Anak-anakmu bukanlah milikmu, mereka putra-putri kehidupan
yang memiliki hidupnya sendiri. Lewat engkau mereka lahir,
namun tidak darimu. Mereka ada padamu, tetapi bukan milikmu.
Berikan kasih sayangmu, tapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu.
Sebab pada mereka ada alam pikiran sendiri.
Kau bisa memberikan rumah untuk raganya, tetapi tidak untuk jiwanya.
Sebab jiwa mereka adalah penghuni masa depan, yang tidak akan dapat
kaukunjungi, meski dalam impian.
Kau boleh berusaha menyerupai mereka, tetapi jangan membuat
mereka menyerupaimu. Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
pun tidak tenggelam di masa lampau.
—Kahlil Gibran, The Prophet
namun tidak darimu. Mereka ada padamu, tetapi bukan milikmu.
Berikan kasih sayangmu, tapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu.
Sebab pada mereka ada alam pikiran sendiri.
Kau bisa memberikan rumah untuk raganya, tetapi tidak untuk jiwanya.
Sebab jiwa mereka adalah penghuni masa depan, yang tidak akan dapat
kaukunjungi, meski dalam impian.
Kau boleh berusaha menyerupai mereka, tetapi jangan membuat
mereka menyerupaimu. Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
pun tidak tenggelam di masa lampau.
—Kahlil Gibran, The Prophet
Malin Kundang dikutuk ibunya menjadi batu, karena dianggap anak durhaka. Seperti yang kita tahu, Malin Kundang tidak mau mengakui ibunya sendiri lantaran malu—si ibu miskin papa, sedang si Malin kaya raya.
Saya tidak tertarik untuk menanyakan kenapa Malin Kundang tidak mau mengakui ibunya—tumpukan literatur psikologi dapat dicari untuk menemukan jawabannya. Saya lebih tertarik untuk menanyakan mengapa si ibu mengutuk anaknya sendiri menjadi batu.
So, kenapa seorang ibu sampai mengutuk anaknya sendiri hingga menjadi batu…?
Seperti umumnya cerita rakyat, kisah Malin Kundang pun membawa muatan misi tertentu yang dimaksudkan sebagai pelajaran moral—khususnya untuk anak-anak. Dalam konteks cerita Malin Kundang, dia dikutuk oleh ibunya karena dianggap anak durhaka, dan si pembuat/penutur kisah itu tentunya bermaksud mengajarkan agar anak berbakti kepada orangtuanya.
Tetapi ada satu hal kecil yang membuat cerita Malin Kundang menjadi rancu—yakni, seperti yang telah saya tanyakan tadi, mengapa ibu si Malin Kundang mengutuk anaknya menjadi batu…?
Oke, kita bisa mengajukan pelajaran moralnya. Si ibu mengutuk Malin Kundang karena dianggap durhaka. Tetapi mengapa dia harus sampai mengutuknya? Tidakkah fakta itu justru menunjukkan bahwa si ibu pun sosok yang “durhaka”? Jika misi cerita itu dimaksudkan sebagai pelajaran moral, fakta kutukan itu justru menjadikan si ibu cacat moral.
Di dalam konstruksi kisah konvensional, khususnya lagi cerita rakyat, bisa dikatakan selalu ada tokoh protagonis dan antagonis. Selalu ada si Baik dan si Jahat—dan kita pun diajarkan untuk meniru si tokoh baik dalam cerita tersebut. Nah, di dalam konteks cerita Malin Kundang, siapakah protagonis dan antagonisnya? Siapakah yang menjadi tokoh baik dan jahatnya?
Apakah Malin Kundang si tokoh jahat? Mungkin ya. Tetapi si Ibu juga tidak bisa dibilang sebagai tokoh baik. Karena, jika si Ibu memang tokoh yang baik, tentunya dia tidak akan mengutuk anaknya sendiri, apalagi sampai mengutuknya menjadi batu. Jika dia dimaksudkan sebagai si Baik, maka masih banyak jalan lain yang dapat dilakukannya dalam menghadapi seorang anak yang durhaka.
Kata pepatah bijak, “Kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang jalan.” Jika mengacu pada pepatah tersebut, maka ibu si Malin Kundang tidak bisa dikatakan ibu yang baik, karena dia tidak memiliki “kasih sepanjang jalan”.
Sebagaimana umumnya cerita rakyat, kisah Malin Kundang pun hidup dari rahim kebudayaan masyarakat yang melahirkannya. Meski diakui kisah ini berasal dari Sumatera Barat, tetapi konteks cerita itu (selama ini) dapat diterima oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Di negeri yang menganut kebudayaan Timur semacam Indonesia, kultur hubungan antara anak dengan orangtua memang memiliki batas yang pasti, sehingga cerita Malin Kundang pun dapat diadopsi oleh seluruh provinsi. Para orangtua bangga menceritakan kisah Malin Kundang kepada anak-anaknya, dengan harapan anak-anak mereka menjadi anak “yang tidak seperti Malin Kundang”.
