Dari dulu aku percaya, kalau suami istri bahagia, anak akan ikut bahagia. Sebaliknya, jika suami istri stres, tertekan, banyak beban pikiran, anak akan ikut menanggung dampaknya. Karena perlakuan orang tua kepada anak sering kali tergantung pada suasana hati dan pikiran orang tua.
Ketika seorang anak melakukan kenakalan atau kesalahan kecil—misal menumpahkan minuman—perlakuan yang akan diterimanya tergantung dari suasana hati dan kondisi pikiran orang tuanya. Ini bukan soal apakah orang tua tahu parenting atau tidak, tapi kondisi pikiran.
Bagi orang tua yang bahagia, kenakalan kecil anak bukanlah masalah. Tapi bagi orang tua yang sedang stres, tertekan, banyak beban pikiran, kenakalan atau kesalahan kecil anak akan dianggap masalah besar. Latar belakang itu yang membedakan sikap dan perlakuan mereka pada si anak.
Dalam contoh ekstrem, kalau kamu hidup bahagia, dan anakmu memecahkan guci seharga sepuluh juta, misalnya, mungkin kamu hanya akan marah sebentar, lalu menyadari kalau anakmu masih kecil. Guci pecah itu urusan sepele, toh kamu bisa menggantinya dengan guci yang lain.
Tapi kalau kamu hidup penuh tekanan, stres, banyak masalah, dikejar-kejar cicilan, dan anakmu memecahkan gelas yang harganya paling sepuluh ribu rupiah, kamu bisa ngamuk dan menganiaya anakmu habis-habisan. Anakmu jadi korban—bukan karena gelas pecah, tapi karena kondisimu.
Kenyataan dan kesadaran itulah yang membuatku bersumpah pada diri sendiri, aku tidak akan menikah—apalagi punya anak—sebelum bisa membahagiakan diriku sendiri.