Post ini berkaitan erat dengan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.
Sampai suatu hari, majalah HAI menerbitkan liputan mengenai Eddie Brickel. Di dalam laporan yang ditulis HAI tersebut, secara jelas dan nyata wartawan HAI menyebutkan bahwa jenis kelamin Eddie Brickel adalah wanita. Saya membawa dan menunjukkan majalah HAI edisi itu kepada kawan saya, untuk membuktikan bahwa saya benar dan dia salah.
Dan, coba tebak, apa yang terjadi…?
Kawan saya tetap tidak mau mengakui kesalahannya…!!!
Dia tetap bersikukuh bahwa Eddie Brickel seorang laki-laki, dan dia bahkan menyatakan bisa saja wartawan majalah HAI itu keliru atau salah tulis.
Coba lihat, bahkan setelah bukti yang kuat dipaparkan dan diperlihatkan pun, orang yang berdebat tidak mau mengakui kesalahan atau kekeliruannya. Mengapa? Karena ini menyangkut ego—rasa penting diri.
Ketika orang di dalam suatu perdebatan menyatakan, “Inilah yang benar!” maka sampai kapan pun dia tidak akan peduli dengan kebenaran versi lain yang dikatakan orang lain. Mengapa? Karena jika dia mengakui bahwa dia salah, maka ego dan rasa penting dirinya akan terluka.
Seperti yang dilakukan kawan saya di atas tadi—dia tetap memegang teguh kesalahannya, meski kesalahan itu nyata-nyata salah. Artinya, meski saya jelas-jelas benar dan artinya saya memenangkan perdebatan, tetapi hakikatnya saya tidak memenangkan apa pun. Saya tidak merasa menang saat itu, bahkan sejujurnya saya justru merasa kalah.
Sekali lagi, itu pengalaman bodoh di masa remaja. Tetapi rupanya pengalaman bodoh itu tetap juga belum mampu menyadarkan diri saya. Ketika kuliah, saya masih juga membawa kebodohan itu, dan kembali melakukan kebodohan yang sama!
Kampus tempat saya kuliah menggunakan model pembelajaran student center, sehingga hampir seluruh aktivitas belajar dilakukan oleh mahasiswa dengan sarana makalah, sementara dosen hanya berperan sebagai pembimbing atau fasilitator.
Nah, setiap kali suatu mata kuliah diadakan, dan makalah dipresentasikan oleh suatu kelompok yang telah ditunjuk, semua mahasiswa di kelas akan membuka “kitabnya” masing-masing. Begitu pula saya. Ambisi masing-masing mahasiswa waktu itu adalah mengajukan argumentasi sekuat-kuatnya untuk mematahkan seluruh teori yang tertulis dalam makalah yang sedang dipresentasikan.
Jadi begitulah. Setiap kali makalah dipresentasikan, dan sebuah topik dilontarkan, maka yang terjadi selanjutnya adalah pertarungan teori yang begitu kejam. Ruang kuliah berubah menjadi arena gladiator, dan perbedaan persepsi menjadi perang yang berdarah-darah. Bodohnya, saya termasuk salah satu gladiator dalam pertarungan itu!
Semua mahasiswa yang bertarung dalam acara presentasi itu ingin menang—begitu pula saya. Akibatnya, hakikat presentasi yang seharusnya untuk berdiskusi jadi berubah menjadi sarana perdebatan. Dan kemudian, ketika sesi presentasi dianggap selesai karena jam kuliah sudah berakhir, siapakah yang kemudian menjadi pemenang…? Tidak ada!
Dalam beberapa kesempatan, saya memang (merasa) berhasil menghancur-leburkan semua teori yang tertulis dalam makalah yang dipresentasikan. Tetapi, saya pun menyadari, bahwa meski begitu pun saya tidak merasa menang. Saya tahu para mahasiswa yang saya kalahkan dalam presentasi itu sakit hati, dan kesadaran akan hal itu sama sekali tak bisa menjadikan saya merasa menang apalagi senang.
Jadi beginilah aturan yang terjadi di dalam perdebatan: Kalau kau kalah, kau akan sakit hati terhadap lawan debatmu, dan itu membuatmu kalah dua kali. Sebaliknya, kalau kau menang, lawan debatmu akan sakit hati kepadamu, dan kenyataan itu sama sekali tak bisa dijadikan sebagai kemenanganmu. Ayolah, kemenangan apa yang bisa kita rayakan jika untuk menang itu harus menyakiti perasaan orang lain…?
Ketika saya mulai menyadari kenyataan itu, saya pun bersumpah pada diri sendiri untuk tidak akan lagi berdebat di mana pun, kapan pun, dengan siapa pun. Karena perdebatan tidak akan menjadikan saya pemenang, tak peduli sebanyak apa pun lawan yang bisa saya kalahkan.
Jadi, bagaimana cara memenangkan perdebatan di mana pun, kapan pun, dengan siapa pun…? Jawabannya menjadi jelas, yakni tidak berdebat!
Ketika orang berdebat, dia membawa keyakinan-keyakinannya, persepsi-persepsinya, bahkan asumsi dan khayalan-khayalannya. Ketika orang berdebat, dia mempertaruhkan egonya, rasa pentingnya, bahkan martabat dan harga dirinya. Karenanya, sangat sulit untuk dapat menemukan orang yang mau mengalah dalam perdebatan, karena itu sama saja mempertaruhkan “nama baik” dirinya.