Tetapi bagaimana kalau ada seorang anak yang kemudian bertanya kepada ibunya, “Bu, kalau umpama aku durhaka kepada Ibu, apakah Ibu juga akan mengutukku menjadi batu…?”
….
….
Di dalam kultur masyarakat kita—mungkin tanpa kita sadari—ada semacam doktrin diam-diam yang menyatakan bahwa “anak berutang kepada orangtuanya”. Karenanya, para orangtua pun berharap anak-anak mereka “membayar utang” itu, sebagaimana anak-anak (yang baik) pun selalu berupaya “membayar utang mereka” kepada orangtuanya. Doktrin inilah yang sesungguhnya tersembunyi di dalam kisah Malin Kundang.
Ketika Malin Kundang dikutuk ibunya menjadi batu, sesungguhnya si Ibu sedang berkata, “Nak, kau berutang kepadaku. Karena kau tidak mau membayar utangmu, maka aku mengutukmu menjadi batu.”
Setiap anak memang dituntut—bahkan diwajibkan—berbakti kepada orangtuanya. Tetapi “berbakti” dan “membayar utang” adalah dua hal yang berbeda, bahkan berbeda jauh. Betapa pun juga, seorang anak tidak akan sanggup membayar kebaikan yang telah diterimanya dari orangtua—ayah dan ibunya. Karenanya, meski sampai titik darah penghabisan sekali pun, seorang anak tidak akan mampu “membayar utang” kepada orangtuanya.
Bakti seorang anak kepada orangtua ditunjukkan dengan kepatuhan atas hal-hal baik yang diminta orangtuanya. Tetapi jika ada orangtua yang menuntut anaknya untuk melakukan hal-hal buruk, atau meminta si anak untuk melakukan sesuatu yang jelas-jelas tidak diinginkan oleh si anak, maka orangtua sedang menagih utangnya. Sekali lagi, ada perbedaan esensial antara “berbakti” dengan “berutang”.
Orang-orang sering menyatakan, “Tidak ada orangtua yang ingin menyengsarakan anaknya. Karenanya, apa pun yang diminta orangtua pada si anak pastilah baik untuk si anak.”
Really…?
Lalu bagaimana dengan ibu yang menjual anaknya demi sejumlah uang? Bagaimana dengan orangtua yang memaksa anaknya untuk melakukan sesuatu yang nyata-nyata tidak diinginkan si anak? Bagaimana dengan anak-anak yang hidup tertekan dan jauh dari kebahagiaan karena mengerjakan sesuatu berdasarkan paksaan orangtuanya? Tidakkah orangtua semacam itu sedang menuntut anak-anak mereka untuk membayar “utang”—sama seperti ibu Malin Kundang yang mengutuk anaknya menjadi batu…?
Jadi, kewajiban anak kepada orangtua adalah berbakti, dan bukan membayar utang. Bakti diberikan berdasarkan kesadaran dan ketulusan, sementara membayar utang diberikan karena keterpaksaan—langsung ataupun tak langsung.
Jika memang seorang anak memiliki “utang” di dunia ini, maka sesungguhnya utang mereka bukanlah kepada orangtuanya, tetapi kepada anak-anaknya kelak. Kita tidak memiliki utang kepada orangtua, tetapi kita berutang kepada anak-anak yang kelak kita lahirkan, yang kelak akan kita miliki. Karena, sekali lagi, jika anak dianggap “berutang” kepada orangtuanya, maka sampai napas terakhir pun seorang anak tidak akan mampu membayar utangnya.
Setiap anak tentu ingin membahagiakan orangtuanya, membuat mereka tersenyum, bahkan bangga. Tetapi, sekali lagi, itu adalah bagian dari bakti seorang anak, dan bukan tuntutan pembayaran utang.
Artinya, jika ternyata si anak tidak mampu melakukan hal itu, orangtua tidak layak mengutuknya. Karena, jika orangtua mengutuk anaknya gara-gara si anak tidak mampu memberikan apa yang diinginkannya, maka itu tak ada bedanya dengan bank atau rentenir yang menyita hak milik seorang debitur karena tak mampu membayar utang.
Anak-anak yang lahir ke dunia ini tidak minta dilahirkan—mereka lahir karena keinginan si orangtua. Karenanya, jika harus ada urusan piutang di dalam hubungan tersebut, maka orangtualah yang berutang kepada si anak, dan si anak kelak akan berutang kepada anak yang akan mereka lahirkan.
Kita semua pasti ingin memberikan lebih banyak kepada anak-anak kita kelak—lebih banyak dari yang telah kita peroleh dari orangtua kita. Begitulah aturan mainnya, begitulah aturan “utang piutangnya”.
