Sabtu, 26 Desember 2015

Bocah

"Hey, Mary Jane," ucap Peter Parker berkali-kali, saat sendirian,
membayangkan melakukannya. Tapi, kita mengerti, itu tak pernah terjadi.
@noffret 


Kenapa saya suka menyebut diri sebagai bocah? Itu salah satu pertanyaan yang paling banyak ditanyakan para pembaca blog ini. Jadi, catatan ini saya tulis untuk menjawab pertanyaan tersebut.

....
....

Dulu, sekitar 300 meter dari rumah saya ada sebuah tempat berkumpul para mahasiswa, bernama MSC (Moslem Student Center). MSC didirikan para senior saya di kampus, dan tempat itu lalu berkembang menjadi tempat kost, tempat diskusi, tempat belajar, dan tempat kumpul-kumpul para mahasiswa. Saya juga kadang dolan ke sana, kalau pas ada acara asyik, atau kangen ngumpul bareng teman-teman.

Secara rutin, ada acara-acara pembelajaran di MSC yang diikuti para mahasiswa. Biasanya ada dosen yang diundang untuk berbicara, atau ahli-ahli tertentu untuk mengajarkan pengetahuan mereka. Saya juga beberapa kali diminta mengisi acara di sana, dan hal tersebut masih berlangsung meski saya sudah drop out (bukan mahasiswa lagi). Peserta acara-acara di MSC bisa dibilang general, lintas semester, dari berbagai jurusan kuliah.

Suatu siang menjelang sore, saya merasakan kepala sangat sakit. Itu hal rutin yang saya alami setiap hari. Biasanya, saya membeli obat sakit kepala 1 dus di apotek untuk kebutuhan sehari-hari. Sial, hari itu obat sakit kepala di rumah kebetulan habis. Untung, obat sakit kepala yang saya konsumsi banyak dijual di warung atau toko kelontong. Siang itu saya ingat, di depan MSC ada warung cukup besar, dan saya pun terpikir untuk membeli obat sakit kepala di sana.

Jadi, sambil menahan kepala yang sakit, saya pun pergi ke sana. Ketika sedang berdiri di depan warung untuk membeli obat, saya didatangi Eni yang muncul dari kantor MSC. Eni adalah mahasiswi yunior yang akrab dengan saya.

Seperti orang yang terselamatkan dari bencana, Eni langsung berkata bahwa saat itu di MSC sedang ada acara, tapi pembicara yang diundang kebetulan tidak bisa datang karena urusan mendadak. Padahal, para mahasiswa sudah berkumpul dan siap di MSC. Jadi, Eni meminta saya untuk menggantikan pembicara yang tidak datang, daripada mengecewakan banyak mahasiswa yang sudah berkumpul. Waktu itu, saya lihat halaman MSC memang penuh sepeda motor para mahasiswa.

Saya bengong. “Aku ke sini untuk beli obat sakit kepala, En. Bukan untuk ngisi materi.”

Tapi Eni memaksa, dan tampangnya seperti orang putus asa. Jadi, saya pun akhirnya berkata, “Baiklah. Tapi tolong belikan teh hangat, buat minum obat.”

Eni langsung pergi untuk mencarikan teh seperti yang saya minta.

Di MSC, saya duduk minum obat, lalu meminum teh hangat yang dibawakan Eni. Kemudian menyulut rokok, dan merasakan denyut sakit kepala yang mulai mereda. Setelah kepala mulai nyaman, saya pun masuk ke tempat acara, menghadapi 50-an mahasiswa yang telah berkumpul.

Dengan santai, saya berkata pada mereka, “Saya ke sini, sebenarnya untuk membeli obat sakit kepala, bukan untuk ngoceh di depan kalian. Tapi Eni meminta saya untuk mengisi acara ini, karena pemateri yang diundang ada keperluan mendadak, hingga tidak bisa datang. So, saya tidak tahu apa yang harus saya bicarakan di sini. Ada usul, kalian ingin saya ngomongin apa?”

Para mahasiswa pun mengajukan usul, dari yang ilmiah sampai yang absurd. Tentu saja saya memilih usul yang absurd, yang tidak mungkin dibahas pemateri lain. Mereka para mahasiswa yang rajin belajar, dan saya menghargai semangat mereka.

Setelah disepakati topik yang akan dibahas, saya pun mulai ngoceh panjang lebar tentang topik itu—tanpa panduan atau catatan—dan mereka khusyuk menyimak, berjam-jam, penuh canda dan saling cengengesan. Bahkan, para mahasiswa yang masih ada di kampus saat itu berdatangan ke MSC, begitu tahu saya yang mengisi acara hari itu.

Siapa pun yang mengenal saya di kampus, pasti tahu hal tersebut—bahwa saya bisa berbicara di depan forum tentang apa saja, dengan cara yang tidak hanya menyenangkan, tapi juga membuat tawa dan cekikikan. Dalam hal itu, jujur saja, kadang saya kagum pada diri sendiri. Kemampuan berbicara di depan umum, apalagi secara mendadak dan tanpa persiapan, bukanlah kemampuan yang dimiliki setiap orang. Karenanya, dalam hal itu, saya merasa hebat.

Tetapi....

Tetapi, saya benar-benar idiot dalam urusan interaksi di luar forum. Saat diminta menyapa orang lain, misalnya, saya sering kebingungan. Jangankan menyapa orang lain yang relatif asing, bahkan menyapa tetangga depan rumah pun saya sering kebingungan. Sering kali, saat akan keluar rumah, saya sampai menunggu depan rumah sepi lebih dulu, agar saya bisa keluar rumah tanpa harus menyapa tetangga yang kebetulan sedang berkumpul.

Untungnya, tetangga saya orang-orang baik, setidaknya mereka bisa memaklumi tingkah saya yang aneh dan tidak umum. Bahkan, mereka seperti takjub saat melihat saya datang menghadiri acara pertemuan RT, misalnya, karena saya sudah terkenal sebagai “orang aneh” yang suka menyendiri. Sangat jarang saya berinteraksi dengan orang-orang di komplek—bukan karena saya tidak bersedia, tapi karena kebingungan saat harus berbasa-basi dengan mereka.

Sedari kecil, saya telah menyadari hal itu. Saya benar-benar tidak tahu bagaimana menghadapi orang lain—tetangga, famili, atau orang asing. Dengan teman-teman yang sudah akrab memang tidak mengalami masalah—saya bisa asyik menyapa atau mengobrol dengan mereka. Tetapi jika berinteraksi dengan orang yang tak terlalu kenal—termasuk dengan tetangga atau famili—saya kebingungan.

Kecenderungan itu pun menjadikan saya sangat pendiam sejak kecil, karena memang tidak tahu yang harus diucapkan ketika bertemu seseorang. Ketika mulai dewasa, saya telah berusaha mati-matian memperbaiki kekurangan itu, meski saya masih kaku dan tidak bisa melakukannya secara luwes sebagaimana orang-orang “normal”.

Bahkan saat dewasa kini, saya masih sering kebingungan jika harus berinteraksi dengan orang lain. Saat saya datang ke rumah orangtua, kadang nyokap meminta saya mengirimkan sesuatu, atau menyuruh saya menanyakan sesuatu, pada seorang famili. Biasanya, saya akan berkata pada nyokap, “Ini ntar aku ngomongnya gimana?”

Lalu nyokap akan mengajari—apa yang harus saya ucapkan—dan saya menghafalkan. Ketika sampai di rumah famili yang dituju, saya pun mengulangi ucapan nyokap tadi, dengan sedikit improvisasi sebisanya.

Coba lihat, bahkan dengan famili sendiri, saya kadang masih kebingungan. Bisakah kalian membayangkan bagaimana bingungnya saya ketika harus berinteraksi dengan orang yang benar-benar asing? Memang, saya bisa menyahut atau menjawab dengan baik jika seorang asing menyapa, menegur, atau bertanya. Tetapi saya benar-benar tidak bisa—tidak tahu caranya—jika sayalah yang harus membuka komunikasi.

Jadi, kemampuan sosial saya sangat rendah, mungkin setara bocah SD atau SMP—masih sering gugup ketika harus menyapa seseorang, masih kebingungan ketika harus membuka komunikasi, bahkan masih sering malu atau kaku jika harus berbasa-basi dengan orang lain. Dalam urusan sosial—berhubungan dengan orang lain—saya benar-benar seorang bocah.

Tidak jarang, orang menganggap atau bahkan menuduh saya angkuh, karena jarang terlihat menyapa orang lain. Padahal, saya tidak menyapa karena memang tidak bisa melakukannya—oh, sialan, saya bahkan tidak tahu caranya! Meski begitu, saya selalu berusaha membalas atau menjawab dengan baik jika disapa, ditegur, atau ditanya.

Sekali lagi, saya tidak terlalu mengalami masalah komunikasi dengan orang lain yang telah saya kenal—misal teman kuliah atau teman bermain. Saya bahkan tidak mengalami masalah jika harus berbicara dengan topik yang jelas, dengan siapa pun, meski tidak kenal. Tapi saya benar-benar kesulitan ketika harus berbasa-basi dengan orang lain. Berbasa-basi, bagi saya, jauh lebih sulit dibandingkan mengerjakan setumpuk soal ujian. Hal itu tidak hanya saya alami di dunia nyata, tapi juga di dunia maya.

Jujur saja. Jika harus menyapa seseorang yang belum saya kenal, atau yang tidak terlalu saya kenal, saya harus menyiapkan diri sampai cukup lama. Ini serius. Karenanya, kadang saya sampai patah hati hanya karena sapaan saya tidak dibalas atau direspons. Dia tidak tahu bagaimana sulitnya saya mempersiapkan diri hanya untuk menyapanya!

Karena itu pula, saat ingin menyapa orang yang belum terlalu kenal, saya harus memastikan diri terlebih dulu bahwa dia orang yang ramah. Jika ada kemungkinan dia tidak akan menjawab sapaan saya, maka saya lebih memilih mati daripada menyapanya!

Jadi, dalam urusan interaksi sosial, saya benar-benar minus—kemampuan saya cuma setara bocah SD atau SMP. Oh, well, mereka bahkan mungkin lebih dewasa dibandingkan saya!

Saya masih ingat, dulu, saat jatuh cinta pada perempuan ini, saya sering kebingungan setengah mati saat harus memulai percakapan. Untungnya, waktu itu, kami satu kampus, sehingga sering bertemu, dan moment percakapan lebih mudah diciptakan. Lebih dari itu, dia juga tahu cara menghadapi saya. Selama bercakap dengannya, sering kali saya membatin, “Teruslah... teruslah bicara... buat aku terus menjawab... usahakan komunikasi ini terus berlangsung...”

Karena, begitu dia menjawab dengan kata-kata pendek atau semacamnya, dan saya kebingungan menjawab atau melanjutkan percakapan, maka komunikasi pun terputus dan selesai. Setelah itu, saya harus kembali mempersiapkan diri hingga sangat lama hanya untuk kembali menyapanya.

Latar belakang itu pulalah yang membuat saya sangat-sangat-sangat membenci sikap atau perilaku sok jaim. Kalian tahu bagaimana rata-rata perempuan menunjukkan sikap sok jaim—suatu perilaku yang membuat lelaki serbasalah. Setiap kali menghadapi perempuan sok jaim, saya seperti melihat tanda verboden di jidatnya—langsung membuat saya balik arah dan menyingkir. Mungkin dia memaksudkan sok jaimnya hanya untuk sekadar sok jaim, dan berharap saya maju terus. Tapi persetan, saya tidak tahu caranya!

Sekarang kalian mulai paham, kenapa saya suka menyebut diri sebagai “bocah”, karena saya memang bocah. Meski secara fisik dan biologis mungkin saya telah cukup dewasa, tapi kemampuan saya dalam hal-hal sosial sangat rendah, persis seperti bocah. Karenanya, penyebutan diri sebagai bocah adalah bentuk kejujuran pada diri sendiri. Saya bukan orang dewasa apalagi orang tua. Saya adalah bocah.

Karena itu pulalah, saya punya kecenderungan khusus kepada wanita dewasa yang sering saya sebut mbakyu. Saya tertarik kepada wanita dewasa yang ramah dan bijaksana, karena saya pikir mereka lebih tahu cara menghadapi seorang bocah seperti saya. Sebaliknya, saya tidak tertarik pada cewek-cewek ABG atau wanita dewasa yang jaimnya selangit, karena terus terang saya tidak tahu cara menghadapi mereka.

Di dunia nyata maupun di dunia maya, saya sering iri saat melihat orang-orang lain bisa asyik menyapa siapa pun yang belum kenal, seolah itu hal biasa bagi mereka. Saya ingin sekali bisa seperti itu, tapi sulitnya luar biasa. Karenanya pula, saya sering membenci diri sendiri, karena menyadari betapa rendahnya kemampuan sosial saya.

Seorang teman pernah bertanya, “Kalau umpama suatu hari kamu ketemu wanita yang membuatmu jatuh cinta, apa yang akan kamu lakukan?”

Dengan perasaan ngeri, saya menjawab, “Sejujurnya, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Kalau dia tidak punya inisiatif untuk membuka interaksi dan menjaga komunikasi, mungkin aku akan terus memendam perasaan diam-diam... entah sampai kapan.”

Sabtu, 26 Desember 2015

Pengin Ngomong

Pengin ngomong, kalau aku pengin ngomong-ngomong sama dia. Tapi nggak tahu gimana ngomongnya.

