Di kotaku banyak warung makan di pinggir jalan—salah satunya adalah langgananku. Warung makan ini berada tidak jauh dari tempatku tinggal. Karena aku selalu perlu beli nasi di luar, maka warung inilah yang selalu kudatangi saat perlu makan malam. Sudah sekitar tiga tahun aku berlangganan warung makan satu ini—sejak dulu menemukannya tanpa sengaja.
Jadi, biasanya, setiap habis maghrib atau isya’, aku akan keluar rumah, pergi ke warung itu, membeli nasi plus pecel lele atau ayam goreng, kemudian kunikmati di rumah. Oh ya, meski terkadang juga makan di warung atau kafe, tetapi aku lebih suka menikmati makan di rumah.
Warung makan itu dimiliki seorang lelaki yang masih muda, mungkin usianya tak jauh beda denganku. Dia ramah, dan tipe laki-laki yang baik. Karena seringnya aku ke warungnya, kami pun jadi cukup akrab. Biasanya, sambil menunggu pesananku disiapkan oleh pelayan di warung, aku mengobrol dengan lelaki itu.
Setengah tahun sejak pertama kali aku menjadi pelanggannya, lelaki itu menikah, dan kemudian memboyong istrinya ke kotaku. Aku diperkenalkan dengan istrinya—seorang wanita yang cantik, juga ramah. Semenjak itu pulalah istrinya selalu membantu di warung.
“Kalian benar-benar pasangan yang serasi,” ujarku waktu itu, dan itu memang benar.
Si laki-laki kemudian bercerita bahwa mereka bertemu pada waktu kuliah, tapi si laki-laki memutuskan untuk keluar dari kampus untuk memulai membuka usaha—warung makan itu. Dan tempat yang dipilihnya untuk membuka warung makan benar-benar tepat—kotaku adalah tempat yang tak pernah mati dalam hal makanan. Orang-orang kota ini sangat suka makan di luar, jadi hampir bisa dikatakan tidak ada warung makan yang bangkrut di sini.
Jadi begitulah, tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama, warung makan milik lelaki itu pun bisa dibilang sukses. Dua tahun setelah calon istrinya lulus dari kuliah, mereka pun menikah—sebagaimana yang kuceritakan di atas. Dan, seperti yang juga kunyatakan di atas pula, mereka benar-benar pasangan yang serasi.
Setiap malam, saat aku datang ke warung mereka, kadang aku mendapati mereka sedang duduk di atas tikar di samping warung, karena kebetulan warung sedang tak ada pembeli. Dan, biasanya, aku pun ikut duduk-duduk bersama mereka sambil menunggu pesananku disiapkan. Menyaksikan mereka seperti menyaksikan salah satu impian terindahku.
Satu tahun setelah menikah, mereka dikaruniai seorang anak perempuan. Ketika si laki-laki mengabarkannya kepadaku, aku pun mengucapkan selamat, dan berkata sungguh-sungguh, “Kamu benar-benar lelaki yang beruntung.”
Sejak itulah aku mulai jarang mengobrol dengan laki-laki itu. Sering kali, saat aku datang ke warungnya dan kebetulan sedang tidak ada pembeli, laki-laki itu sedang akan beranjak pergi.
“Aku tinggal dulu, ya,” begitu biasanya ia berkata kepadaku, “aku kangen anakku.”
Oh, well, pikirku sambil tersenyum, dia benar-benar lelaki yang beruntung.
Jika kami kebetulan berkesempatan mengobrol, aku bisa merasakan betapa dia memuja putrinya.
“Dia pasti secantik ibunya,” kataku suatu kali.
“Ya,” jawabnya sambil tersenyum. “Kapan-kapan kamu harus melihatnya.”
Aku pun berjanji untuk melihat putrinya. Tetapi ternyata janji itu tak pernah terlaksana. Selang beberapa hari setelah obrolan itu, warung makan itu tidak pernah kutemukan lagi.
Sejak itu, setiap kali akan membeli nasi, aku pergi ke sana, tapi warung makan itu tidak pernah ada lagi. Pada mulanya kupikir mungkin si pemilik warung sedang sakit atau sedang pergi ke luar kota atau semacamnya, sehingga tak bisa membuka warungnya. Tetapi sampai sekarang warung makan itu tak pernah ada lagi. Tak pernah ada lagi, hingga kutulis kisah ini.
Karena sangat penasaran, aku pernah menemui tukang parkir yang biasa ada di sana, siapa tahu dia mengetahui apa yang terjadi dengan warung makan tadi. Ternyata si tukang parkir memang tahu apa yang terjadi. Dan dia menceritakannya kepadaku.
