karena yang ngoceh Noam Chomsky, ocehannya pun sangat asoy.
Dalam berbagai wawancara yang dikumpulkan buku ini, Chomsky membicarakan sistem ekonomi global, rasisme, filsafat Hume, kericuhan di India, bencana di Somalia, demokrasi Amerika, kebijakan kontrol senjata, problem dunia ketiga, utang-utang negara, perawatan kesehatan, kejahatan dan hukuman, media, fundamentalisme, pasar bebas, koperasi, nuklir, keluarga, korporasi, postmodernisme, globalisasi, sampai berbagai persoalan internal di banyak negara.
Selama menikmati wawancara-wawancara tersebut, saya tak bisa menahan kekaguman pada bocah ini—maksud saya Noam Chomsky. Yang mengagumkan bukan hanya wawasannya yang luar biasa, tapi juga kemampuannya dalam menganalisis beragam peristiwa yang terjadi di berbagai belahan dunia. Analisisnya sangat tajam, jauh melampaui pikiran orang-orang kebanyakan, juga kontemplatif.
Noam Chomsky pasti seorang bocah yang rajin belajar, dan dia bocah yang sangat mengagumkan.
Tilly Bagshawe:
Sidney Sheldon’s After The Darkness
Sidney Sheldon adalah novelis favorit saya sepanjang masa. Novel-novelnya merupakan jalinan kisah memukau, plot yang sangat cepat dan rumit, alur yang saling membelit, setting yang kaya, tokoh-tokoh unik dan mempesona, humor dan kegilaan tersembunyi, serta akhir kisah tak terduga. Semua yang saya inginkan dalam novel, terdapat dalam novel-novel Sidney Sheldon.
Semua novel Sheldon memiliki ciri nyaris sama—tokoh-tokohnya sangat hidup dengan latar belakang yang diceritakan detail namun ringkas dan tidak membosankan. Tokoh utamanya selalu seorang (atau beberapa orang) wanita, dan mereka harus melalui perjalanan kisah penuh ancaman serta mendebarkan, untuk kemudian selamat dan menjadi pemenang. Di sela-sela perjalanan kisah itu, Sheldon biasanya memasukkan humor dan kegilaan tersembunyi yang membuat cekikikan pembaca yang paham.
Sampai kemudian Sheldon meninggal dunia, setelah menulis novelnya yang terakhir,
Are You Afraid of the Dark?.
Setelah meninggalnya Sheldon, saya sudah pesimis untuk bisa menikmati novel-novel mengasyikkan seperti karya Sheldon. Meski ada penulis thriller-suspense lain yang sama hebat—misalnya Dan Brown—tapi tetap saja, keunikan Sheldon sulit ditandingi, apalagi digantikan.
Lalu, sekonyong-konyong, Sheldon bangkit dari kubur, dan kembali menulis novel!
“Reinkarnasi” Sidney Sheldon mewujud dalam diri Tilly Bagshawe. Entah bagaimana caranya, Tilly Bagshawe bisa menulis novel-novel yang memiliki ciri nyaris persis seperti novel-novel yang ditulis Sheldon. Seolah-olah, Tilly Bagshawe menulis melalui “template khusus” yang sebelumnya digunakan Sheldon untuk menulis novel. Karenanya, Tilly Bagshawe menyematkan nama Shidney Sheldon pada judul-judul novelnya. Untuk hal itu, tentu saja, dia telah mendapat izin dari ahli waris Sidney Sheldon.
Sejauh ini, Tilly Bagshawe telah menulis tiga novel—
Master of the Game,
Angel of the Dark, dan
After The Darkness. Sama seperti Sheldon, Tilly Bagshawe berkisah tentang perjuangan wanita yang harus melalui perjalanan hidup mendebarkan, penuh intrik tak terduga, pengkhianatan, pembalasan dendam, dan dia mengisahkannya dengan cara Sheldon—plot yang cepat, alur saling membelit, karakter-karakter yang unik, setting yang merentang di berbagai negara, serta twist-twist yang membuat pembaca ternganga.
Tahun ini, saya membaca dua novel Tilly Bagshawe, yaitu
Angel of the Dark dan
After The Darkness. Terus terang saya cukup bingung memilih salah satunya, karena sama-sama bagus, namun akhirnya memutuskan
After The Darkness sebagai yang terbaik.