Sabtu, 26 Desember 2015

Tak Ada yang Sempurna

Ada orang-orang yang tidak tahu harus melakukan apa, semata-mata
karena memang tidak tahu caranya. Lalu kita marah pada mereka.
—Twitter, 10 Juni 2015

Ada orang-orang mengagumkan yang bisa membuat hal-hal hebat, tapi
tidak bisa membetulkan genteng yang bocor. Dan kita marah pada mereka.
—Twitter, 10 Juni 2015

Seorang profesor yang hebat di kelas bisa berubah menjadi orang aneh
dan kaku di pesta perkawinan. Biasa saja, tidak ada yang sempurna.
—Twitter, 10 Juni 2015

Mungkin seseorang bisa melakukan seratus hal hebat. Tapi bukan berarti
dia pasti dapat melakukan seribu hal lainnya. Kenapa harus marah?
—Twitter, 10 Juni 2015

Aku bisa melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan banyak orang. Tapi
aku juga tidak bisa melakukan hal-hal yang bisa dilakukan banyak orang.
—Twitter, 10 Juni 2015

Bagimu, mendatangi seseorang lalu mengajaknya bercakap mungkin mudah.
Bagiku, itu setara dengan kesulitan memecah Laut Merah. Butuh mukjizat.
—Twitter, 10 Juni 2015

Saat ingin bicara dengan seseorang, sering kali aku membutuhkan
persiapan yang jauh lebih lama dibanding persiapan menghadapi ujian.
—Twitter, 10 Juni 2015

Bagiku, mengerjakan soal-soal rumit dan memusingkan jauh lebih mudah
daripada membuka percakapan dengan seseorang yang belum terlalu kenal.
—Twitter, 10 Juni 2015

Kita sering tidak adil kepada orang lain, karena menakar segalanya
dengan ukuran diri kita sendiri. Setiap orang tidak diciptakan sempurna.
—Twitter, 10 Juni 2015

Ada orang bisa menerbangkan pesawat, tapi tidak bisa naik sepeda.
Kita tidak punya alasan marah kepadanya, karena hidupnya bukan hidup kita.
—Twitter, 10 Juni 2015

Orang tidak akan pernah melihat aku pedekate pada siapa pun. Karena aku
memang tidak tahu caranya. Aku memulai segalanya dengan pertemanan.
—Twitter, 10 Juni 2015

Aku bisa menjadi teman bercakap untukmu. Tetapi, kalau kau ingin
berbicara denganku, caranya cuma satu. Jangan menungguku menyapamu.
—Twitter, 10 Juni 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.
 
Minggu, 20 Desember 2015

Teman, Pacar, dan Perkawinan

Temanmu punya teman yang ternyata juga temanmu, itu indah. Tapi kalau
pacarmu punya pacar yang ternyata juga pacarmu, itu... well, itu apa?
—Twitter, 30 Oktober 2014

Aku lebih suka menemukan teman, daripada menemukan pacar.
Teman bisa menjadi pacar, tapi pacar tidak pernah bisa menjadi teman.
—Twitter, 30 Oktober 2014

Seharian asyik bersama teman tidak membuatmu bosan. Tapi seharian
bermesraan dengan pacar... oh, ayolah, kadang-kadang membosankan.
—Twitter, 30 Oktober 2014

Kalau pacar kita bilang, “Aku mencintaimu apa adanya,” kita tahu
itu bohong. Tapi kalau teman kita yang bilang, kita percaya itu jujur.
—Twitter, 30 Oktober 2014

Ironis adalah orang yang meninggalkan teman-temannya
demi seorang pacar yang sewaktu-waktu bisa hilang.
—Twitter, 30 Oktober 2014

Semula, hidup ini indah, luas, ceria, dan menyenangkan. Tapi kemudian
muncul pacar, dan hidup menjadi sempit setelah hadirnya perkawinan.
—Twitter, 30 Oktober 2014

Temanku menikah bukan karena apa pun, tetapi karena kesepian akibat
semua temannya telah menikah. Sedih. Dia tidak tahu aku belum menikah.
—Twitter, 30 Oktober 2014

Banyak orang kehilangan teman bukan karena apa pun,
tapi karena si teman menikah. Setelah itu, semuanya berubah.
—Twitter, 30 Oktober 2014

Aku pernah punya teman yang cocok, dan kami sering mengobrol, bercanda
semalaman tanpa bosan. Lalu dia menikah, dan aku sangat kehilangan.
—Twitter, 30 Oktober 2014

Bagi sebagian orang, perkawinan adalah awal hubungan intim dua orang,
dan awal hancurnya pertemanan bertahun-tahun dengan banyak orang.
—Twitter, 30 Oktober 2014

“Dia berubah, setelah menikah,” ujar seseorang pada temannya. Lalu dia
juga menikah, dan si teman mengatakan hal yang sama pada temannya.
—Twitter, 30 Oktober 2014

Sering kali, seorang teman hilang setelah menikah. Pertemanan mungkin
akan jauh lebih indah, kalau saja teman-teman kita tidak menikah.
—Twitter, 30 Oktober 2014

Kehidupan jadi lebih indah dan bermakna karena keberadaan teman-teman.
Sayangnya, teman-teman sering kali menghilang karena perkawinan.
—Twitter, 30 Oktober 2014

Kehidupan manusia dimulai saat ia mulai mengenal pertemanan. Dan
kehidupan manusia diakhiri oleh... bukan kematian, tapi oleh perkawinan.
—Twitter, 30 Oktober 2014

Saat menikah, kita butuh saksi, butuh resepsi, butuh surat, butuh
pengakuan negara dan agama. Saat berteman, kita tidak butuh semua itu.
—Twitter, 30 Oktober 2014

Pertemanan tidak membutuhkan pengakuan negara, saksi, atau surat
apa pun. Itu jenis ikatan yang tak bisa ditandingi hubungan apa pun.
—Twitter, 30 Oktober 2014

Negaramu, agamamu, orangtuamu, tidak pernah mempersoalkan siapa
temanmu. Tapi siapa orang yang menikah denganmu... ya, mereka ikut campur.
—Twitter, 30 Oktober 2014

Nasihat mencari teman, “Carilah teman yang baik.” Cukup. Tapi nasihat
mencari pasangan, daftar dan syaratnya bisa panjang puluhan kilometer.
—Twitter, 30 Oktober 2014

Orangtuamu bisa memaksamu menikah dengan seseorang. Tapi mereka
atau siapa pun tidak bisa memaksamu berteman dengan seseorang.
—Twitter, 30 Oktober 2014

Lajang yang memiliki kebebasan sering merindukan ikatan, lalu kehilangan
teman. Mereka yang telah terikat merindukan teman dan kebebasan.
—Twitter, 30 Oktober 2014


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Minggu, 20 Desember 2015

Untuk Teman-teman di Dunia Nyata

Untuk teman-teman di dunia nyata, saya merasa perlu menulis hal ini untuk menjernihkan sesuatu yang mungkin sedang keruh. Ini berkaitan dengan pencalonan bupati kemarin.

Sejujurnya, saya memang kenal dengan salah satu calon bupati kemarin, kami bahkan telah saling kenal jauh-jauh hari. Tetapi, yang perlu saya katakan di sini, saya tidak punya keterkaitan apa pun dengan urusan pencalonan bupati. Jadi, kalau ada isu yang mengatakan saya "mendukung" salah satu calon, itu tidak benar.

Memang, sebelumnya, sempat ada rencana untuk memasukkan saya ke dalam tim. Tapi rencana itu kemudian batal, karena saya juga punya setumpuk kesibukan yang tidak bisa ditinggalkan. Jadi, seperti yang disebut tadi, saya sama sekali tidak punya keterkaitan atau keterlibatan apa pun dengan pencalonan bupati.

Karena itu, kalian tidak perlu merasa segan, atau tidak enak, atau semacamnya, karena sejujurnya saya bahkan tidak peduli urusan itu. Kita bisa tetap berteman seperti dulu, dan kalian tidak perlu merasa sungkan atau tidak enak hanya gara-gara urusan itu.

Kalian tahu siapa saya, dan kalian tahu saya mengatakan ini dengan jujur.

Senin, 14 Desember 2015

Seorang Wanita Menatap Suaminya

“Kalau kau ingin membaca cinta dan perkawinan,”
kata orang bijak, “bacalah dua buku yang berbeda.” 
Aku menuruti nasihatnya.
@noffret


Sebagai lajang, saya cukup sering menghadiri resepsi perkawinan sendirian. Umumnya, orang datang ke resepsi bersama pasangan, atau setidaknya dengan teman. Biasanya, saya memang datang ke resepsi bersama teman yang juga lajang. Namun, kadang pula saya harus datang ke resepsi sendirian, karena berbagai alasan dan kebetulan.

Seperti hari itu. Ada acara resepsi yang harus saya hadiri. Semula, saya mencoba mengontak beberapa teman, menanyakan apakah juga diundang. Kalau ya, setidaknya saya bisa datang bersama teman. Tapi rata-rata mereka tidak mendapat undangan. Saya masih mencoba menghubungi beberapa teman lain, siapa tahu ada yang mau diajak menemani. Tapi karena resepsi diadakan siang hari, dan bukan hari libur, rata-rata mereka tidak bisa menemani. Maka saya pun berangkat seorang diri.

Menghadiri resepsi perkawinan, bagi saya, tidak terlalu istimewa. Sejujurnya, dalam pikiran saya yang mungkin lugu, resepsi perkawinan hanyalah acara untuk menyatukan dua anak manusia yang bersepakat untuk hidup bersama. Mungkin istimewa bagi si pengantin. Tapi tidak istimewa bagi saya—wong saya cuma tamu yang datang ke resepsi mereka.

Siang itu, di acara resepsi, ritual perkawinan berlangsung sebagaimana biasa di tempat lain. Sepasang pengantin di pelaminan, acara demi acara berjalan, sementara tamu-tamu duduk di kursi sambil mengunyah makanan atau menyeruput minuman. Sebagian yang lain bergerombol di dekat meja prasmanan, antre mengambil makan.

Saya duduk di sebuah kursi, dan kebetulan di depan saya ada sepasang suami istri muda bersama anak mereka yang masih kecil. Si anak mungkin berusia 4 atau 5 tahun, seorang bocah laki-laki yang tampak lucu. Si suami sedang menyuapi si anak yang duduk di sampingnya. Sementara si istri duduk di samping suaminya, sambil menghabiskan es buah.

Semula, saya tertarik memperhatikan mereka, karena si anak yang lucu. Bocah itu memiliki tampang menggemaskan, hingga kita ingin mencubit pipinya. Jadi, selama bocah itu disuapi ayahnya, saya pun memperhatikan. Pada waktu itulah, tanpa sengaja saya menyaksikan sesuatu yang membuat terpaku. Wanita yang duduk di depan saya terlihat memandangi suaminya, yang sedang menyuapi anak mereka. Tatapan wanita itu sangat lembut—mungkin campuran antara kasih, kekaguman, cinta, dan rasa sayang.

Si suami tidak menyadari tatapan itu, karena sedang asyik menyuapi anak mereka. Tapi saya melihatnya. Di mata saya, itu tatapan terindah yang pernah saya saksikan. Dan tatapan wanita itu, entah mengapa, mengaduk-aduk batin saya.

....
....

Perkawinan, dalam pikiran saya selama ini, adalah konsep yang nyaris sampai di tubir jurang. Saya telah sampai pada titik “hampir tak percaya” pada perkawinan, hingga memutuskan untuk menjalani hidup sebagai lajang. Perkawinan adalah penjara yang merenggut kebebasan, rantai besar perbudakan, dan cinta adalah jebakan yang disiapkan alam untuk memerangkap sepasang manusia agar terjerat ke dalamnya.

Selama bertahun-tahun, saya menyaksikan banyak orang diam-diam menyesali perkawinan mereka. Sebagian sangat dekat dengan saya, hingga saya tahu betul masalah keluarganya, dan problematika macam apa yang mereka hadapi. Sebagai sesama lelaki, kadang mereka curhat masalah keluarga—khususnya ketika mereka tak kuat lagi menanggung seorang diri—dan rata-rata mereka menyatakan, “Wanita yang kunikahi sepertinya bukan lagi wanita yang dulu kucintai.”

Dalam biologi, ada pepatah kuno yang disembunyikan, berbunyi, “Wanita dilahirkan ke muka bumi untuk satu misi—mendapatkan suami.”

Jadi, mula-mula, yang diinginkan wanita hanya satu—seorang suami. Tetapi, setelah mendapatkan suami, wanita akan menginginkan apa pun di muka bumi. Yang mengerikan, kenyataan itu kadang tidak disadari oleh si wanita, dan kesadaran itu baru muncul setelah mereka mendapatkan suami! Yang lebih mengerikan, kebanyakan lelaki tidak tahu kenyataan ini!

Jadi, secara biologis, setiap wanita (yang masih gadis atau lajang) akan berusaha menggunakan seluruh daya dan upaya untuk mendapatkan pasangan (suami). Maka mereka pun berusaha menampilkan diri secantik mungkin dan sebaik mungkin. Tujuannya cuma satu—menarik lelaki yang diharapkan menjadi pasangan! Dan kenyataannya lelaki memang tertarik pada perempuan, apalagi yang tampak baik dan cantik.

Lalu alam menyediakan sarana yang disebut cinta, dan struktur sosial kita melembagakannya dalam konsep yang disebut perkawinan. Sampai di sini, segalanya masih terlihat indah. Tetapi...

Tetapi... setelah perkawinan terjadi... sering kali wanita akan mulai terlihat aslinya.

