Ekonom INDEF, Didik J. Rachbini, menyatakan bahwa pemerintahan Jokowi mewariskan utang sangat besar, dan, sebagai konsekuensinya, Indonesia harus bayar utang Rp 1.000 triliun per tahun.
Beban tanggungan Rp 1.000 triliun per tahun itu, masih menurut Didik J. Rachbini, adalah 1.500 persen dari anggaran untuk pendidikan. Jadi, negara kita lebih mementingkan mencicil utang, daripada mengurus pendidikan. Apa kabar anak-anak sekolah yang harus meniti jembatan di atas sungai?
Didik J. Rachbini juga mengatakan, peningkatan utang pemerintah yang naik signifikan mulai terjadi pada era Presiden Joko Widodo. Dan karenanya, Presiden Indonesia setelahnya akan tertimpa beban utang, sebab jumlah utang yang diwariskan sangat besar.
Narasi itu mungkin terdengar biasa, andai kita tidak mengingat “idealisme” Jokowi ketika belum menjabat Presiden Indonesia. Sebelum jadi presiden, Jokowi terang-terangan mengatakan “akan membubarkan Bank Dunia, IMF dan semacamnya”, karena dinilainya “merusak”.
Politik adalah soal sistem. Orang bisa ngoceh macam-macam sebelum masuk ke dalamnya. Saat orang masuk ke dalam sistem, mau tak mau dia harus ikut aturan mainnya. Dan aturan dalam sistem politik sekarang, menumpuk utang adalah salah satunya. Akan ke mana semua ini menuju?
Dalam konteks utang pemerintah, kebanyakan orang melakukan pembelaan dengan mengajukan argumentasi multiplier effect (dampak berganda). Secara teoritis, berdasarkan perspektif ilmu ekonomi, utang memang bisa menumbuhkan suatu bisnis, atau negara, agar tumbuh lebih besar.
Tetapi, yang perlu diingat, itu secara teoritis. Ketika teori diaplikasikan dalam praktik, siapa yang bisa menjamin prosesnya akan sama dengan teori? Dan kalau prosesnya belum tentu sama, siapa yang bisa menjamin hasilnya akan sesuai yang diteorikan (tumbuh lebih besar) sesuai ilmu ekonomi?
Mari gunakan analogi sederhana, agar urusan ini lebih mudah dipahami. Andaikan saya mau bikin startup, tapi terbentur masalah modal. Saya punya visi yang bagus mengenai suatu usaha, yang hampir bisa dipastikan akan sangat menguntungkan. Tapi, sekali lagi, modal saya terbatas.
Dalam kondisi seperti itu, saya mengajukan utang ke bank, dengan jaminan sertifikat rumah. Bank menggelontorkan pembiayaan, seperti yang saya inginkan. Sampai di sini, segala hal bisa terjadi, dan praktik yang saya lakukan bisa melenceng jauh dari teori yang tertulis dalam ilmu ekonomi.
Ketika pembiayaan dari bank sudah cair, saya bisa melakukan apa pun dengan uang yang kini ada di genggaman. Saya bisa menggunakan sepenuhnya untuk membesarkan startup seperti rencana semula, tapi saya juga bisa menggunakannya separo untuk bersenang-senang ala bocah hedon.
Di atas semua itu, saya juga dihadapkan pada fakta ini; apakah visi saya terkait startup tadi benar-benar menjanjikan, atau itu cuma khalayan?
Oh, ya, dan jangan lupakan sertifikat rumah yang saya jadikan jaminan utang tadi. Suatu saat, jika saya kolaps, bank akan punya kuasa menyita rumah saya.