So, jika ibu si Malin Kundang hanya berharap anaknya berbakti dan bukannya meminta anaknya membayar utang, maka tentu dia akan berkata kepada anaknya, “Nak, sebagai ibumu, aku bahagia kau sekarang telah menjadi orang hebat. Meski kau tidak mau mengakui aku sebagai ibumu, aku akan tetap berdoa untuk kebaikanmu. Kau tidak punya utang apa-apa kepadaku. Dan menyaksikanmu seperti sekarang, aku bahagia pernah memilikimu.”
Kalau saja si Ibu mau menempatkan dirinya sebagai “Ibu yang Baik” seperti itu, bisa jadi Malin Kundang berubah menjadi “Anak Manis”… dan bukannya mati membeku menjadi batu.
Saya tidak tertarik untuk menanyakan kenapa Malin Kundang tidak mau mengakui ibunya—tumpukan literatur psikologi dapat dicari untuk menemukan jawabannya. Saya lebih tertarik untuk menanyakan mengapa si ibu mengutuk anaknya sendiri menjadi batu.
So, kenapa seorang ibu sampai mengutuk anaknya sendiri hingga menjadi batu…?
Seperti umumnya cerita rakyat, kisah Malin Kundang pun membawa muatan misi tertentu yang dimaksudkan sebagai pelajaran moral—khususnya untuk anak-anak. Dalam konteks cerita Malin Kundang, dia dikutuk oleh ibunya karena dianggap anak durhaka, dan si pembuat/penutur kisah itu tentunya bermaksud mengajarkan agar anak berbakti kepada orangtuanya.
Tetapi ada satu hal kecil yang membuat cerita Malin Kundang menjadi rancu—yakni, seperti yang telah saya tanyakan tadi, mengapa ibu si Malin Kundang mengutuk anaknya menjadi batu…?
Oke, kita bisa mengajukan pelajaran moralnya. Si ibu mengutuk Malin Kundang karena dianggap durhaka. Tetapi mengapa dia harus sampai mengutuknya? Tidakkah fakta itu justru menunjukkan bahwa si ibu pun sosok yang “durhaka”? Jika misi cerita itu dimaksudkan sebagai pelajaran moral, fakta kutukan itu justru menjadikan si ibu cacat moral.
Di dalam konstruksi kisah konvensional, khususnya lagi cerita rakyat, bisa dikatakan selalu ada tokoh protagonis dan antagonis. Selalu ada si Baik dan si Jahat—dan kita pun diajarkan untuk meniru si tokoh baik dalam cerita tersebut. Nah, di dalam konteks cerita Malin Kundang, siapakah protagonis dan antagonisnya? Siapakah yang menjadi tokoh baik dan jahatnya?
Apakah Malin Kundang si tokoh jahat? Mungkin ya. Tetapi si Ibu juga tidak bisa dibilang sebagai tokoh baik. Karena, jika si Ibu memang tokoh yang baik, tentunya dia tidak akan mengutuk anaknya sendiri, apalagi sampai mengutuknya menjadi batu. Jika dia dimaksudkan sebagai si Baik, maka masih banyak jalan lain yang dapat dilakukannya dalam menghadapi seorang anak yang durhaka.
Kata pepatah bijak, “Kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang jalan.” Jika mengacu pada pepatah tersebut, maka ibu si Malin Kundang tidak bisa dikatakan ibu yang baik, karena dia tidak memiliki “kasih sepanjang jalan”.
Sebagaimana umumnya cerita rakyat, kisah Malin Kundang pun hidup dari rahim kebudayaan masyarakat yang melahirkannya. Meski diakui kisah ini berasal dari Sumatera Barat, tetapi konteks cerita itu (selama ini) dapat diterima oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Di negeri yang menganut kebudayaan Timur semacam Indonesia, kultur hubungan antara anak dengan orangtua memang memiliki batas yang pasti, sehingga cerita Malin Kundang pun dapat diadopsi oleh seluruh provinsi. Para orangtua bangga menceritakan kisah Malin Kundang kepada anak-anaknya, dengan harapan anak-anak mereka menjadi anak “yang tidak seperti Malin Kundang”.
Tetapi bagaimana kalau ada seorang anak yang kemudian bertanya kepada ibunya, “Bu, kalau umpama aku durhaka kepada Ibu, apakah Ibu juga akan mengutukku menjadi batu…?”
….
….
Di dalam kultur masyarakat kita—mungkin tanpa kita sadari—ada semacam doktrin diam-diam yang menyatakan bahwa “anak berutang kepada orangtuanya”. Karenanya, para orangtua pun berharap anak-anak mereka “membayar utang” itu, sebagaimana anak-anak (yang baik) pun selalu berupaya “membayar utang mereka” kepada orangtuanya. Doktrin inilah yang sesungguhnya tersembunyi di dalam kisah Malin Kundang.