Dalam psikologi, ada pepatah terkenal, berbunyi, “Ketika menikah, lelaki tidak ingin berubah, dan berharap pasangannya juga tidak berubah. Sebaliknya, ketika menikah, wanita ingin berubah, dan berharap pasangannya juga berubah.” Dua konsep yang jelas bertentangan, dan itu sering kali benar-benar terjadi, hingga saya nyaris apatis pada perkawinan. Bagaimana mungkin ada perkawinan bahagia di dunia ini, jika perkawinan dibangun oleh sepasang manusia yang memiliki konsep bertolak belakang?

Ketika seorang lelaki memutuskan untuk menikah, sering kali karena kesadaran bahwa dirinya telah siap, stabil, dan mantap. Karenanya, mereka tidak ingin berubah kembali labil. Bagi lelaki, perkawinan adalah tujuan. Sebaliknya, wanita—disadari atau tidak—menganggap perkawinan lebih sebagai sarana. Memiliki istri, bagi lelaki, adalah pencapaian. Tetapi, bagi wanita, memiliki suami lebih semacam batu loncatan.

Mungkin uraian ini terdengar suram, tapi perhatikanlah sekelilingmu—teman-temanmu, sanak familimu, tetanggamu, atau siapa pun yang kalian kenal, yang sudah menikah. Atau buktikan sendiri setelah kelak kalian menikah. Bahwa ada perkawinan yang bahagia, itu fakta. Tetapi bahwa ada perkawinan yang tidak bahagia, itu juga fakta. Bahwa ada teman kita yang mensyukuri perkawinannya, itu fakta. Tetapi bahwa ada teman kita yang menyesali perkawinannya, itu juga fakta.

Siapa pun yang menyatakan bahwa orang pasti bahagia setelah menikah, hampir bisa dipastikan dia seorang pembual. Dalam konteks kebahagiaan dalam perkawinan, tidak pernah ada kepastian.

Ada teman saya—sebut saja Farrel—yang pacaran hingga empat tahun dengan seorang perempuan yang sangat baik. Kami semua yang mengenal pacar Farrel berani bersumpah bahwa dia benar-benar perempuan yang baik—tipe perempuan yang membuat lelaki mana pun ingin memilikinya. Dia sopan, ramah, lemah lembut, bersahaja, dan sangat mencintai serta penuh pengertian terhadap Farrel.

Ketika mereka pacaran, kami semua mendoakan Farrel dan pacarnya sampai ke altar perkawinan, dan kami memprediksi mereka akan menjadi pasangan yang serasi. Farrel lelaki yang baik, dan dia mendapatkan pasangan yang baik. Mereka pasti akan bahagia selama-lamanya.

Tapi apakah benar begitu? Tidak!

Mereka memang menikah. Tetapi, belum ada setahun, Farrel sudah stres dan frustrasi—sebegitu stres, hingga teman-temannya tahu semua yang dia alami. Perempuan yang menikah dengannya, yang dulu sangat baik, berubah menjadi perempuan yang “mengerikan”. (Saya tidak bisa menjelaskannya di sini, tapi yang jelas saya dan teman-teman tahu betul masalah yang dihadapi Farrel terkait istrinya).

Dan masalah seperti yang dihadapi Farrel tidak hanya terjadi satu dua kali—tapi dialami oleh hampir semua teman kami.

Ada teman kami yang dari luar tampak baik-baik saja, tapi kemudian curhat mengenai kesedihan dan penyesalannya karena menikah. Kebanyakan, mereka merasa “tertipu”—perempuan yang mereka nikahi tidak sama dengan perempuan yang dulu mereka pacari. Sosok indah yang dulu mereka cintai, entah bagaimana, berubah menjadi sosok berbeda yang nyaris tak mereka kenali. Dan perubahan yang terjadi, sayangnya, bukan dari baik menjadi lebih baik, tetapi dari baik menjadi buruk... bahkan kadang sangat buruk.

Apakah ini mengerikan? Jelas!

Kenyataan-kenyataan itu pun makin menyadarkan kami, khususnya saya, bahwa memang begitulah perempuan. Sebelum mendapatkan pasangan, perempuan akan melakukan apa pun—oh,well, apa pun—untuk mendapatkan pasangan. Karenanya, mereka bisa menyimpan rapat-rapat sosok aslinya di balik keindahan, menyembunyikan keburukannya di balik kecantikan, demi mendapat pasangan. Setelah pasangan didapat... sosok asli mereka pun keluar.

Masih ingat kisah Firman yang pernah saya ceritakan di sini? Dia menantang siapa pun, “Tunjukkan satu saja orang yang menikah dan hidupnya bahagia, maka aku akan menikah!” Sampai detik ini, belum ada satu orang pun yang berani menjawab tantangan Firman. Apakah itu mengerikan? Tidak perlu ditanyakan!

Rajaa Alsanea, wanita muda yang menjadi feminis di Saudi Arabia, menyatakan bahwa perkawinan tak jauh beda dengan tebak semangka. Bisa jadi kita mendapat semangka tanpa biji, bisa jadi pula semangka yang kita dapat penuh biji. “Semangka” yang dia maksud adalah pasangan dalam perkawinan. Kita tidak bisa yakin apakah pasangan kita baik atau buruk, dan sering kali kita baru mengetahui kenyataan itu setelah perkawinan terjadi. Sebagai lelaki, saya mengartikan “semangka” sebagai “wanita”.

Jadi, sebagai lelaki pula, saya nyaris kehilangan kepercayaan kepada wanita, dan kepada perkawinan. Saya selalu dihantui ketakutan; wanita yang kelak saya nikahi ternyata menyembunyikan keburukan dan kebrengsekannya, dan baru terlihat setelah kami menikah. Ketakutan itu dilatari karena banyaknya teman saya yang telah mengalami. Betapa perempuan-perempuan yang semula mirip bidadari bisa berubah menyerupai iblis setelah menikah. Itu mengerikan. Setidaknya bagi saya yang masih lajang.

Memang, di dunia ini ada wanita-wanita yang sungguh baik—sosok wanita yang menjadikan suaminya bersyukur karena telah menikahinya, sosok wanita yang mengubah kegelisahan menjadi ketenteraman, yang menjadikan rumah sederhana terasa tinggal di surga, yang menggantikan risau dan galau menjadi kelembutan rindu, yang membuatmu bahagia dan bersyukur sepanjang waktu... sosok seorang mbakyu.

Dan ketika menyaksikan wanita menatap suaminya dengan lembut dan penuh kasih di acara resepsi yang saya hadiri, diam-diam saya berharap, dan berdoa sepenuh hati, semoga wanita semacam itulah yang kelak akan saya miliki.

Senin, 14 Desember 2015

Percakapan atau Gorengan Bakwan?

Kalo ngomong sama orang, terus dia jawabnya pendek-pendek, datar,
gak pakai ramah, aku sering bingung gimana ngelanjutin ngomongnya.
—Twitter, 12 Juni 2015

Udah mau tidur, ya?
Nggak.
Lagi apa?
Nonton.
Nonton apa?
Film.
Film apa?
Drama.
O...
Iya.
Itu percakapan apa gorengan bakwan? Garing bener!
—Twitter, 14 Juni 2015

Percakapan adalah hasil kerja dua orang. Karena percakapan bukan
wawancara kerja yang tegang, juga bukan ujian pilihan ganda membingungkan.
—Twitter, 14 Juni 2015

Teman-temanku yang dulu bisa diajak ngobrol asyik sekarang udah pada
sibuk dengan keluarganya. Sekarang aku ngobrol dengan pecahan genteng.
—Twitter, 14 Juni 2015

Mending nggak ngomong sekalian, kalau dipikir-pikir, daripada mencoba
ngajak omong orang tapi malah jadi bingung karena nggak nyambung.
—Twitter, 14 Juni 2015

Aku pernah berteman dengan tutup botol kecap. Dan, kau tahu, kadang
aku berpikir dia lebih asyik dan lebih menyenangkan daripada orang.
—Twitter, 14 Juni 2015

Cewek diam, dan berharap cowoknya tahu yang dia maksud, dan dia percaya
bahwa cowoknya akan tahu yang dia maksud. Gimana sih cewek berpikir?
—Twitter, 14 Juni 2015

Cewek mau ngomong A, tapi pakai kode-kode rumit dari B sampai Z.
Dan dia berharap cowoknya tahu bahwa yang dimaksudnya cuma A. Itu gimana?
—Twitter, 14 Juni 2015

Cewek minta digandeng, tapi dia memintanya dengan cara jalan cepat-cepat.
Kenapa gak ngomong aja minta digandeng? Bukannya itu lebih mudah?
—Twitter, 14 Juni 2015

Cewek nggak ngomong apa-apa, tapi berharap cowoknya paham yang
diinginkannya. Ketika si cowok tidak paham, dia marah. Jadi siapa yang gila?
—Twitter, 14 Juni 2015

Kadang aku ingin ngomong, “Udahlah, kamu pengin apa, sebutin aja yang jelas.
Aku nggak akan paham kalau kamu ngomong pakai bahasa Godzilla.”
—Twitter, 14 Juni 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Senin, 14 Desember 2015

Titip Hatiku

Kepada engkau yang duduk sendiri di ruang kayu,
Ingin kutitip hatiku di bangku kosong sebelahmu.

Kamis, 10 Desember 2015

Karunia Kacang Rebus

Tiba-tiba ingin kacang rebus.
—Twitter, 7 Juli 2015

Dulu, aku sering menikmati kacang rebus sendirian di pantai. Sebungkus
demi sebungkus. Ketika pantai masih bersih dan layak dikunjungi.
—Twitter, 7 Juli 2015

Aku selalu senang setiap kali melihat penjual kacang rebus. Tapi sekarang
penjual kacang rebus semakin langka. Pelan-pelan menuju tiada.
—Twitter, 7 Juli 2015

Dibanding kacang kemasan yang banyak tersedia di mal, kacang rebus
dengan kantong kertas jauh lebih enak di lidahku. Memberi efek kedamaian.
—Twitter, 7 Juli 2015

Bagiku, membuka contong kertas kacang rebus seperti membuka selubung
rahasia yang kita tahu di dalamnya ada keindahan... dan kenikmatan.
—Twitter, 7 Juli 2015

Siapakah pencipta contong kertas kacang rebus? Dan siapakah penemu
kacang rebus? Siapa pun, seharusnya mereka mendapat Nobel Perdamaian.
—Twitter, 7 Juli 2015

Jika para penguasa dan pemimpin dunia mau duduk bersama
sambil menikmati kacang rebus, pasti Perang Dunia tidak pernah ada.
—Twitter, 7 Juli 2015

Banyaknya masalah dunia dan konflik umat manusia mungkin disebabkan
karena banyaknya orang yang tidak pernah menikmati kacang rebus.
—Twitter, 7 Juli 2015

Pol Pot, Stalin, Idi Amin, Adolf Hitler, dan para diktator lain, pasti
belum pernah makan kacang rebus. Menyedihkan sekali hidup mereka.
—Twitter, 7 Juli 2015

Seharusnya setiap manusia pernah makan kacang rebus, setidaknya
satu contong, sekali seumur hidup. Agar bisa mati dengan tenang.
—Twitter, 7 Juli 2015

Dalam bayanganku, manusia belum sempurna menjadi manusia jika belum
pernah makan kacang rebus. Meski aku tahu bayanganku mungkin keliru.
—Twitter, 7 Juli 2015

Kelak, jika aku punya mbakyu, aku ingin menikmati kacang rebus
bersamanya. Itu salah satu impian terindahku sebagai bocah.
—Twitter, 7 Juli 2015

Kacang rebus adalah makanan persembahan alam. Lalu manusia menemukan
cara mengolahnya. Kacang rebus adalah bukti manusia punya jiwa.
—Twitter, 7 Juli 2015

Jika aku ditanya apa yang membuatku bersyukur karena hidup di Bumi,
aku akan menjawab, “Salah satunya karena bisa makan kacang rebus.”
—Twitter, 7 Juli 2015

Hanya mereka yang pernah menikmati kacang rebus yang bisa menghayati
cara menjadi manusia. Kacang rebus adalah sentuhan magis alam semesta.
—Twitter, 7 Juli 2015

Aku percaya, kacang rebus adalah salah satu camilan surga.
Entah bagaimana, bibitnya jatuh ke dunia, dan ditemukan manusia.
—Twitter, 7 Juli 2015

Kelak, jika kau sampai di surga, pastikan di sana ada kacang rebus.
Kalau tidak ada, mungkin kau salah masuk.
—Twitter, 7 Juli 2015

Kacang rebus adalah keindahan terpendam, kenikmatan tak terlihat.
Terkubur dalam tanah, kotor, tapi manusia rela bersusah payah menggalinya.
—Twitter, 7 Juli 2015

Setiap butir kacang rebus memberi pelajaran bahwa yang penting bukan
di mana tempatmu dilahirkan, tetapi keindahan dan makna yang kausimpan.
—Twitter, 7 Juli 2015

Kacang rebus adalah makanan favorit pada bidadari, harta simpanan para peri,
suguhan yang seharusnya dibuat para mbakyu di Bumi.
—Twitter, 7 Juli 2015

Kalau kau apel ke rumah pacar, dan pacarmu menyuguhkan kacang rebus,
kau layak bersyukur karena menjadi salah satu lelaki yang beruntung.
—Twitter, 7 Juli 2015

Bersyukurlah siapa pun yang pernah menikmati kacang rebus. Beruntunglah
lelaki yang pacarnya bisa membuat dan menyuguhkan kacang rebus.
—Twitter, 7 Juli 2015

Aku percaya peradaban dibangun dari kacang rebus, dan umat manusia
dipersatukan butir-butir kacang rebus. Kalau saja mereka mau berpikir.
—Twitter, 7 Juli 2015

Di dunia ini, ada dua jenis manusia. Pertama adalah mereka yang menikmati
kacang rebus, dan kedua adalah mereka yang tidak tahu arti hidup.
—Twitter, 7 Juli 2015

Selama masih ada kacang rebus di dunia,
aku percaya masih ada kedamaian bagi umat manusia.
—Twitter, 7 Juli 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Kamis, 10 Desember 2015

Koi Tidak Kedinginan

Berabad-abad yang lalu, ketika banjir Nuh melanda, aku melihat Koi kedinginan. Dia bahkan hampir kehilangan hidup, saat tubuh diterpa gigil yang nyaris tak selesai. Lalu Koi menghangatkan diri di dekat kompor, dengan keprihatinan banyak orang, sementara aku mendengarkan sandiwara radio tengah malam.