After The Darkness menceritakan Grace Brookstein, seorang wanita yang harus menghadapi petaka mengerikan. Dia menikah dengan lelaki kaya-raya yang sangat mencintai dan dicintainya, menikmati kehidupan laksana surga, sampai kemudian nasib menjungkirbalikkan semuanya. Suami Grace hilang, sementara Grace dituduh menggelapkan uang sebesar 75 miliar dollar.
Menghadapi tuduhan mengerikan itu, Grace kebingungan. Kakak-kakaknya menjauh, teman-temannya pergi meninggalkan, sementara dia menghadapi pengadilan yang kemudian menjebaknya untuk menghabiskan hidup di penjara. Sendirian, tanpa siapa pun yang menolong, Grace berjuang menghadapi lika-liku intrik dan kepahitan takdirnya... untuk kemudian membalik keadaan, dan menjadi pemenang. Benar-benar khas Sidney Sheldon!
Walid bin Said Bahakim:
Orang-orang yang Tidak Suka Popularitas
Popularitas telah menjelma berhala, akhir-akhir ini. Semua orang ingin terkenal, semua orang ingin populer. Keinginan terkenal pun kadang sampai menyeret orang-orang melakukan hal-hal konyol, membayar media demi publisitas, atau melakukan hal-hal lain demi tujuan yang sama—memperoleh popularitas. Dampak paling jelas dari semua itu adalah naluri luar biasa untuk pamer.
Jangankan hal-hal yang bersifat duniawi, bahkan yang bersifat ukhrawi atau ketuhanan pun dipamerkan. Jangankan hal-hal yang bersifat jasmani, bahkan yang bersifat rohani pun dipamerkan. Jadi kita pun hidup di zaman ketika segala hal, bahkan yang paling remeh temeh sekali pun, menjadi kesempatan untuk pamer. Kita bernapas di dunia tempat amal kebajikan tidak lagi ditujukan sebagai bukti kehambaan, tapi sarana pameran. Agar terkenal. Oh, well, agar terkenal.
Yang membaca kitab suci merasa perlu menggunakan TOA, agar orang-orang lain bisa mendengar. Yang bersedekah perlu diliput media, agar orang-orang lain bisa melihat. Yang merasa pintar perlu menyalah-nyalahkan orang lain, agar terlihat paling hebat. Yang merasa benar perlu mengkafir-kafirkan orang lain, agar terlihat benar sendiri. Bahkan yang pacaran pun perlu pamer di sosial media, seolah pacaran adalah peristiwa suci alam semesta.
Di tengah hiruk-pikuk masyarakat yang bising, selalu ada malaikat yang hening—orang-orang yang diam dalam sunyi, yang menjalani hidup tanpa hasrat terkenal, yang menjauhkan diri dari pujian dan pemujaan, yang senantiasa bersyukur karena tak dibelenggu popularitas. Merekalah Kaum Ahfiya’—orang-orang yang merahasiakan diri, yang tidak ingin dikenali, tidak ingin ditemui, tidak ingin unjuk diri, karena hidup mereka tidak membutuhkan apa pun selain Sunyi.
Buku ini, yang merupakan terjemahan kitab
Al-Akhfiya’: Al-Manhaj was-Suluk, adalah buku kecil yang serupa oase di padang pasir. Siapa pun yang terlalu sibuk unjuk diri, mungkin perlu membaca buku ini. Untuk rehat sejenak... untuk mengenali diri sendiri... untuk memahami
hakikat hidup dan sesuatu yang Sunyi.
William Blum: Demokrasi
Di tengah-tengah pengeboman NATO/AS terhadap Libya, Muammar Gaddafi—pemimpin Libya waktu itu—mengirimkan surat kepada Presiden AS, Barack Obama, pada 6 April 2011. Isi surat Gaddafi sangat santun, dan ia mengharapkan Obama menarik pasukan NATO/AS dari Libya. Apakah Obama terketuk hatinya, dan memenuhi permintaan Gaddafi? Kita tahu jawabannya—Obama cuek, Libya hancur, dan riwayat Gaddafi tamat.