Ketika Malin Kundang dikutuk ibunya menjadi batu, sesungguhnya si Ibu sedang berkata, “Nak, kau berutang kepadaku. Karena kau tidak mau membayar utangmu, maka aku mengutukmu menjadi batu.”
Setiap anak memang dituntut—bahkan diwajibkan—berbakti kepada orangtuanya. Tetapi “berbakti” dan “membayar utang” adalah dua hal yang berbeda, bahkan berbeda jauh. Betapa pun juga, seorang anak tidak akan sanggup membayar kebaikan yang telah diterimanya dari orangtua—ayah dan ibunya. Karenanya, meski sampai titik darah penghabisan sekali pun, seorang anak tidak akan mampu “membayar utang” kepada orangtuanya.
Bakti seorang anak kepada orangtua ditunjukkan dengan kepatuhan atas hal-hal baik yang diminta orangtuanya. Tetapi jika ada orangtua yang menuntut anaknya untuk melakukan hal-hal buruk, atau meminta si anak untuk melakukan sesuatu yang jelas-jelas tidak diinginkan oleh si anak, maka orangtua sedang menagih utangnya. Sekali lagi, ada perbedaan esensial antara “berbakti” dengan “berutang”.
Orang-orang sering menyatakan, “Tidak ada orangtua yang ingin menyengsarakan anaknya. Karenanya, apa pun yang diminta orangtua pada si anak pastilah baik untuk si anak.”
Really…?
Lalu bagaimana dengan ibu yang menjual anaknya demi sejumlah uang? Bagaimana dengan orangtua yang memaksa anaknya untuk melakukan sesuatu yang nyata-nyata tidak diinginkan si anak? Bagaimana dengan anak-anak yang hidup tertekan dan jauh dari kebahagiaan karena mengerjakan sesuatu berdasarkan paksaan orangtuanya? Tidakkah orangtua semacam itu sedang menuntut anak-anak mereka untuk membayar “utang”—sama seperti ibu Malin Kundang yang mengutuk anaknya menjadi batu…?
Jadi, kewajiban anak kepada orangtua adalah berbakti, dan bukan membayar utang. Bakti diberikan berdasarkan kesadaran dan ketulusan, sementara membayar utang diberikan karena keterpaksaan—langsung ataupun tak langsung.
Jika memang seorang anak memiliki “utang” di dunia ini, maka sesungguhnya utang mereka bukanlah kepada orangtuanya, tetapi kepada anak-anaknya kelak. Kita tidak memiliki utang kepada orangtua, tetapi kita berutang kepada anak-anak yang kelak kita lahirkan, yang kelak akan kita miliki. Karena, sekali lagi, jika anak dianggap “berutang” kepada orangtuanya, maka sampai napas terakhir pun seorang anak tidak akan mampu membayar utangnya.
Setiap anak tentu ingin membahagiakan orangtuanya, membuat mereka tersenyum, bahkan bangga. Tetapi, sekali lagi, itu adalah bagian dari bakti seorang anak, dan bukan tuntutan pembayaran utang.
Artinya, jika ternyata si anak tidak mampu melakukan hal itu, orangtua tidak layak mengutuknya. Karena, jika orangtua mengutuk anaknya gara-gara si anak tidak mampu memberikan apa yang diinginkannya, maka itu tak ada bedanya dengan bank atau rentenir yang menyita hak milik seorang debitur karena tak mampu membayar utang.
Anak-anak yang lahir ke dunia ini tidak minta dilahirkan—mereka lahir karena keinginan si orangtua. Karenanya, jika harus ada urusan piutang di dalam hubungan tersebut, maka orangtualah yang berutang kepada si anak, dan si anak kelak akan berutang kepada anak yang akan mereka lahirkan.
Kita semua pasti ingin memberikan lebih banyak kepada anak-anak kita kelak—lebih banyak dari yang telah kita peroleh dari orangtua kita. Begitulah aturan mainnya, begitulah aturan “utang piutangnya”.
So, jika ibu si Malin Kundang hanya berharap anaknya berbakti dan bukannya meminta anaknya membayar utang, maka tentu dia akan berkata kepada anaknya, “Nak, sebagai ibumu, aku bahagia kau sekarang telah menjadi orang hebat. Meski kau tidak mau mengakui aku sebagai ibumu, aku akan tetap berdoa untuk kebaikanmu. Kau tidak punya utang apa-apa kepadaku. Dan menyaksikanmu seperti sekarang, aku bahagia pernah memilikimu.”
Kalau saja si Ibu mau menempatkan dirinya sebagai “Ibu yang Baik” seperti itu, bisa jadi Malin Kundang berubah menjadi “Anak Manis”… dan bukannya mati membeku menjadi batu.