Masa itu adalah abad kebahagiaan, bagiku, bahkan ketika banjir menggenang. Tidak setiap hari kau bisa menikmati sandiwara radio tengah malam, kau tahu, dan sandiwara itu sempat melenakan akalku dari bayangan Koi yang kedinginan. Tentu saja aku prihatin pada nasib Koi, karena dia kedinginan. Tidak seharusnya Koi kedinginan, apalagi hampir mati karena kedinginan.

Berabad-abad kemudian, saat banjir Nuh telah lama menjauh, Koi terus tumbuh. Dia masih Koi yang dulu, meski agak berbeda. Oh, well, dia bahkan menambahkan beberapa huruf pada namanya, agar benar-benar berbeda. Dan tak pernah lagi kedinginan. Kemarin aku sempat melihatnya, dan—tentu saja—dia tidak kedinginan. Koi sempat menengok, seperti biasa, seperti lama berselang.

Setelah waktu berabad-abad, Koi mungkin telah lupa bahwa dulu dia pernah kedinginan. Atau dia lupa bahwa aku pernah melihatnya kedinginan. Tetapi, sayang sungguh sayang, aku orang yang sulit lupa. Bahkan sampai kiamat kelak, aku akan masih ingat bahwa berabad-abad lalu Koi pernah kedinginan.

Kadang-kadang aku ingin merobek kepalaku, mengorek otakku, lalu membuangnya ke mana pun, agar sekali-sekali bisa lupa. Seperti Koi. Yang mungkin telah lupa pada gigil dan kedinginan.

Kamis, 10 Desember 2015

Noffret’s Note: Debat

Daripada kamu debat dengan orang gak jelas, dengan argumen gak jelas,
dan hasilnya cuma membuatmu tampak wagu, sini, debat saja sama aku.
—Twitter, 14 Juni 2015

Aku tidak suka berdebat, kecuali dengan orang yang dapat tertawa.
Orang-orang yang terlalu serius dan sulit tertawa sebaiknya diam saja.
—Twitter, 15 Juni 2015

Berdebatlah hanya dengan orang yang mampu merasa salah. Siapa pun
yang merasa dirinya pasti dan paling benar, sebaiknya tutup mulut saja.
—Twitter, 15 Juni 2015

Sebenarnya, aku tidak suka berdebat. Aku lebih suka menyimak
dan mendengarkan... dan, terkadang, cekikikan diam-diam.
—Twitter, 15 Juni 2015

Berdebat dengan sesama lelaki adalah perbuatan sia-sia.
Karena apa pun yang ingin kaukatakan... tetap saja, lelaki pasti salah!
—Twitter, 15 Juni 2015

Berdebat dengan wanita lebih sia-sia. Karena apa pun yang kita katakan,
meski dengan bukti tak terbantah, tetap saja... wanita selalu benar.
—Twitter, 15 Juni 2015

Tidak ada perdebatan yang baik. Satu-satunya perdebatan yang baik
diawali di bawah shower, dan diakhiri dengan ndusel. #IkiOpo
—Twitter, 15 Juni 2015

Kalau ada orang kurang kerjaan yang mengajakku berdebat,
mula-mula aku akan mengatakan, “Ya, kamu benar.”
—Twitter, 15 Juni 2015

Tahu kenapa orang berdebat?
Karena mereka tidak yakin dengan kebenarannya sendiri.
Mereka butuh lawan debat untuk meyakinkan diri sendiri.
—Twitter, 15 Juni 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Kamis, 10 Desember 2015

Kesimpulan Paling Mbuh Abad Ini

Mbuh.

Sabtu, 05 Desember 2015

Masalah Terbesar Sekolah

Di sekolah, aku punya beberapa guru yang menyenangkan.
Tapi banyak pula guruku yang membuat belajar
jadi membosankan, bahkan mengerikan.
@noffret


Roem Topatimasang menulis buku berjudul “Sekolah itu Candu”, sebuah kajian mendalam mengenai sekolah, yang sayangnya terkumpul dalam buku relatif tipis. Sementara Darmaningtyas secara rutin menulis pemikiran-pemikirannya di koran—mengenai berbagai masalah pendidikan dan sekolah—yang kemudian dibukukan dengan judul “Pendidikan Rusak-rusakan”. Jauh-jauh hari sebelum dua orang itu menulis bukunya masing-masing, Ivan Illich telah berteriak, “Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah!”.

Pikiran saya mengenai sekolah mungkin tidak semendalam Roem Topatimasang atau Darmaningtyas, apalagi serumit Ivan Illich. Sejujurnya, saya bahkan masih bingung apa sebenarnya tujuan sekolah.

Well, saya tidak tahu bagaimana kondisi atau sistem sekolah yang dijalankan saat ini. Tetapi, ketika sekolah dulu, saya harus menghadapi setumpuk mata pelajaran yang harus saya kuasai, dari bahasa Indonesia sampai bahasa Inggris, dari kesenian sampai matematika, dari fisika sampai olahraga, dari urusan Pancasila sampai pendidikan agama, dan lain-lain, dan lain-lain, dan lain-lain.

Mari saya ceritakan Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang saya jalani, karena SMP adalah masa paling menggelisahkan yang pernah saya alami dalam hidup. Di SMP, saya harus menghadapi puluhan mata pelajaran. Saya masih ingat, setiap malam harus melihat jadwal pelajaran, dan menyiapkan buku-buku untuk pelajaran yang akan saya hadapi besok pagi.

Setiap hari, ada sekitar 5-8 mata pelajaran berbeda yang harus saya lewati selama setengah hari di sekolah. Ada pelajaran sejarah, geografi, elektro, fisika, biologi, matematika, olah raga, bahasa Indonesia, bahasa daerah, bahasa Inggris, bahasa Arab, kesenian, hingga pelajaran agama yang meliputi tarih, tauhid, fiqih, hadist, nahwu, tajwid, shorof... oh, well, daftarnya masih panjang.

Saya beruntung, karena sejak kecil rajin belajar, dan suka membaca. Karenanya, cukup wajar jika saya mendapat nilai A untuk hampir semua mata pelajaran. Meski saya juga sering masuk kantor BP akibat berbagai kenakalan, tapi setidaknya guru-guru di SMP menilai saya sebagai murid yang rajin belajar. Tetapi... ada satu hal yang membuat saya tetap bingung sampai sekarang.

Di SMP, ada mata pelajaran olah raga, yang diampu seorang guru bernama—kita sebut saja—Mister X. Dia lelaki bertubuh tinggi besar, dengan mulut yang tak kalah besar. Saat mengikuti pelajaran olah raga, dan mendengar ucapan-ucapannya, saya kadang bingung apakah saya di sekolah atau di terminal. Mister X sangat suka mengeluarkan ucapan-ucapan kasar, ejekan, cemoohan, hinaan, yang semuanya ditujukan untuk murid-murid yang ia anggap “tidak becus”.

Jadi, ketika mengikuti pelajaran olah raga—yang biasanya dilakukan di lapangan—hampir bisa dipastikan saya akan mendengar ejekan, cemoohan, dan ucapan-ucapan merendahkan yang keluar dari mulut Mister X. Namanya pelajaran olah raga, tentu melibatkan fisik, semisal tolak peluru, lempar lembing, push up, sith up, squat jump, voli, dan lain-lain, hingga senam, renang, dan sepak bola. Karena banyaknya jenis olah raga yang harus dipelajari, tentu wajar jika ada murid yang mungkin kurang mampu melakukan satu jenis olah raga tertentu.

Nah, untuk setiap masalah semacam itu, Mister X akan mengeluarkan ucapan-ucapan berupa ejekan, cemoohan, hingga sikap merendahkan, yang semuanya benar-benar tidak bisa disebut mencerminkan seorang guru. Jadi, ketika ada murid yang tidak sempurna melakukan lempar lembing, misalnya, Mister X bukannya memberitahu, tapi mengejek. Ketika ada murid yang keliru saat melakukan senam, Mister X bukan menegur dengan halus, tapi mencemooh.

Dan dia menunjukkan ejekan, cemoohan, serta sikap merendahkan itu secara terang-terangan, sehingga semua murid yang ada di sana tahu siapa yang diejek, siapa yang dicemooh, siapa yang sedang direndahkan. Yang menjadi masalah, saya termasuk murid yang sering mendapatkan ejekan dan cemoohannya. Karenanya, setiap kali ada pelajaran olah raga, saya selalu prihatin. Hampir bisa dipastikan, saya akan menerima semprotan Mister X. Hampir bisa dipastikan, saya akan melakukan kesalahan, dan Mister X akan mengamuk, mengejek, membentak, mencemooh, dan merendahkan.

Mari kita flashback sejenak ke masa SD. Pada waktu saya sekolah di SD, juga ada pelajaran olah raga. Bedanya, guru olah raga di SD adalah sosok yang baik dan ramah. Ketika ada murid yang bingung melakukan sesuatu, dia akan memberitahu. Ketika ada murid yang salah saat melakukan sesuatu, dia akan menegur dengan halus. Tidak pernah ada ejekan, cemoohan, apalagi sikap merendahkan.

Pada waktu SD, saya tidak punya masalah dengan pelajaran olah raga, karena guru yang mengajar adalah sosok yang benar-benar guru. Bahkan, sampai saat ini, saya masih mencium tangannya ketika bertemu dengannya, karena saya masih menganggapnya sebagai guru—meski telah bertahun-tahun saya tidak lagi menjadi muridnya. Bagaimana pun, dia telah mengajarkan sesuatu kepada saya, dan seumur hidup saya akan tetap menganggapnya sebagai guru.

Hal itu bertolak belakang dengan masa SMP. Guru olah raga di SMP jauh berbeda dengan guru olah raga di SD. Seperti yang saya bilang tadi, Mister X—guru olah raga di SMP—mudah mengeluarkan ucapan merendahkan dan sikap menyakitkan setiap kali ada murid yang kebetulan melakukan kesalahan. Gara-gara itu pula, saya sering bolos sekolah, demi tidak menjalani pelajaran olah raga.

Sejujurnya, saya masih memendam amarah sampai hari ini setiap kali teringat Mister X, meski peristiwa itu telah terjadi bertahun-tahun lalu. Kadang, saya berpikir, sayang sekali waktu itu saya masih anak-anak, karena masih SMP. Jika peristiwa dengan Mister X terjadi sekarang, saya akan menantangnya, dan mungkin akan berkata seperti ini:

“Hei, pal, mari kuberitahu. Aku mendapatkan nilai A untuk hampir semua mata pelajaran di sekolah ini, dan ada jutaan idiot yang sangat berharap bisa sepertiku. Aku tidak punya masalah dengan pelajaran lain, dan aku juga tidak punya masalah dengan guru lain. Aku hanya bermasalah dengan pelajaran olah raga. Oh, well, sebenarnya, aku hanya bermasalah denganmu! Tahu kenapa?

“Karena kau mengajar tidak seperti seorang guru, tapi seperti orang tak berpendidikan. Kau berharap semua murid bisa melakukan semua jenis olah raga, dari sepak bola, senam, basket, voli, renang, tolak peluru, lempar lembing, sampai tolak bangsat dan lempar keparat. Cobalah pikir, masuk akalkah itu? Bahkan atlet paling hebat pun tidak akan bisa melakukan semua jenis olah raga secara sempurna! Mike Tyson hebat dalam tinju, tapi tidak ada jaminan dia pasti hebat main voli. Michael Jordan hebat saat main basket, tapi tidak ada jaminan dia hebat saat senam SKJ!

“Tapi kau menuntut setiap murid bisa sempurna melakukan semua jenis olah raga. Dan kau marah-marah, membentak, mencemooh, mengejek, serta merendahkan murid-murid yang kebetulan melakukan kesalahan saat olah raga. Cobalah pikir dengan akal sehat—kalau kau punya—logis dan masuk akalkah yang kaulakukan? Seperti yang kubilang tadi, aku mendapat nilai A untuk hampir semua mata pelajaran, tapi aku diejek, dihina, serta direndahkan hanya karena tidak bisa olah raga dengan benar. Pendidikan macam apa ini!”

Oh, well, pendidikan macam apa ini? Itulah yang saya pikirkan selama menjalani masa SMP. Saya tidak habis pikir, bagaimana anak-anak usia SMP harus bisa memahami begitu banyak pengetahuan, harus mampu menghafal begitu banyak pelajaran, bahkan harus menguasai begitu banyak jenis olah raga. Tentu saya bersyukur termasuk murid yang suka belajar, sehingga bisa dibilang cukup mampu melakukan hal itu. Tapi bagaimana dengan umumnya murid lain?

