Jumat, 04 Juni 2010

“Gue Memang Rusak!”

Kenali kegelapanmu sendiri, itulah cara terbaik
menangani kegelapan orang lain.
Carl Gustav Jung


Kata-kata di atas—yang menjadi judul catatan ini—diucapkan oleh artis Ria Irawan dalam wawancara dengan Tabloid O, edisi Minggu ketiga, Juni 2000. Siapa pun yang telah puber pada tahun 80-an pasti mengenal nama Ria Irawan, artis film yang (pernah) sangat populer pada masa-masa itu. Di era 80-an, Ria Irawan tidak hanya terkenal sebagai artis, tetapi juga dikenal sebagai tukang dugem dan biang kehebohan.

Sebagaimana para “biang heboh” lain yang biasanya tegar menghadapi komentar-komentar sinis atau suara minor tentang dirinya, Ria Irawan juga begitu. Pada tahun 1987, misalnya, ketika Mick Jagger bertandang ke Jakarta, Ria Irawan digosipkan berkencan dengan superstar itu di Puncak, Bogor. Berita itu langsung saja menjadi “isu nasional”—tetapi Ria Irawan hanya menghadapinya dengan senyuman.

Kemudian wanita ini juga kembali menjadi sorotan publik ketika seorang sahabatnya, Aldi, ditemukan meninggal di rumahnya, di kawasan Lebak Bulus, Jakarta. Kasus itu juga sempat menjadi geger nasional. Ditambah lagi dengan isu seputar “hubungannya” dengan narkoba—hingga kemudian ia diungsikan keluarganya ke Italia untuk menjalani rehabilitasi—lengkaplah sudah sosok ini menjadi figur pencipta kehebohan. Namun, seperti yang dinyatakan di atas, Ria Irawan menghadapi semua itu dengan ketegaran.

Sampai kemudian, wanita ini menikah dengan Yuma—dan kemudian bercerai. Setelah itu berita tentangnya seperti mengabur perlahan-lahan, seiring menghilangnya sosoknya dari peredaran. Hingga, pada tahun 2000, Tabloid O mewawancarainya, dan wawancara itu diberi judul yang provokatif, “Gue Memang Rusak!”

Serusak apakah Ria Irawan…? Saya tidak tahu—dan saya tidak ingin tahu. Hanya saja, saya mengagumi kejujuran—atau lebih tepatnya, kebesaran hatinya—dalam menilai diri sendiri. Sungguh jarang menemukan orang—apalagi artis—yang mau jujur dan berbesar hati menyatakan dirinya rusak, terlepas apakah dia benar-benar rusak atau hanya setengah rusak. Lebih banyak orang yang tak bisa objektif menilai diri sendiri, sehingga kebanyakan orang merasa dirinya seperti nabi.

Belum lama, ada artis cewek yang hampir tiap malam dugem sambil mabuk, dan biasanya pulang dini hari sambil teler sempoyongan. Sebagian besar masyarakat Indonesia tahu gaya hidup dan pergaulan artis ini tak bisa dibilang bersih. Bahkan acara ultahnya pun diadakan di diskotik dengan dirayakan secara “luar biasa asyik”, dan diliput televisi. Nah, suatu hari muncul berita tak sedap menyangkut gaya hidup artis ini, dan… coba tebak, apa yang dilakukannya?

Dia nangis-nangis, sambil sumpah-sumpah menyebut nama Tuhan!

Artis ini diwawancarai televisi di acara gosip sore hari, dan dia menyangkal habis-habisan mengenai berita yang beredar itu sambil nangis-nangis, dan dia bersumpah bahwa dia tidak seperti itu. Padahal, berita yang muncul—yang jadi buah bibir masyarakat saat itu—tak ada apa-apanya dibanding dengan kenyataan gaya hidup dia yang sesungguhnya.

Dan presenter yang menjadi host acara gosip itu pun (entah mengapa) membawakan berita itu dengan penuh penghayatan, seolah-olah sedang membaca teks proklamasi di upacara bendera—berharap pemirsa acara gosip itu bersimpati pada si artis yang sedang nangis-nangis. Tetapi… dunia tertawa!

Kenapa artis itu tidak jujur saja dengan menyatakan kalau gaya hidupnya memang seperti itu? Kenapa tidak berbesar hati saja dengan mengakui bahwa dia memang tidak sempurna? Kalau mau blak-blakan, sesungguhnya ada cukup banyak apologi atau dalih dan alasan yang bisa dipakai untuk membela diri. Katakan saja, “Saya masih muda—jadi, kadang-kadang saya kurang dapat mengontrol diri, bla-bla-bla…”

Kalau saja dia mau sedikit jujur seperti itu, mungkin orang-orang—khususnya pemirsa acara gosip itu—akan dapat memberikan simpati, atau setidaknya tidak malah menertawakan dan mencemoohnya. Tetapi, tidak—dia malah nangis-nangis seperti Siti Nurbaya yang mau dikawin paksa, dan berusaha sekuat tenaga menyatakan dirinya cewek alim yang tak kenal dosa. Tetapi, seperti yang dinyatakan di atas, dunia tertawa—karena koran ada di mana-mana, majalah ada di mana-mana, internet ada di mana-mana, dan masyarakat pun telah terbebas dari buta aksara.

Karenanya, saya mengagumi Ria Irawan, yang mau berbesar hati menyatakan dirinya rusak. Ketika seseorang mengakui bahwa dirinya rusak, kita pun jadi tak berminat lagi untuk mengorek-ngorek kerusakannya. Lebih dari itu, ketika seseorang telah menyadari dirinya rusak, dia pun telah menemukan titik awal, batu pijakan, untuk mulai memperbaiki dirinya—dan begitulah cara kita semua belajar memperbaiki diri.

 
;