Ada orang yang suka nasi akas, pun ada orang yang suka nasi lembek. Manakah yang benar dan manakah yang salah? Tidak ada yang benar atau salah, wong itu selera, kok! Ini negara demokrasi. Jangankan beda selera nasi, beda pilihan presiden saja tidak apa-apa.
Orang tidak doyan suatu makanan, sering kali bukan karena kehendaknya, tapi karena “kondisinya memang begitu”. Contoh, ada orang tidak doyan durian. Bagi kita yang suka durian, orang itu pasti goblok, wong durian enak kok tidak doyan. Tapi dia benar-benar tidak doyan!
Kita tidak bisa memaksa orang yang tidak doyan durian agar doyan durian, karena dia tidak akan doyan. Jangankan memakannya, bahkan mencium bau durian saja bisa muntah. Begitu pula orang yang tidak doyan nasi lembek, atau orang yang tidak doyan nasi akas.
Ada orang, misalnya, suka nasi lembek, dan tidak doyan nasi akas. Apakah salah? Tentu saja tidak!
Begitu pun, aku tidak doyan nasi lembek, apalagi yang menggumpal. Apapun yang terjadi, aku tidak akan memakannya, karena memang tidak doyan.
Orang tidak doyan suatu makanan itu bukan menghina makanan, tapi karena kondisi pada dirinya yang menyebabkan dia tidak doyan. Ada orang tidak doyan durian, tidak doyan susu, tidak doyan keju, tidak doyan pizza—mereka memang tidak doyan, bukan menghina makanan.
So, jika sewaktu-waktu kita mendapati siapa pun tidak doyan suatu makanan tertentu, tak perlu repot-repot menceramahi dia betapa enaknya makanan itu. Cukup maklumi saja, karena tidak doyan suatu makanan adalah hal alamiah yang banyak terjadi pada orang-orang di mana pun.