Sehebat dan secerdas apa pun, setiap manusia—setiap anak—tetap memiliki batas. Anak yang mungkin hebat dalam matematika, misalnya, belum tentu juga hebat dalam bahasa Indonesia. Anak yang sangat mengagumkan ketika berolah raga, belum tentu sama mengagumkan saat menjalani pelajaran kesenian. Itu hal wajar, sunnatullah, hukum alam, karena memang tidak ada manusia yang sempurna. Yang jadi masalah, sekolah menuntut setiap murid untuk sempurna!

Itulah masalah terbesar pendidikan di Indonesia. Sekolah menuntut semua murid untuk sempurna. Guru-guru menuntut setiap murid untuk sempurna. Dan para orangtua menuntut anak-anaknya untuk mendapat nilai sempurna!

Jadi, dalam perspektif saya, itulah masalah terbesar sekolah, khususnya di Indonesia, yakni menuntut setiap murid mendapatkan nilai tinggi dalam semua mata pelajaran, tanpa mengingat bahwa tidak ada manusia—termasuk murid sekolah—yang sempurna. Seperti yang saya alami. Dalam tataran umum, saya mungkin termasuk murid pintar, dengan bukti nilai A untuk hampir semua mata pelajaran. Tapi saya kurang mampu pada pelajaran olah raga. Dan hanya karena itu, oh sialan, saya harus mendapati cemoohan, ejekan, dan berbagai sikap serta ucapan merendahkan.

Itu tidak adil, eh?

Bagi saya, itu sangat tidak adil. Cobalah pikirkan fakta ini: Di sekolah, masing-masing guru mengajar pelajaran yang berbeda. Ada yang mengajar fisika, ada yang mengajar matematika, ada yang mengajar biologi, ada pula yang mengajar pelajaran agama, hingga pelajaran olah raga. Masing-masing guru menguasai pelajaran yang diajarkannya, dan itu tentu wajar. Yang tidak wajar adalah menuntut setiap murid bisa menguasai semua mata pelajaran yang diajarkan oleh semua guru! Bagaimana itu bisa dibilang adil?

Setiap manusia, setiap murid, memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, sebagaimana setiap guru juga memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kenapa para guru di sekolah tampaknya tidak bisa memahami hal itu? Kenapa para guru di sekolah menuntut semua murid harus memahami dan menguasai semua mata pelajaran yang ada, tanpa memikirkan bahwa setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan?

Menuntut setiap murid untuk menguasai semua mata pelajaran adalah ketidakadilan, jika tidak dibilang kemustahilan. Cobalah cari dan kumpulkan semua murid yang dianggap genius di negeri ini, dan pelajari dengan saksama; apakah mereka benar-benar sempurna dalam setiap mata pelajaran? Tanyakan pada mereka; apakah mereka benar-benar mampu seratus persen memahami dan menguasai setiap mata pelajaran? Saya berani bertaruh dalam hal ini—mereka akan menjawab, “Tidak!”

Sekarang pikirkan fakta ini: Jika mereka yang dianggap genius saja tidak bisa seratus persen memahami dan menguasai semua mata pelajaran, apalagi murid-murid yang bisa dibilang rata-rata? Jika mereka yang genius saja tidak bisa sempurna dalam setiap hal, apalagi murid-murid yang tergolong biasa? Karenanya, sistem pendidikan yang menuntut setiap murid untuk menguasai semua mata pelajaran adalah sistem yang jelas-jelas tidak adil.

Kelak, jika saya punya anak, dan suatu hari anak saya mengadu, “Ayah, aku mendapat nilai merah untuk matematika!”

Maka saya akan menjawab, “Tidak apa-apa, Nak. Mungkin kau lemah dalam matematika, tapi aku yakin kau punya kelebihan di pelajaran lain. Kau tidak perlu merisaukan kekuranganmu. Yang perlu kaulakukan adalah fokus pada kelebihanmu. Karena, sebagai orangtuamu, aku tidak pernah menuntutmu untuk sempurna. Aku hanya menginginkanmu menjadi yang terbaik. Terbaik pada sesuatu yang kau kuasai, terbaik pada yang kauyakini, terbaik pada yang kaujalani. Kau tidak perlu sempurna, Nak, karena memang tidak ada manusia yang sempurna. Kau hanya perlu menjadi yang terbaik, pada apa pun yang kaupilih. Kau hanya perlu menjadi dirimu sendiri yang terbaik.”

“Tapi, Ayah, guru-guru di sekolahku tidak berpikir seperti itu...”

“Kalau begitu, Nak, persetan dengan sekolahmu!”

Sabtu, 05 Desember 2015

Dua Bocah dan Mbakyu

Saya berkata pada seorang bocah, “Aku sering berpikir, mbakyuku adalah keindahan alam semesta.”

Dia menjawab, “Sepertinya kita punya pikiran yang sama. Aku juga sering berpikir mbakyuku adalah karunia dari surga.”

Sejak itu, kami pun berteman.

....
....

Belakangan kami tahu, kami sama-sama tidak punya mbakyu.

Sabtu, 05 Desember 2015

Dil

Dil,
Hari itu biru
Biru... sungguh biru
Aku kaku, kelu

Dil,
Kau tak tahu
Ataukah kau,
Pura-pura tak tahu?
Aku tahu
Tahu kamu

Dil,
Aku kacau
Aku juga tahu
Kau kacau
Apa dayaku?
Aku tak tahu
Tak tahu menahu

Dil,
Aku rindu
Padamu
Padamu negeri
Kuberikan hati
Jiwa raga ini

Dil
Dil
Dil, larang memetik bunga
Bunga negeriku
 
Selasa, 01 Desember 2015

Bayang-bayang Kasih

Pada rindu, pada waktu.
Ada yang tak pernah selesai di hatiku.
@noffret


Keluar dari kantor pos, seketika kulit saya merasakan sengatan matahari. Siang itu sangat terik. Jadi, saya pun menuju ke tempat penjual es kelapa muda yang ada di samping kantor pos. Jam di tangan menunjukkan hampir pukul 13:00.

Duduk di bangku penjual es, dan merasakan minuman dingin mengalir ke kerongkongan, rasanya sangat menyegarkan. Apalagi di terik siang semacam itu. Hampir seketika saya menghabiskan es dalam gelas, dan merasakan tubuh yang segar, lalu mengeluarkan bungkus rokok. Saat menyulut rokok, terlihat anak-anak berseragam keluar berjubel dari sebuah sekolah, dan tiba-tiba dada saya berdesir.

Lalu saya ingat... bertahun lalu, saya pernah menjemput pacar dari sekolah itu, saat dia menjalani PPL. Dulu, setiap hari, saya mengantarkannya ke sekolah itu, dan menjemputnya saat pulang... menyaksikan senyumnya yang selalu cemerlang... merasakan kedekatan bersamanya yang meninggalkan debar keindahan.

....
....

PPL (Praktik Pengalaman Lapangan) adalah fase dalam pendidikan di kampus kami, yang harus dilalui sebelum menjalani KKN (Kuliah Kerja Nyata). Biasanya, PPL dan KKN dilakukan dalam satu semester, setelah mahasiswa menyelesaikan semua teori mata kuliah. PPL yang dijalani pacar saya adalah praktik mengajar di sebuah SMP yang telah ditentukan oleh pihak kampus.

Ketika pacar saya mulai PPL, saya sudah drop out dari kampus. Tetapi, sebagai pacar, saya pun memiliki kewajiban untuk mengantar dan menjemputnya selama PPL berlangsung. Jadi, selama waktu-waktu itu, setiap pagi saya menjemputnya, lalu mengantarkan ke sekolah tempat dia praktik mengajar. Siang hari, saya kembali menjemput ke sekolah untuk mengantarnya pulang.

Karena saya sering tidur larut malam, saya pun berpesan pada pacar agar dia membangunkan setiap pagi, agar tidak terlambat mengantarkan. Pacar pun selalu rutin membangunkan saya—biasanya jam enam pagi—dengan menelepon ke ponsel. Lalu saya terbangun, dan menerima teleponnya, dan mendengar dia berkata, “Udah bangun?”

Selama waktu-waktu itu, rutinitas pagi saya adalah cuci muka, bikin kopi, lalu merokok sambil memanaskan mesin. Setelah rokok habis, saya berangkat ke rumah pacar, untuk mengantarkannya ke sekolah tempat mengajar. Jika tidak ada halangan, acara pagi itu dapat berjalan lancar, dan pacar saya pun tidak terlambat. Setelah menurunkannya di sana, biasanya saya memandangi sejenak dari belakang, lalu pulang.

Siang hari, seusai mengajar, pacar akan kembali menelepon, dan biasanya saya sudah stand by di depan sekolah beberapa menit sebelum dia muncul dari dalam sekolah. Biasanya pula, saya akan langsung mengenali meski jaraknya masih jauh. Dia mudah terlihat, mudah dikenali, dan saya tak pernah bosan memandanginya. Saat jarak kami telah dekat, dia akan tersenyum, dan diam-diam saya jatuh cinta kepadanya sekali lagi, sekali lagi, sekali lagi....
 
Lalu saya mengantarkannya pulang. Kalau kebetulan saya sedang tidak sibuk, kami akan keluar lagi setelah dia berganti pakaian. Tapi sering kali saya sibuk, jadi acara kencan kami bisa dibilang sangat minim. Kadang-kadang, saat kami telah sampai di rumahnya, dia akan berdiri melepas kepergian saya, dan saya melihat tatapannya. Saya tahu, dia menginginkan lebih banyak kebersamaan, lebih banyak pertemuan, tapi saya terus sibuk dan jarang punya waktu luang.

Saya memahami, saya bukan pacar yang baik. Ada banyak malam Minggu yang saya lewati tanpa datang menemuinya, ada banyak akhir pekan yang saya lalui tanpa kebersamaan dengannya. Kadang-kadang, saya menyadari bahwa dia mungkin kecewa, tapi selama waktu-waktu itu dia hanya diam, mungkin karena memahami kesibukan saya, mungkin pula karena dia tidak suka meminta.

Masa-masa PPL bisa dibilang masa-masa yang sangat mendekatkan kami, karena selama waktu-waktu itu kami selalu bertemu, setiap pagi, setiap siang. Tapi pertemuan itu pun bukan pertemuan intens, karena kami hanya bersama dalam waktu sesaat. Pagi hari, saya datang mengantarkannya ke sekolah, dan pertemuan itu hanya beberapa menit. Lalu siang hari saya menjemputnya dari sekolah, dan lagi-lagi pertemuan itu hanya beberapa menit.

Bagi saya, menit-menit itu sangat indah, dan kesan serta kenangan yang ditimbulkannya tak pernah hilang. Itu menjadi saat-saat termanis yang pernah saya jalani, saat mencintai dan dicintai seseorang yang begitu indah.

Setiap pagi, kami telah berangkat dari rumahnya pukul 06:30, sehingga dia sampai di sekolah tanpa terlambat. Tetapi, karena suatu hal, kadang-kadang jadwal itu meleset—saya baru sampai di rumahnya saat hampir pukul 07:00. Akibatnya, saat melaju ke sekolah, kami harus terjebak dalam kemacetan yang biasa muncul di pagi hari, saat anak-anak sekolah mulai menguasai jalan raya. Dia pun terlambat masuk sekolah beberapa menit, dan itu akan berpengaruh pada nilai yang kelak didapatkannya dalam PPL.

Keterlambatan itu kadang membuatnya jengkel. Dan saya akan tahu dia jengkel dari ekspresi wajahnya yang tidak semanis biasa. Saat saya datang menjemput di pagi hari, dan agak terlambat, dia tidak tersenyum. Selama perjalanan ke sekolah, dia juga tidak ngomong apa-apa. Biasanya, untuk mengisi suasana kaku, saya akan bersenandung lagu Peterpan, “Tak bisakah kau menungguku, hingga nanti tetap menunggu...”

Biasanya dia tidak tahan untuk tidak tertawa, lalu mencubit pinggang saya, dan saya ikut tertawa. Beberapa kali peristiwa lucu semacam itu terjadi. Lalu dia mengingatkan dengan manis, “Tolong besok jangan terlambat lagi, ya.”

Sampai suatu hari, sebuah bencana terjadi.

Waktu itu saya benar-benar sangat sibuk sekaligus stres. Saya baru tidur jam lima pagi, dengan tubuh dan pikiran yang luar biasa lelah. Seperti hari-hari sebelumnya, pacar saya menelepon jam enam pagi. Saya sempat terbagun setelah ponsel berdering-dering lama, dan menerima panggilan itu. Pacar saya pun lega, karena akhirnya saya terbangun. Tapi karena sangat kelelahan, tanpa sadar saya kembali tertidur. Mungkin satu jam saya kembali tertidur, sampai kemudian ponsel kembali berdering-dering. Saya kembali terbangun, dan mendengar suara pacar, “Kok belum sampai sini?”

Saat saya menjawab dengan suara mengantuk, dia pun langsung tahu kalau tadi saya tertidur lagi. Seketika saya sadar telah melakukan “kesalahan besar”. Waktu itu sudah hampir pukul 07:00. Dengan tubuh yang masih letih, buru-buru saya lari ke kamar mandi, cuci muka, lalu pergi ke rumahnya. Sial, pagi itu jalanan sangat macet, dan saya harus merayap di tengah kemacetan, sementara ponsel terus berdering-dering. Saya tahu pacar saya pasti gelisah.

Saat sampai di rumahnya, jam telah menunjukkan pukul 07:20. Seperti yang sudah saya duga, dia tidak tersenyum, karena hari itu dia terlambat sangat lama. Pacar saya yang biasanya tampak cantik, pagi itu tampak murka. Saat dalam perjalanan, kami kembali dalam suasana kaku. Dia hanya diam, tidak menyahut saat disapa atau ditanya. Bahkan, saat saya menyanyi lagu Peterpan, dia juga tidak tertawa. Atau mungkin ingin tertawa tapi mati-matian ditahan.