Dan aku terdiam, terpaku.
Air mataku ingin runtuh.
Jadi, biasanya, setiap habis maghrib atau isya’, aku akan keluar rumah, pergi ke warung itu, membeli nasi plus pecel lele atau ayam goreng, kemudian kunikmati di rumah. Oh ya, meski terkadang juga makan di warung atau kafe, tetapi aku lebih suka menikmati makan di rumah.
Warung makan itu dimiliki seorang lelaki yang masih muda, mungkin usianya tak jauh beda denganku. Dia ramah, dan tipe laki-laki yang baik. Karena seringnya aku ke warungnya, kami pun jadi cukup akrab. Biasanya, sambil menunggu pesananku disiapkan oleh pelayan di warung, aku mengobrol dengan lelaki itu.
Setengah tahun sejak pertama kali aku menjadi pelanggannya, lelaki itu menikah, dan kemudian memboyong istrinya ke kotaku. Aku diperkenalkan dengan istrinya—seorang wanita yang cantik, juga ramah. Semenjak itu pulalah istrinya selalu membantu di warung.
“Kalian benar-benar pasangan yang serasi,” ujarku waktu itu, dan itu memang benar.
Si laki-laki kemudian bercerita bahwa mereka bertemu pada waktu kuliah, tapi si laki-laki memutuskan untuk keluar dari kampus untuk memulai membuka usaha—warung makan itu. Dan tempat yang dipilihnya untuk membuka warung makan benar-benar tepat—kotaku adalah tempat yang tak pernah mati dalam hal makanan. Orang-orang kota ini sangat suka makan di luar, jadi hampir bisa dikatakan tidak ada warung makan yang bangkrut di sini.
Jadi begitulah, tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama, warung makan milik lelaki itu pun bisa dibilang sukses. Dua tahun setelah calon istrinya lulus dari kuliah, mereka pun menikah—sebagaimana yang kuceritakan di atas. Dan, seperti yang juga kunyatakan di atas pula, mereka benar-benar pasangan yang serasi.
Setiap malam, saat aku datang ke warung mereka, kadang aku mendapati mereka sedang duduk di atas tikar di samping warung, karena kebetulan warung sedang tak ada pembeli. Dan, biasanya, aku pun ikut duduk-duduk bersama mereka sambil menunggu pesananku disiapkan. Menyaksikan mereka seperti menyaksikan salah satu impian terindahku.
Satu tahun setelah menikah, mereka dikaruniai seorang anak perempuan. Ketika si laki-laki mengabarkannya kepadaku, aku pun mengucapkan selamat, dan berkata sungguh-sungguh, “Kamu benar-benar lelaki yang beruntung.”
Sejak itulah aku mulai jarang mengobrol dengan laki-laki itu. Sering kali, saat aku datang ke warungnya dan kebetulan sedang tidak ada pembeli, laki-laki itu sedang akan beranjak pergi.
“Aku tinggal dulu, ya,” begitu biasanya ia berkata kepadaku, “aku kangen anakku.”
Oh, well, pikirku sambil tersenyum, dia benar-benar lelaki yang beruntung.
Jika kami kebetulan berkesempatan mengobrol, aku bisa merasakan betapa dia memuja putrinya.
“Dia pasti secantik ibunya,” kataku suatu kali.
“Ya,” jawabnya sambil tersenyum. “Kapan-kapan kamu harus melihatnya.”
Aku pun berjanji untuk melihat putrinya. Tetapi ternyata janji itu tak pernah terlaksana. Selang beberapa hari setelah obrolan itu, warung makan itu tidak pernah kutemukan lagi.
Sejak itu, setiap kali akan membeli nasi, aku pergi ke sana, tapi warung makan itu tidak pernah ada lagi. Pada mulanya kupikir mungkin si pemilik warung sedang sakit atau sedang pergi ke luar kota atau semacamnya, sehingga tak bisa membuka warungnya. Tetapi sampai sekarang warung makan itu tak pernah ada lagi. Tak pernah ada lagi, hingga kutulis kisah ini.
Karena sangat penasaran, aku pernah menemui tukang parkir yang biasa ada di sana, siapa tahu dia mengetahui apa yang terjadi dengan warung makan tadi. Ternyata si tukang parkir memang tahu apa yang terjadi. Dan dia menceritakannya kepadaku.
Dan aku terdiam, terpaku.
Air mataku ingin runtuh.