Minggu, 27 Juni 2010

Esensi Sunyi

…salah satunya Hoeda Manis. Dia menulis dengan jujur, spontan, bahkan kadang saya pikir dia menulis sambil marah-marah. Kata-kata yang ditulisnya itu sangat—apa istilah tepatnya?—sangat terasa efek emosinya, sehingga pembaca dapat merasakan apa yang ia rasakan ketika menulis kata-kata itu. Kadang saya mendapati tulisannya meledak-ledak, kadang sangat lembut, kadang juga bikin saya senyum-senyum sendiri. Emosinya itu bisa terasakan, dan saya sudah kecanduan…
Poppy Arista, Penulis & Aktivis Sosial
dalam wawancara dengan majalah Lajang Indonesia,
edisi V tahun 8, Maret 2009



Ini adalah buku saya. Maksud saya, buku ini adalah representasi atas diri saya. Atau, lebih tepat lagi, pikiran-pikiran saya. Lima belas tahun yang lalu, ketika pertama kali menulis, saya hanyalah seorang bocah yang merasa mau tak mau harus menulis. Sepertinya, bukan saya yang memilih untuk menulis—melainkan menulis telah memilih saya. Kau tahu bagaimana kondisi semacam ini terjadi. Kau tidak merangkai kata-kata, tetapi kata-kata itu datang menemuimu agar ia dirangkai melalui tanganmu.

Kenyataan semacam itulah yang terjadi ketika saya menulis esai-esai yang sekarang terkumpul dalam buku ini. Saya tidak menulis esai-esai ini, melainkan esai-esai ini mendatangi kehidupan saya—dan kemudian saya mengubahnya dalam bentuk kata-kata. Well, kau tahu, ini tak jauh beda dengan seorang pelukis bersama kanvasnya. Si pelukis tidak melukis keindahan alam atau pegunungan, tetapi keindahan alam dan pegunungan itulah yang mendatangi kanvas kosongnya.

Di kanvas kosong pikiran saya, berbagai hal dalam hidup muncul satu demi satu. Yang berat maupun ringan. Terkadang hal-hal ini datang perlahan-lahan, namun ada kalanya pula datang seperti air bah yang mengalir deras dari bendungan yang jebol. Saya menerimanya. Dan mengendapkannya dalam benak. Kemudian, endapan itu mengkristal dan berubah menjadi debu. Saya menyebutnya ‘debu-debu pemikiran’. Ketika sampai pada tahap itu, satu-satunya pilihan saya hanyalah menuliskannya. Saya bisa mati kalau tidak melakukannya.

Jadi saya pun menulis. Kata demi kata. Lembar demi lembar. Esai demi esai. Dan tahun demi tahun pun berlalu. Segenggam kristal yang terlahir dari benak dan hati itu kini telah berubah menjadi setumpuk esai—sekeranjang kata-kata.

Ketika membacanya kembali, saya membayangkan proses terbentuknya butir-butir mutiara. Kau tahu, pada mulanya sebutir pasir memasuki tubuh tiram yang lembut. Tiram itu kesakitan bukan main karena masuknya pasir menyakiti kulit tubuhnya yang peka. Tetapi, seiring perjalanan waktu, tiram itu berhasil mengalahkan rasa sakitnya—dan tanpa disadarinya, dia telah mengubah sebutir pasir menjadi sebentuk mutiara.

Esai-esai ini ditulis dalam proses semacam itu. Saya kesakitan selama dalam proses menulisnya. Saya tersenyum ketika kembali membacanya…

 
;