Saat kami sampai di depan sekolah, pintu gerbang telah ditutup. Dia langsung turun, meninggalkan saya tanpa pamit. Saya memandanginya dari belakang, dan dia terlihat berbicara dengan satpam sekolah, lalu diizinkan masuk. Saya pun pulang, dan kembali tidur.

Siang hari, seperti biasa, dia menelepon untuk mengabarkan sudah pulang, dan itu artinya saya harus menjemputnya ke sekolah. Tetapi, tidak seperti hari-hari sebelumnya, siang itu dia tidak bicara apa-apa. Begitu saya terima teleponnya, dia langsung menutup telepon. Saya pun paham, dan pergi menjemputnya ke sekolah.

Di depan sekolah, saya melihat dia melangkah ke arah saya. Tidak tersenyum seperti biasa. Wajahnya kaku. Saya tahu dia pasti marah. Karena tadi pagi dia terlambat masuk, karena saya tertidur lagi setelah dibangunkan.

“Sori, tadi pagi terlambat,” ujar saya saat dia sampai.

Dia tidak menjawab, hanya diam. Lalu, seperti sepasang robot, kami melaju pulang ke rumahnya. Kami hanya diam selama dalam perjalanan. Saat sampai, dia langsung masuk rumah tanpa bicara apa-apa.

Sampai dua hari dia bertingkah seperti itu, dan selama waktu-waktu itu saya tidak tahu bagaimana cara membuka percakapan dengannya. Akhirnya, saat kebetulan akhir pekan, saya pun menawari, “Besok mau keluar?”

Dia mengangguk.

Besoknya, pas hari Minggu, kami menikmati kebersamaan seharian, dan dia mulai mencair kembali, dan kami bisa berkomunikasi sebagaimana mestinya sepasang pacar. Kami bergandengan, bergenggaman tangan, dan saya merasakan getar yang selalu saya rasakan setiap kali bersentuhan dengannya. Saya tahu, itulah cinta. Saya tahu, itulah getar, debar, suatu perasaan yang hanya terasa ketika bersentuhan dengan seseorang yang membuat jatuh cinta... sebentuk getar dan debar yang tak bisa saya temukan pada orang lain.

....
....

Siang itu, saat menghabiskan es di pinggir jalan, dan mengisap rokok yang tinggal separuh, saya kembali teringat masa-masa itu. Bukan hanya teringat pada bayang-bayang kenangan yang saya lalui, tapi juga teringat pada getar yang pernah saya miliki, saat berdekatan dan bersentuhan dengan orang yang saya cintai. Bahkan saat melihatnya saja, saya telah merasakan debar itu, getar itu, perasaan itu....

Saya bertanya-tanya dalam hati, mungkinkah perasaan semacam itu akan terulang kembali? Mungkinkah, entah di suatu hari kelak, saya akan menemukan seseorang yang mampu membuat saya merasakan hal itu? Mungkinkah saya bisa kembali merasakan debar saat melihat seseorang yang membuat jatuh cinta? Mungkinkah saya akan bisa kembali merasakan getar-geletar-tipis-halus-indah seperti yang pernah saya rasakan dulu?

Saya tidak tahu.

Dan bayang-bayang kasih dari masa lalu perlahan memudar, di tengah kemacetan jalanan berdebu.

Selasa, 01 Desember 2015

Deddy Dores Mungkin Wali

Seorang bocah berkata, “Setiap kali mendengarkan suara Deddy Dores menyanyi, hatiku terasa adem.”

“Hmm... begitu, ya?” saya menggumam, karena tidak tahu yang harus dikatakan untuk menanggapi pernyataan tadi.

“Jadi, bagaimana menurutmu?”

“Bagaimana menurutku apanya?”

“Itu... soal hatiku yang adem setiap mendengar suara Deddy Dores.”

Saya memikirkan sesaat, kemudian menyahut, “Well, menurutku, Deddy Dores mungkin wali.”

....
....

Sejak itu, dia merasa hatinya semakin adem setiap kali mendengar Deddy Dores menyanyi.

Selasa, 01 Desember 2015

Dulu Pernah Nulis Catatan Berjudul Olah, dan Sekarang Ingin Nulis Catatan Lagi Berjudul Olah

Iya.

Soalnya olah.

Oh, oh.

Selasa, 01 Desember 2015

Rangu Sudah Memutih

Rangu sudah memutih, itu yang kulihat beberapa hari lalu saat duduk di bawah langit yang memucat. Sepucat Rangu yang memutih. Padahal sejak dulu Rangu sudah memutih, setidaknya itu yang kuingat, namun mungkin dulu tak terlalu tampak karena dia sibuk gulat. Rangu pernah mengatakan bahwa udara berbeda, suatu hari, dan suatu hari lain dia asyik bergulat—atau sesuatu yang menyerupai itu.

Bertahun-tahun kemudian, aku melihat Rangu sudah memutih, tapi aku tak tahu apakah dia masih suka gulat. Aku juga tidak tahu apakah dia masih suka bicara tentang udara yang berbeda. Yang jelas, Rangu sudah memutih.

Senin, 23 November 2015

Kejahatan Paling Menjijikkan

Neraka terdalam dan paling dasar disediakan untuk
orang-orang munafik. Sangat pantas! Karena munafik
adalah iblis yang berpura-pura baik.
@noffret 


Jam dinding telah menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Tapi kami masih asyik bercakap-cakap—di dekat perapian, sambil menghirup teh panas yang wangi. Kami sedang membicarakan moralitas, dan saya mendengarkannya dengan khusyuk seperti dalam kelas. Orang-orang menyebut dia “bajingan yang beradab”. Sementara saya menganggapnya sebagai guru, mengingat pengetahuan dan pengalamannya yang sangat luas.

Dini hari itu kami membahas Sartre, Spinoza, Iqbal, Huxley, sampai Nietzcshe dan Marx. Dia orang tua yang menyenangkan, dan—seperti yang dikatakan orang-orang—dia juga sangat beradab. Meski usianya jauh lebih tua, tapi dia memperlakukan saya dengan hormat.

Setelah dia mengisap pipa dan terdiam cukup lama, saya memberanikan diri bertanya, “Sir, maafkan saya. Kalau—sekali lagi, kalau—Anda mengetahui istri Anda berselingkuh, landasan moral apa yang akan Anda gunakan, dan apa yang akan Anda lakukan?”

Dia tersenyum seperti biasa, saat dihadapkan pertanyaan sulit, kemudian berkata perlahan-lahan, “Maka aku akan melakukan yang harus kulakukan, Nak.”

“Yaitu?”

“Mula-mula, aku akan memastikan istriku benar-benar berselingkuh. Karena dia berselingkuh, artinya dia melanggar dasar moral perkawinan. Karena kami menikah dengan diketahui orang banyak, maka begitu pula perselingkuhannya. Aku akan mengumpulkan orang-orang, dan kami akan menangkapnya saat berselingkuh, agar orang-orang tahu bahwa dia telah mengkhianati perkawinan kami.”

“Anda ingin istri Anda malu karena perbuatannya?”

“Benar,” dia menjawab. “Setelah itu, aku akan melaporkan perbuatannya kepada pihak berwenang, dengan tuduhan perzinahan, perselingkuhan, atau apa pun, dan aku akan memastikan dia serta selingkuhannya masuk penjara, untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka.”

Saya mengangguk. “Setelah mereka selesai menjalani hukuman, Sir, apakah Anda akan memaafkan mereka?”

Dia menjawab dengan muka berkerut, “Kau tidak ingin mendengar jawabannya.”

Hening.

Suara detak jarum jam di dinding terdengar nyaring.

Setelah mengisap pipa sesaat, dia kembali berkata, masih dengan muka berkerut, “Apa yang lebih kejam dari pengkhianatan, Nak? Kau mempercayai seseorang yang kauyakini bisa dipercaya, tapi diam-diam menertawakanmu di belakang. Kau berbaik sangka pada seseorang, tapi dia melukaimu dari belakang. Kau mengulurkan kebaikan kepadanya, dan dia membalasnya dengan kebusukan di belakang. Kau menjaga nama baiknya, dan dia merusak namamu di belakang. Apa yang lebih kejam dari itu? Menggunakan standar moral apa pun, pengkhianatan adalah perbuatan yang paling menjijikkan.”

Saya terdiam, mendengarkan.

Dia kembali mengisap pipanya, lalu bertanya, “Kau tahu konsep Omerta?”

Saya menyahut, “Hukum tutup mulut di dunia mafia.”

“Benar.” Dia mengangguk. “Para mafia—sebajingan apa pun mereka—menyadari bahwa pengkhianatan adalah dosa tak terampuni. Karenanya, mereka lebih memilih mati daripada membuka mulut dan mengkhianati teman sendiri. Jika mereka mati demi menjaga keselamatan temannya, keluarga mereka akan dijaga dan diayomi. Sebaliknya, siapa pun yang melanggar sumpah Omerta, dan diketahui berkhianat, maka seluruh keluarganya akan dihabisi. Bahkan bagi para mafia yang jelas bajingan, pengkhianatan adalah kejahatan paling menjijikkan.”

Kembali dia mengisap pipa, diam sejenak, lalu berkata perlahan, “Jauh lebih baik kau menikam seseorang dari depan, Nak, daripada menusuk dari belakang.”

....
....

Saya tidak pernah melupakan kalimat terakhir itu.

Kamis, 19 November 2015

Catatan Orang Tidak Terkenal

“Selebriti,” katanya, “adalah orang yang mati-matian ingin terkenal,
lalu ke mana-mana memakai kacamata hitam demi tidak dikenali.”
@noffret 


Suatu siang, di Bandung, Ariel sedang istirahat sendirian di ruang tamu rumahnya yang sepi. Seorang pengamen mampir ke depan rumahnya, dan menyanyikan lagu “Mimpi yang Sempurna” dengan genjrengan gitar.

Waktu itu, group band Peterpan baru mengeluarkan album pertama, setelah mereka sukses merilis single “Sahabat”. Waktu itu pula, nama band Peterpan sudah mulai terkenal, tapi para personilnya belum dikenal banyak orang. Meski orang-orang telah mulai familier dengan lagu-lagu Peterpan, tapi belum banyak yang hafal wajah vokalisnya. Termasuk pengamen yang datang ke rumah Ariel siang itu.

Sambil menahan senyum, Ariel keluar rumah, dan menyerahkan uang kepada si pengamen. Si pengamen menerima uang itu, mengangguk, dan berkata, “Nuhun, Sep.” Lalu beranjak pergi meninggalkan Ariel yang senyum-senyum sendiri. Pengamen itu sama sekali tidak menyadari bahwa lagu yang dinyanyikannya adalah ciptaan orang yang barusan memberikan uang kepadanya.

Bertahun-tahun kemudian, saat mengenang peristiwa itu, Ariel menyatakan, “Aku mencintai masa-masa itu, ketika belum banyak orang yang mengenalku.”

Sekarang, dia tidak lagi memiliki “kemewahan” semacam itu, karena bisa dibilang seluruh Indonesia mengenalnya. Dia tidak lagi memiliki kebebasan seperti yang semula dimilikinya, hingga tidak bisa bebas keluyuran atau jalan-jalan tanpa gangguan. Bahkan, ketika Sophia Latjuba mengajaknya ke swalayan, Ariel harus ditemani satpam swalayan yang mengawal.

....
....

Mungkin, karena tidak menyadari dampak yang akan terjadi bila terkenal, banyak orang yang mati-matian ingin terkenal. Yang ada dalam pikiran mereka, rata-rata, menjadi terkenal akan memungkinkan mereka masuk koran, muncul di televisi, nongol di majalah, diberitakan di mana-mana, dipuja dan dibicarakan banyak orang, lalu kaya-raya, dan dunia ada di telapak tangan.

Mungkin memang begitu. Tetapi... tidak hanya itu. Popularitas atau keterkenalan juga akan memunculkan beban, kerangkeng yang membatasi kebebasan.

Dua tahun lalu, saya masuk ke sebuah warung makan sederhana. Dengan santai, saya melenggang sendirian, lalu menuju ke tempat yang kosong. Hanya ada satu orang di sana. Saat akan duduk, saya baru menyadari bahwa lelaki yang duduk sendirian itu seseorang yang saya kenal. Semula, dia tampak memalingkan wajah, hingga saya tidak langsung mengenali. Tapi begitu saya duduk di depannya, mau tak mau dia menghadapkan muka ke arah saya.

Jadi, sebagaimana kepada orang lain yang saya kenal, saya pun menyapanya. Dan dia menyahut sapaan dengan kaku. Kemudian, tanpa saya minta, dia menjelaskan bahwa dia masuk warung itu karena sangat menyukai masakan yang ada di sana, bahwa sejak dulu dia sering makan di warung itu, dan lain-lain, dan sebagainya. Intinya, dia tampak merasa bersalah, hanya karena saya memergokinya ada di warung tersebut.

Sesaat, saya sempat kebingungan dengan penjelasannya yang bertubi-tubi. Dari ekspresi wajahnya, saya bisa memahami dia merasa bersalah. Tapi merasa bersalah untuk apa? Waktu itu kami ada di warung makan yang menyediakan makanan dan minuman halal, dan kami tentu sama-sama makan di sana dengan membayar. Kenapa dia harus merasa bersalah, hanya karena kami bertemu di warung itu?