Delapan tahun sebelum mengebom Libya hingga hancur lebur dan mengganti Gaddafi dengan boneka mereka, AS menyerang Irak dengan alasan Saddam Hussein menyembunyikan senjata rahasia. Mengetahui kenyataan itu, pihak Irak mencoba melakukan negosiasi dengan AS. Pada Maret 2003, para pejabat Irak, termasuk Kepala Badan Intelijen Irak, menghubungi pemerintah AS di Washington, dan meyakinkan bahwa Irak tidak memiliki senjata pemusnah massal sebagaimana yang dituduhkan.
Mereka juga menawari AS untuk melakukan pemeriksaan atas hal tersebut di Irak, dan untuk itu Irak akan mengizinkan para ahli Amerika melakukan riset untuk menentukan apakah di Irak ada senjata pemusnah massal atau tidak. Irak juga menyatakan dukungan penuh bagi segala rencana Amerika Serikat terhadap proses perdamaian antara Arab-Israel. Selain itu, jika rencana penyerangan AS ke Irak ada hubungannya dengan minyak, pihak Irak juga bersedia membicarakan konsesi minyak dengan AS. Bagaimana pun, Irak tidak ingin berperang.
Bagaimana tanggapan AS terhadap tawaran tersebut? Menerima upaya damai dari Irak? Menyambut uluran tangan dari Irak agar dunia tenteram dan baik-baik saja? Kita juga tahu jawabannya—AS mengebom Irak habis-habisan hingga negara itu berubah menjadi puing, nasib Saddam Hussein berakhir di tiang gantungan, dan Irak ditinggalkan sebagai negeri korban perang. Yang paling bajingan di atas semua itu, tuduhan AS mengenai senjata pemusnah massal di Irak tidak pernah terbukti.
Itu hanya sedikit ilustrasi bagaimana Amerika memperlakukan sesuatu yang disebut “
demokrasi”. Dari zaman Bush Senior maupun Bush Yunior, dari Bill Clinton sampai Barack Obama, Amerika tak pernah berubah—mereka tetap menjadi predator yang memangsa apa pun yang ingin mereka mangsa, mengendalikan apa pun yang ingin mereka kendalikan, meski untuk itu mereka harus mengarang-ngarang dalih dan kebohongan.
Buku yang ditulis William Blum ini menguraikan panjang lebar mengenai hal-hal kotor yang telah dilakukan Amerika di berbagai negara—termasuk kudeta di Venezuela, penghancuran perjuangan Zapatista, penggulingan pemerintahan Guatemala, dan lain-lain—yang semuanya dilakukan AS demi tujuan dan kepentingan mereka. Dengan segala pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, William Blum memaparkan semua kebrengsekan negaranya dengan lugas dan gamblang, bahkan frontal. Oh, well, William Blum pastilah bocah paling nekad di Amerika!
Demokrasi versi AS sebenarnya bukan demokrasi sebagaimana yang kita pahami. Demokrasi bagi AS adalah, “Selama kau memerintah negaramu sesuai kehendak Amerika Serikat, maka itulah demokrasi.” Dan, omong-omong, itulah demokrasi yang selama ini kita jalani.
Yoroshii Haryadi & Azaki Karni:
The Untrue Power of Water
Ini buku terbitan lama—Mei 2007—tapi terselip di antara buku-buku lain di rumah, hingga saya sempat lupa kalau dulu pernah membeli buku ini. Tidak terlalu tebal, saya membacanya dalam sekali duduk, namun isinya sangat bagus—menguraikan berbagai hal yang patut dipertanyakan seputar kristal air temuan Masaru Emoto.
Kita tahu, Masaru Emoto menghebohkan dunia dengan penemuan menakjubkan. Bahwa air yang diberi ucapan positif, katanya, bisa membentuk kristal-kristal sangat indah. Foto-foto kristal air yang sangat indah itu pun tersebar di berbagai belahan dunia, khususnya melalui buku-buku yang ditulis Masaru Emoto—yang semuanya membahas kekuatan sejati air.
The Untrue Power of Water merupakan antitesis karya Masaru Emoto. Dengan kajian yang sangat kritis, buku ini mempertanyakan dan mengungkap banyak hal mengejutkan seputar temuan-temuan Masaru Emoto.
Meski pembahasan dalam buku ini cukup berat dan rumit, namun pemaparannya cukup mudah dipahami orang awam. Jika kita kebetulan termasuk pengagum kristal air Masaru Emoto, buku ini bisa dijadikan pembanding yang objektif.
Sampai jumpa di Daftar Buku Terbaik tahun depan!