Di Kalsel, ada kasus pembunuhan sadis yang sekilas tampak rumit, tapi ternyata sangat sederhana. Seorang wanita yang baru menikah ditemukan tewas di kamarnya, tergeletak di kasur, dengan leher tergorok. Ada pisau di dekatnya, tapi bersih seperti habis dicuci.
Suami si wanita mengaku sedang di tempat kerja, ketika peristiwa itu terjadi, dan kondisi di TKP tampak seperti latar novel misteri ala Agatha Christie. Pengantin baru terbunuh dengan kejam, senjata ditemukan di dekatnya, tapi bersih tercuci. Dan ada terlalu banyak darah.
Hanya butuh dua hari bagi polisi untuk menangkap pelakunya, sekaligus menguak misteri pembunuhan itu. Ternyata sangat sederhana. Pelaku pembunuhan itu adalah anak tetangga korban, pisau yang ditinggalkan di TKP bukan senjata yang digunakan untuk membunuh, dan motivasi pembunuhan itu juga sepele, yakni karena pelaku sakit hati akibat sering diejek korban. Pelaku adalah seorang pria berusia 24 tahun, sosok yang biasa menerima ejekan (yang kerap dianggap pertanyaan wajar) dari tetangganya, berbunyi, “Kapan kawin?”
Kita selalu bisa menormalisasi apa pun yang keluar dari mulut kita. Semisal bertanya “kapan kawin?” yang kita normalisasi sebagai “bentuk perhatian”. Tapi bagaimana kalau orang yang ditanya menganggap itu sebagai ejekan, dan menormalisasi dirinya saat balas dendam?
Segala macam pertanyaan yang diawali “kapan”—dalam apa pun bentuknya—tidak relevan diajukan kepada siapa pun, KECUALI kita terlibat di dalamnya. Misal Si A pacaran dengan Si B, dan Si A bertanya, “Kapan kita akan menikah?” Itu relevan, karena memang ada hubungan.
Tapi kalau status kita cuma teman, tetangga, apalagi orang asing, tidak relevan jika mengajukan pertanyaan “kapan kawin?”—kecuali kalau kamu memang akan menikah dengannya.
Ada baiknya mengingat kasus sadis di Kalsel sebelum mengejek orang lain, apapun bentuknya.