Setelah kami bercakap beberapa saat, pelan-pelan saya mulai menyadari ketololan saya. Dia merasa bersalah karena ketemu saya di warung itu, bukan karena apa pun... tapi karena dia orang terkenal!

Karena sudah mengenalnya cukup lama, saya kadang lupa kalau dia sangat terkenal. Bocah itu biasa muncul di mana-mana, diberitakan di banyak media dengan segala macam aktivitasnya. Dan karena keterkenalannya pula, dia jadi merasa bersalah hanya karena ketemu saya di warung makan sederhana. Bisakah kalian memahami yang saya maksudkan?

Dulu, sebelum terkenal, dia bisa masuk warung mana pun dengan bebas, dan orang tidak terlalu menghiraukan. Tapi ketika telah terkenal, dia harus jaga image—berusaha menyesuaikan diri dengan keterkenalannya—termasuk dalam hal makan di tempat yang tepat. “Sialnya”, dia sangat menyukai masakan di warung sederhana itu, jadi terpaksa datang ke sana, dan berpakaian sederhana, mungkin dengan maksud menyamarkan identitas. Mungkin dia berharap tidak ada orang yang mengenali. Sial baginya, siang itu saya kebetulan memergoki.

Padahal, bagi saya pribadi, sama sekali bukan masalah kalau dia mau makan di tempat mana pun. Wong umpama saya kebetulan memergokinya makan di angkringan, ya tidak masalah, saya tidak akan meributkannya. Tapi sebagai orang terkenal, dia terlalu “sadar diri”. Karena terlalu sadar diri itu pulalah yang mungkin menjadikannya merasa perlu memberi penjelasan macam-macam kepada saya, tentang kenapa dia sampai masuk warung itu.

Malang sekali nasib orang terkenal, pikir saya saat dia telah pergi. Hanya untuk makan di warung favorit saja, harus susah payah menyamarkan identitas demi tidak dikenali. Siang itu, sambil merokok sendirian seusai makan, tiba-tiba saya merasa hebat karena tidak terkenal. Oh, well, saya bisa masuk warung mana pun, bisa makan di mana pun, tanpa khawatir dikenali orang lain. Karena kenyataannya memang tidak ada yang mengenal saya!

Dulu, ketika penyair WS. Rendra masih hidup, Iwan Fals pernah berkata pada Rendra, “Aku ingin sekali bisa sepertimu. Orang-orang mengenal namamu, tapi kau bisa keluyuran ke mana-mana tanpa terganggu.”

Sebagai “bocah urakan”, Rendra suka keluyuran ke mana-mana, menikmati hidup dengan bebas, meski namanya sangat terkenal. Dia memiliki jenis popularitas yang unik—sebentuk popularitas yang tidak membelenggu kebebasan. Meski jutaan orang mengenal namanya, tapi Rendra bisa ke mana-mana tanpa beban, tanpa terganggu atau terusik apa pun.

Iwan Fals tidak memiliki hal semacam itu. Kemana pun pergi, Iwan Fals akan mengundang perhatian banyak orang—para penggemar yang minta tanda tangan, orang-orang yang ingin foto bersama, sampai reporter kurang kerjaan yang memburu berita untuk infotainment. Artinya, Iwan Fals tidak bisa bebas keluyuran tanpa terganggu seperti Rendra. Karenanya, dia pun dengan jujur mengatakan kepada penyair legendaris itu, “Aku ingin sekali bisa sepertimu.”

....
....

Kita mungkin tidak pernah membayangkan beban macam apa yang dihadapi orang-orang terkenal. Padahal keterkenalan atau popularitas tidak diperoleh secara gratis. Ia memiliki harga yang harus ditebus—dari kemampuan berkarya, sempitnya privasi, sampai hilangnya kebebasan.

Dalam hal popularitas, tokoh idola saya adalah Samuel Newhouse Jr., seorang bocah yang tinggal di Manhattan, New York. Omong-omong, ada yang pernah mengenal namanya? Tidak? Well, tidak mengherankan, karena dia memang tidak terkenal. Tapi orang tidak terkenal itu menjadi “panutan” saya dalam hal popularitas.

Dunia pasti mengenal majalah Vogue, Glamour, atau Vanity Vair. Kalian juga pasti mengenalnya, karena majalah-majalah itu sangat terkenal. Nah, Samuel Newhouse adalah pemilik majalah-majalah tersebut!

Samuel Newhouse Jr. adalah pemimpin Condé Nast Publications, salah satu penerbit media massa kelas atas di Amerika. Condé Nast Publications menerbitkan beragam majalah, di antaranya Vogue, The New Yorker, Architectural Digest, Glamour, Vanity Fair, Gourmet, GQ, hingga Condé Nast Traveler. Total media (surat kabar dan majalah) yang diterbitkan Condé Nast Publications lebih dari 100 buah, dan tersebar di 26 negara.

Karena majalah-majalah terbitan Condé Nast Publications ditujukan untuk kalangan atas, majalah-majalah itu pun dicetak luks, dengan tampilan eksklusif, halaman-halamannya menggunakan kertas glossy, berisi foto-foto mewah beresolusi tinggi. Condé Nast Publications juga mempekerjakan ratusan orang—reporter, penulis, fotografer—yang semuanya berpenampilan rapi bahkan mewah, karena biasa menemui tokoh-tokoh kalangan atas, dari para selebritas sampai politisi.

Tetapi, semua itu justru berkebalikan dengan Samuel Newhouse Jr., sosok yang memiliki perusahaan penerbitan tersebut. Berbeda dengan majalah-majalah terbitannya yang glamor dan mewah, Samuel Newhouse justru bocah pendiam, dan biasa berpenampilan sederhana—sangat jauh dari kesan bahwa dia sosok miliuner yang memiliki industri penerbitan majalah-majalah kelas atas.

Orang asing yang bertemu atau melihatnya, atau bahkan sempat bercakap-cakap dengannya, sering tidak menyadari bahwa dia adalah pemilik majalah-majalah yang dibaca jutaan orang di dunia. Lebih dari itu, Samuel Newhouse memang menjauhi publisitas dirinya, dan tidak suka menjadi pusat perhatian. Di Manhattan, New York, dia sering jalan-jalan sendirian, seperti orang kebanyakan, dan nyaris tidak ada orang yang tahu siapa dirinya.

Tidak jarang, dia membeli popcorn di pinggir jalan, lalu duduk santai di bangku taman, sambil menikmati popcorn dalam contong. Orang-orang berlalu lalang di sekelilingnya, dan tidak menghiraukan. Kadang-kadang, Samuel Newhouse juga mendapati beberapa orang tengah memegang atau membaca majalah terbitan perusahaannya, dan diam-diam tersenyum sendiri.

Sehari-hari, Samuel Newhouse datang ke kantornya untuk bekerja, dan dia biasa terlihat mengenakan kemeja tua, dan celana agak lusuh—jauh beda dengan para karyawannya yang justru tampil mewah. Penampilannya tenang dan seperti orang polos yang tidak tahu apa-apa. Anna Wintour, pemimpin redaksi majalah Vogue edisi Amerika, mengomentari gaya bosnya sebagai “bentuk unik dari gaya”. Tentu saja dia mengatakannya sambil tertawa.

Ketika Samuel Newhouse ditanya mengenai gayanya yang cuek dan tak ingin dikenal, dia menjelaskan, “Memiliki perusahaan media bukan berarti kau harus tampil di media. Sungguh menyenangkan melihat orang-orang menikmati karyamu, tapi mereka sama sekali tak mengenalimu. Well, tidak setiap orang memiliki karunia semacam itu.”

Oh, well, tidak setiap orang memiliki karunia semacam itu.

Kamis, 19 November 2015

Percakapan Tingkat Tinggi

Di jalan raya, sebuah truk besar memuat tangki yang sama besarnya, melaju di jalanan yang macet. Di sisi tangki terdapat tulisan besar-besar, berbunyi: HATI-HATI. BARANG BERBAHAYA. BISA MELEDAK.

Akibat kemacetan yang parah, lalu lintas bisa dibilang tak bergerak. Dua ABG berboncengan motor berhenti di sisi kanan truk tangki, tampak bete karena macet dan panas. Mungkin karena bosan, salah satu ABG mengetuk-ngetuk tangki dengan cukup keras—kedengarannya dia ingin menimbulkan bunyi-bunyian yang berirama.

Tiba-tiba, sopir truk menongolkan kepalanya dan menengok ke belakang, melotot pada ABG yang mengetuk-ngetuk tangkinya. Mungkin karena sedang jengkel akibat panas dan macet, si sopir langsung menyemburkan amarah pada si ABG, “Jangan diketuk-ketuk, goblok! Itu barang berbahaya, bisa meledak!”

Si ABG, yang terkejut, seketika menjawab dengan nada sama marah, “Lu yang goblok! Udah tahu barang berbahaya, masih juga dibawa keluyuran!”

Kamis, 19 November 2015

Peraturan Tak Teratur

Suatu hari, dengan naluri seorang bocah, saya mengalami kekeliruan. Yaitu melakukan sesuatu yang ternyata melanggar aturan. Tapi saya tidak tahu, karena biasanya tidak ada peraturan itu.

Sambil bingung campur jengkel, saya seperti disadarkan bahwa di dunia ini ada peraturan yang tidak teratur—peraturan yang tak bisa mengatur dirinya sendiri.

Minggu, 15 November 2015

Wawancara Saya di Mata Najwa (3)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Ehmm... mengulang pertanyaan tadi. Artinya, Anda sebenarnya memaklumi aktivitas copy paste di internet, asal menyebutkan sumber?

Istilah copas atau copy paste di internet sebenarnya masih ambigu, Mbak Nana. Sebagai contoh, Anda menulis suatu artikel di blog, dan merasa perlu menyisipkan suatu penjelasan yang Anda ambil dari Wikipedia, misalnya. Anda pun meng-copy satu alinea dari Wikipedia, untuk Anda masukkan ke artikel, dan Anda menyebutkan bahwa alinea tersebut berasal dari Wikipedia. Yang Anda lakukan itu kan juga copas. Tapi apakah itu salah? Tentu saja tidak, karena Anda jujur menyebutkan bahwa bagian yang Anda copas berasal dari Wikipedia.

Contoh lain. Situs KapanLagi.Com, misalnya, memiliki ribuan posting yang berisi lirik-lirik lagu Indonesia maupun luar negeri. Lirik-lirik lagu di situs KapanLagi juga bisa digolongkan copas, karena hanya memindahkan lirik yang semula ada di sampul kaset atau CD ke situs mereka.

Tapi KapanLagi tidak mengklaim bahwa lirik-lirik lagu itu milik mereka. Dengan jelas dan gamblang, KapanLagi menyebutkan bahwa lirik lagu itu milik penyanyi A atau penyanyi B. Itu jenis copas yang bisa ditoleransi. Lebih dari itu, si penyanyi atau pemilik lagu tersebut juga tidak mempermasalahkan lirik lagunya dipublikasikan di tempat lain, bahkan hal semacam itu bisa dianggap sebagai promosi gratis.

Yang tidak bisa ditoleransi adalah copas yang dilakukan tanpa menyebutkan sumber, bahkan diklaim atau diakui sebagai milik si peng-copas. Itu yang menjadikan iklim di internet tidak sehat. Sebagian orang mati-matian mikir demi bisa menulis suatu artikel, lalu orang lain meng-copas artikel itu dan diakui sebagai miliknya. Itu kan jahat. Copas semacam itulah yang saya benci, karena merugikan orang lain.

Berdasarkan penjelasan Anda, artinya Anda tidak mempermasalahkan jika ada orang yang ingin berbagi tulisan Anda di blog?

Tidak masalah, selama hal itu dilakukan dengan cara benar, yakni jujur menyebutkan sumbernya. Membagikan suatu tulisan, atau membagikan link suatu tulisan yang kita anggap bermanfaat, itu kan termasuk berbagi pengetahuan atau menyebarkan wawasan bagi orang lain. No problem. Itu bahkan hal yang positif. Asal dilakukan dengan cara benar dan saling menghormati, pihak yang artikelnya dibagikan pun pasti tidak masalah. Mereka justru akan merasa dihargai, karena tulisannya diapresiasi orang lain.

Sebagai blogger, saya memahami hal-hal semacam itu. Bisa jadi, ada pembaca blog yang mungkin menyukai, atau terinspirasi oleh suatu tulisan saya, kemudian membagikannya ke orang lain melalui blognya, atau melalui sosial media miliknya—tidak masalah. Itu hal biasa di internet, yang dilakukan banyak orang. Asal, ya itu tadi... lakukan dengan cara terhormat.

Baik. Sekarang kita beralih ke topik lain. Di dunia maya, Anda terkenal sebagai orang yang tidak ingin terkenal. Bisakah Anda menjelaskan latar belakang itu?

Sebenarnya saya ingin tertawa setiap mendengar pertanyaan itu. Kita—atau bahkan masyarakat kita—tampaknya lebih bisa menoleransi apa pun yang mayoritas, tapi sering kesulitan memahami yang minoritas. Ada banyak orang yang ingin terkenal, dan kita bisa memaklumi mereka. Tapi ketika ada orang yang tidak ingin terkenal, kita justru ribut.

Padahal, ini kan hanya soal pilihan. Tak jauh beda dengan menikah atau tidak, punya anak atau tidak, itu hak dan pilihan masing-masing orang. Saya tidak mempermasalahkan siapa pun yang ingin terkenal, sebagaimana saya juga tidak ingin dipermasalahkan hanya karena tidak ingin terkenal.

Jadi?

