Rabu, 17 Agustus 2011

Petuah Filsuf Gila (1)

Perlihatkan lebih sedikit dari yang kaumiliki, tunjukkan lebih sedikit
dari yang kausimpan, bicaralah lebih sedikit dari yang kau tahu.
Wasiat para filsuf


Seorang laki-laki berwajah kuyu menemui seorang filsuf dengan penuh keputusasaan. Di hatinya ada luka, di pikirannya ada bencana. Ia mendatangi filsuf itu dengan harapan memperoleh pencerahan—tetapi ia tidak tahu filsuf yang didatanginya seorang gila.

“Tuan Filsuf,” katanya dengan penuh harap. “Saya menemui Tuan, karena saya sedang menghadapi masalah.”

Sang filsuf gila menatap laki-laki di hadapannya, dan bertanya, “Apa masalahmu, Nak?”

“Dunia sedang menghimpit saya!” pekik laki-laki itu.

“Oh, benarkah? Bagaimana dunia bisa sekejam itu kepadamu?”

“Tuan Filsuf, saya punya istri dan empat orang anak. Sudah beberapa bulan ini saya kehilangan pekerjaan, kehabisan uang, sementara persediaan makanan kami sudah habis. Saya terjerat utang, barang-barang sudah dijual dan digadaikan, dan sekarang keluarga saya dalam keadaan kelaparan. Apa yang harus saya lakukan sekarang…?”

Sekarang si filsuf gila tersenyum. “Maafkan aku, Nak. Aku tak bisa menolongmu.”

Laki-laki itu nyaris menangis. “Oh, Tuan Filsuf, bagaimana Anda bisa setega itu?”

“Nak, kalau seseorang tidak bisa menolong dirinya sendiri, maka orang lain dan seluruh dunia ini pun tidak akan ada yang bisa menolongnya. Jangankan aku yang hanya manusia sepertimu, bahkan Tuhan pun tidak akan bisa menolongmu, selama kau tidak bisa menolong dirimu sendiri. Aku melihat ketakutan dan kepasrahan dan kepedihan dan frustrasi dalam pikiranmu. Untuk mendapatkan pertolongan dari orang lain, kau harus dapat menolong dirimu sendiri terlebih dulu.”

“Lalu bagaimana saya bisa menolong diri sendiri, sementara saya sudah kehilangan segala-galanya…???”

“Biarlah itu menjadi bahan pikiranmu.”

“Oh, Tuan Filsuf, tidak maukah Anda memberikan nasihat untuk saya?”

“Nasihat…?!” tiba-tiba si filsuf gila berteriak. “Jadi itukah yang kauinginkan dariku? Nasihat…? Jadi itukah alasanmu menemuiku sekarang? Untuk mendapatkan nasihat? Oh, malang sekali nasibmu, Nak! Kau mengaku sudah kehilangan segala-galanya, dan keluargamu kelaparan, sementara kau malah membuang-buang waktumu hanya untuk mendapatkan nasihat…?!”

Si laki-laki kebingungan. Tetapi sebelum dia sempat membuka mulut, si filsuf gila sudah menyambung ucapannya. “Kalau kau mau mendengar nasihatku, Nak, maka nasihatku cuma satu. Jangan pernah percaya pada nasihat!”

“Maaf…?”

“Oh ya, kau tidak salah dengar! Semua nasihat dalam bentuk kata-kata tidak perlu kaudengar apalagi kaupedulikan! Semua nasihat yang baik tidak diucapkan atau dinyatakan—semua nasihat baik berteriak dalam diam. Oh, anak manusia, kau sudah kecanduan nasihat, karena selama ini kau telah dimanipulasi oleh para penjual nasihat—orang-orang yang sungguh pintar menasihati orang lain, tapi tak pernah mampu menasihati dirinya sendiri!”

“Uh, jadi… jadi apa yang harus saya lakukan sekarang, Tuan Filsuf?”

“Seperti yang kubilang tadi—aku tidak tahu. Hidupmu adalah pilihanmu, dan kau bertanggung jawab penuh atas pilihan itu. Semua masalah yang menimpamu sekarang tidak terjadi karena kehendak alam—tetapi karena kehendakmu sendiri. Jangan mengeluh, Nak. Dunia tidak menghimpitmu secara tiba-tiba—dunia menghimpitmu karena kau memintanya untuk menghimpitmu!”

“Tuan Filsuf, saya… saya tidak paham.”

“Kalau begitu dengarkan aku, Nak, biar kubuat kau paham.” Setelah menghela napas sejenak, dia berujar, “Sekarang jawab dengan jujur pertanyaanku. Semua hal yang kaulakukan dalam hidupmu selama ini—apakah kaulakukan karena memang kau ingin melakukannya, ataukah karena kaupikir kau ingin melakukannya?”

“Maaf, saya… saya tidak paham.”

“Mungkin kau memang perlu lebih banyak belajar, Nak. Tetapi kau tidak punya waktu untuk itu, kan? Kau tidak punya waktu untuk belajar, karena waktumu sudah habis untuk hal-hal lain selain belajar. Lebih dari itu, kau lebih memilih hal-hal lain dibanding belajar—karena lingkungan dan masyarakatmu tidak mendukungmu untuk belajar. Bagi masyarakatmu, banyak hal lain yang tampak lebih hebat dibanding belajar—dan kau pun ikut-ikutan.”

Si laki-laki seperti mulai memahami ucapan itu, tetapi dia tetap masih bingung.

Lanjut ke sini.

 
;