Jadi, bagi saya, ini hanya soal pilihan. Kenapa kita tampaknya kesulitan memahami pilihan orang lain, ketika pilihan yang dipilih tergolong minoritas, atau berbeda dengan pilihan kita?

Sebagai pribadi, saya menyadari kurang bisa bersosialisasi dengan orang lain, kurang bisa beramah-tamah dengan orang lain. Kondisi itu menjadikan saya lebih nyaman jika tidak dikenal.

Tapi kecenderungan Anda yang semacam itu bisa menjadikan orang lain—khususnya di dunia maya—jadi segan jika ingin mendekati Anda?

Well, siapalah saya ini, Mbak Nana? Saya bukan siapa-siapa.

Anda pasti sedang merendah.

Tidak. Anda bisa lihat bio di akun Twitter saya, di situ tertulis bahwa saya bukan siapa-siapa.

Kebetulan Anda menyebut soal Twitter. Ada desas-desus yang menyebutkan bahwa Anda tidak suka jika tweet-tweet Anda di-retweet orang lain. Ada pula desas-desus yang mengatakan Anda tidak suka di-follow banyak orang, karena Anda tidak ingin terkenal.

Hahaha... kadang saya heran bagaimana desas-desus semacam itu bisa muncul dan beredar di belakang saya. Mungkin itu gara-gara catatan iseng yang pernah saya tulis di sini. Well, mari kita urai satu per satu dengan akal sehat.

Di Twitter disediakan fitur mention, juga retweet. Artinya, pengguna Twitter tentu berhak menggunakan fitur itu di sana. Kalau kita menyukai tweet seseorang, tersedia fitur retweet yang bisa digunakan. Kalau kita ingin berinteraksi dengan seseorang, kita bisa menggunakan fitur mention yang disediakan. Sebagai pengguna Twitter, saya tentu memahami hal-hal itu. Di Twitter juga ada tombol follow yang bisa digunakan untuk mem-follow siapa pun. Jadi, kalau ada orang mengirim mention atau me-retweet tweet saya, atau bahkan mem-follow akun saya, sama sekali bukan masalah.

Lagi-lagi, yang menjadi masalah adalah copas. Seseorang meng-copas tweet seseorang, padahal di Twitter sudah disediakan fitur retweet. Kalau memang menyukai tweet seseorang, kenapa harus meng-copas, wong sudah disediakan fitur retweet? Itu yang saya persoalkan. Jadi, kalau orang lain mau me-retweet tweet saya, silakan. Atau mau me-mention atau mem-follow, juga silakan. Asal kita bisa saling menghormati, dan berinteraksi secara wajar, saya pikir tidak masalah.

Dari blog dan Twitter, sekarang kita beralih ke diri Anda. Bagaimana orang seperti Anda—yang terkesan serius—menggunakan nama pena Hoeda Manis, yang sekilas terdengar main-main?

Hahahaha....

Anda tidak bersedia menjelaskan?

Well, apa yang saya harus jelaskan?

Banyak spekulasi yang muncul, bahwa nama Hoeda Manis sebenarnya anagram atau semacam itu. Anda mau memberikan penjelasan?

Saya tahu ada cukup banyak orang kurang kerjaan yang mencoba mengutak-atik huruf-huruf dalam nama saya, karena mereka pikir saya menyembunyikan sesuatu pada nama itu. Saya juga berkali-kali menerima e-mail yang menanyakan atau bahkan menegaskan hal itu. Mereka tanya, apakah nama saya sebenarnya anagram? Apa yang saya sembunyikan di dalam nama itu?

Biasanya, kepada mereka, saya tidak mengatakan ya atau tidak. Saya hanya menjawab, bahwa mereka hampir mendekati kebenaran. Oh, saya tentu menyadari bahwa orang-orang yang “terusik” dengan nama saya pasti bukan orang kebanyakan, karena orang kebanyakan akan menganggap nama saya sebatas main-main.

Artinya, Anda memang menyembunyikan sesuatu pada nama yang Anda gunakan?

Maafkan saya, Mbak Nana, saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Yang jelas, kapan pun, para pencari akan menemukan yang mereka cari. Ketika itu terjadi, mereka akan menemukan, dan tahu, dan menyadari, apa sebenarnya yang ada pada nama itu.

Baiklah, sekarang tinggalkan soal nama. Dalam kehidupan pribadi Anda, bagaimana sih seorang Hoeda Manis menjalani kehidupan sehari-hari?

Well... tidak jauh beda dengan kebanyakan orang lain. Bikin kopi saat bangun tidur, merokok, menjalankan aktivitas dan kesibukan sehari-hari, nyuci piring dan gelas di dapur, keluar rumah kalau ada keperluan, dan terkadang misuh-misuh kalau lagi jengkel. Tidak beda, lah, dengan kebanyakan orang.

Meski begitu, Anda dikenal memiliki prinsip-prinsip yang berbeda dengan kebanyakan orang. Misalnya, Anda tampaknya tidak tertarik pada pernikahan, sementara kebanyakan orang lain justru mengimpikan pernikahan.

Itu kan soal pilihan, Mbak Nana. Dalam hidup, saya tentu menjalani kehidupan sebagaimana umumnya manusia lain—makan, tidur, bekerja, dan semacamnya. Tetapi, di luar itu, masing-masing orang kan punya pilihan dalam menghadapi kehidupan, dan pilihan-pilihan yang diambil sering kali sangat berkaitan dengan cara berpikirnya, dan cara berpikir orang per orang sangat dipengaruhi oleh pengalaman serta latar belakangnya.

Meski sama-sama berwujud manusia, kita kan memiliki latar belakang, pengalaman, serta berbagai hal yang berbeda. Semua perbedaan itu membentuk cara berpikir kita, dan cara berpikir kita menentukan pilihan-pilihan kita. Karena itulah, sampai jutaan kali saya mengatakan bahwa hidup adalah soal pilihan. Kita mengambil dan menentukan pilihan dalam hidup berdasarkan yang kita pahami, yang kita jalani, juga dipengaruhi berbagai pengalaman serta latar belakang yang kemudian membentuk kita hingga seperti sekarang.

Bahwa kita sama-sama manusia—ya. Tetapi kita, masing-masing kita, memiliki latar belakang dan pengalaman yang berbeda, dan dari perbedaan itulah kita kadang memiliki perbedaan pilihan dalam hidup. Saya pikir tidak masalah, selama kita bisa saling menghormati pilihan orang lain. Yang jadi masalah, ketika orang merasa lebih baik atau bahkan lebih benar dari orang lain yang berbeda pilihan.

Termasuk soal pernikahan?

Termasuk soal pernikahan. Sebagian orang memilih untuk menikah, karena memang itu pilihan, dan sebagian lain memilih tidak menikah karena juga pilihan. No problem. Apa yang salah?

Bahkan, yang sama-sama menikah pun punya pilihan berbeda. Sebagian pasangan memilih punya anak, sementara sebagian lain memilih tidak punya anak. Sekali lagi, no problem. Jika ini mau diteruskan, bahkan yang sama-sama punya anak pun bisa berbeda pilihan. Sebagian ingin punya banyak anak, sebagian lain hanya ingin punya satu atau dua anak. Itu kan juga perbedaan pilihan, dan... sekali lagi, no problem. Kita toh tidak bisa menyalahkan pilihan atau memaksakan suatu pilihan kepada orang lain.

Tapi tampaknya masyarakat kita belum mampu menerima perbedaan-perbedaan pilihan semacam itu?

Well, sepertinya itu tugas Anda untuk mengatakan kepada mereka.

Maksud saya begini. Anda memiliki prinsip yang jelas-jelas berbeda dengan prinsip kebanyakan masyarakat. Seperti soal pernikahan, misalnya. Anda jelas minoritas di antara mayoritas orang lain yang menganggap pernikahan penting dilakukan. Yang ingin saya tanyakan, bagaimana Anda mampu menghadapi hal semacam itu?

Seperti kaum minoritas lain, saya pun membutuhkan resistensi untuk tetap bertahan dalam pilihan yang saya ambil. Terus terang saja, memilih untuk menikah—khususnya bagi saya—jauh lebih mudah dibandingkan memilih untuk tidak menikah. Tetapi saya tetap bertahan untuk tidak menikah, karena beberapa alasan. Alasan itulah yang mampu membuat saya tetap bergeming meski menyadari saya berbeda dengan mayoritas orang, dengan masyarakat.

Nah, saya sering berpikir, di sekeliling kita sebenarnya banyak orang yang tak jauh beda dengan saya—mereka memiliki pilihan-pilihan tertentu yang berbeda dengan pilihan masyarakat, namun hanya memendam diam-diam. Latar belakang pemikiran semacam itulah yang menjadikan saya terang-terangan menyatakan bahwa saya tidak tertarik menikah. Tujuannya untuk menunjukkan pada orang-orang lain bahwa mereka tidak perlu khawatir jika berbeda pilihan dengan masyarakat, sekaligus memberitahu masyarakat agar mereka mulai bisa menyadari dan memahami pilihan orang lain yang mungkin minoritas.

Anda tadi menyebut, bahwa karena suatu alasan, Anda memilih untuk tidak menikah. Boleh tahu alasan apa yang mendasari?

Dalam hidup, kita tentu memiliki prioritas-prioritas. Selain pengalaman dan latar belakang, prioritas itulah yang menuntun pilihan yang kita ambil. Orang yang memilih menikah, misalnya, mungkin karena pernikahan masuk dalam prioritas hidupnya. Sementara yang memilih tidak menikah—atau tidak buru-buru menikah—karena memiliki prioritas lain yang dianggap lebih penting.

Begitu pula saya. Dalam hidup, saya punya beberapa prioritas yang saya anggap lebih penting dari pernikahan. Jika saya menikah, maka saya akan memiliki tanggungan, dan itu jelas akan menghambat langkah saya menuju prioritas yang saya inginkan. Selama saya sendirian, saya memiliki waktu, pikiran, energi, dan kebebasan sepenuhnya, untuk mengejar yang ingin saya capai. Hal semacam itu jelas tidak akan saya miliki jika saya menikah, karena saya harus berbagi dengan pasangan—dari berbagi tempat tidur sampai berbagi waktu dan kebebasan.

Jadi, itulah alasan yang mendasari pilihan saya kenapa sampai sekarang tetap tidak tertarik pada pernikahan. Saya masih menginginkan kebebasan dalam menggunakan seluruh waktu, energi, dan pikiran, untuk mengejar sesuatu yang saya anggap penting. Dan saya tidak ingin diganggu apa pun atau siapa pun, termasuk oleh pasangan.

Meski begitu, Anda sering menyebut-nyebut “Mbakyu”....

Ahahahaha... itu sebenarnya refleksi hati saya yang mungkin gersang, Mbak Nana. Sebagai lelaki normal, saya tentu mendambakan kasih lawan jenis. Tapi kebutuhan itu harus berbenturan dengan pilihan hidup saya yang belum memungkinkan. Karena itu, “Mbakyu” jadi semacam katarsis untuk menyalurkannya.

Oh, ya, Anda sering menyatakan terang-terangan, bahwa Anda kesulitan saat bersosialisasi dengan orang lain. Tapi dari tadi kita mengobrol dengan lancar dan tidak ada masalah. Anda bisa asyik menjelaskan apa pun, dan tampaknya normal-normal saja.

Benar, saya memang kurang mampu bersosialisasi dengan orang lain. Yang saya maksud “bersosialisasi” adalah berbasa-basi dengan orang yang belum terlalu kenal, atau menyapa orang lain terlebih dulu, atau semacamnya.

Di dunia nyata atau dunia maya, misalnya di Twitter, saya sering merasakan hal itu. Saat ingin menyapa orang—khususnya yang belum terlalu kenal—saya sering bingung. Karenanya, saya sering kali baru menyapa orang lain saat ada suatu hal tertentu yang memungkinkan saya mengatakan sesuatu kepadanya. Jika tidak ada alasan atau latar belakang apa pun, saya sering kesulitan, dan tidak tahu apa yang harus saya katakan.

Nah, dari tadi kita bisa mengobrol lancar, bahkan asyik—kenapa? Karena Anda bertanya, dan saya menjawab. Sesederhana itu. Dan Anda juga bertanya bukan untuk basa-basi, melainkan murni ingin bertanya. Lebih dari itu, Anda fokus kepada saya, dan bisa menjaga percakapan ini terus mengalir, sehingga tidak membosankan. Maka saya pun menjawab dengan baik, sebagaimana yang Anda inginkan. Artinya, jika saya disapa atau ditanya, saya bisa menghadapi sapaan atau pertanyaan itu dengan baik. Tetapi, saya sering kebingungan jika sayalah yang diminta untuk menyapa atau bertanya lebih dulu.

Jadi, kepada siapa pun yang ingin berkomunikasi dengan saya, sapalah saya. Sesederhana itu. Jika kalian menunggu saya menyapa terlebih dulu, kalian akan menunggu lama, karena saya sering kebingungan saat akan menyapa orang lain.

Ooh, jadi begitu masalahnya. Mas Hoeda, tak terasa kita sudah mengobrol cukup banyak. Dari blog, tulisan-tulisan Anda, juga Twitter, sampai kehidupan Anda sebagai pribadi. Semoga obrolan ini bisa memberikan penjelasan bagi orang-orang yang mungkin ingin tahu.

Sebenarnya, masih banyak yang bisa kita obrolkan, tapi waktu kita tampaknya sudah habis. Sekarang, pertanyaan terakhir. Dalam perspektif Anda, apakah saya termasuk Mbakyu?

Ahahaha... tentu saja Anda seorang Mbakyu!

 
;