Ingat, perdebatan tidak sama dengan diskusi. Jika diskusi bertujuan untuk menemukan titik temu, maka perdebatan justru sebaliknya—ia sarana untuk memecah-belah. Diskusi dilakukan dengan kerendahan hati, sementara perdebatan dilakukan dengan keangkuhan dan tinggi hati. Diskusi dilakukan untuk mencari kebenaran bersama, sedang perdebatan dilakukan untuk menunjukkan kebenaran diri sendiri.
Perdebatan itu kontraproduktif—khususnya lagi perdebatan untuk soal-soal yang seharusnya tidak perlu lagi diperdebatkan.
Dale Carnegie, pakar komunikasi terbesar yang pernah dimiliki oleh sejarah, menyatakan, “Orang bodoh menganggap berdebat itu hebat. Orang bijak tahu berdebat itu tolol!”
Sedangkan Socrates, filsuf agung dari Athena, menyatakan, “Kalau kau berdebat dengan orang pintar, kau tidak akan menjadi pintar. Kalau kau berdebat dengan orang tolol, kau akan sama-sama tolol!”
Hari ini, ketika saya menulis catatan ini, saya ingin menyatakan kepada siapa pun bahwa mencari kebenaran itu sejuta kali lebih baik dibanding mencari kesalahan. Dan mencari kebenaran tidak bisa dilakukan melalui perdebatan. Ketika berdebat, kita hanya mengenal kebenaran diri sendiri yang relatif. Ketika berdebat, kita tidak lagi menghiraukan mana yang benar, tetapi hanya berambisi menjadi pemenang sekaligus berupaya untuk dapat mengalahkan.
Jangan berdebat—itulah cara paling mudah untuk memenangkan perdebatan di mana pun, kapan pun, dengan siapa pun.
Orang-orang bijak tidak berdebat—mereka menghargai pendapat orang lain, keyakinan orang lain, tanpa usaha untuk menyalahkan, selain berupaya memahami dan memaklumi. Kita semua memiliki keyakinan pribadi, dan tidak ingin satu orang pun di muka bumi ini menyalahkan keyakinan kita. Begitu pula dengan orang lain.
Mungkin di antara kita ada yang berpikir, “Tetapi jika orang itu jelas-jelas salah, kita perlu mengubahnya, kan?”
Saya setuju. Keinginan untuk dapat mengubah orang lain adalah niat mulia, dan keinginan yang sangat baik. Tetapi, saya pun setuju bahwa keinginan untuk mengubah diri sendiri adalah niat yang seribu kali lebih mulia dan seribu kali lebih baik. Jika ada orang yang harus diubah di dunia ini, maka orang pertama yang harus diubah adalah diri kita sendiri.
***
Sampai suatu hari, majalah HAI menerbitkan liputan mengenai Eddie Brickel. Di dalam laporan yang ditulis HAI tersebut, secara jelas dan nyata wartawan HAI menyebutkan bahwa jenis kelamin Eddie Brickel adalah wanita. Saya membawa dan menunjukkan majalah HAI edisi itu kepada kawan saya, untuk membuktikan bahwa saya benar dan dia salah.
Dan, coba tebak, apa yang terjadi…?
Kawan saya tetap tidak mau mengakui kesalahannya…!!!
Dia tetap bersikukuh bahwa Eddie Brickel seorang laki-laki, dan dia bahkan menyatakan bisa saja wartawan majalah HAI itu keliru atau salah tulis.
Coba lihat, bahkan setelah bukti yang kuat dipaparkan dan diperlihatkan pun, orang yang berdebat tidak mau mengakui kesalahan atau kekeliruannya. Mengapa? Karena ini menyangkut ego—rasa penting diri.
Ketika orang di dalam suatu perdebatan menyatakan, “Inilah yang benar!” maka sampai kapan pun dia tidak akan peduli dengan kebenaran versi lain yang dikatakan orang lain. Mengapa? Karena jika dia mengakui bahwa dia salah, maka ego dan rasa penting dirinya akan terluka.
Seperti yang dilakukan kawan saya di atas tadi—dia tetap memegang teguh kesalahannya, meski kesalahan itu nyata-nyata salah. Artinya, meski saya jelas-jelas benar dan artinya saya memenangkan perdebatan, tetapi hakikatnya saya tidak memenangkan apa pun. Saya tidak merasa menang saat itu, bahkan sejujurnya saya justru merasa kalah.
Sekali lagi, itu pengalaman bodoh di masa remaja. Tetapi rupanya pengalaman bodoh itu tetap juga belum mampu menyadarkan diri saya. Ketika kuliah, saya masih juga membawa kebodohan itu, dan kembali melakukan kebodohan yang sama!
Kampus tempat saya kuliah menggunakan model pembelajaran student center, sehingga hampir seluruh aktivitas belajar dilakukan oleh mahasiswa dengan sarana makalah, sementara dosen hanya berperan sebagai pembimbing atau fasilitator.
Nah, setiap kali suatu mata kuliah diadakan, dan makalah dipresentasikan oleh suatu kelompok yang telah ditunjuk, semua mahasiswa di kelas akan membuka “kitabnya” masing-masing. Begitu pula saya. Ambisi masing-masing mahasiswa waktu itu adalah mengajukan argumentasi sekuat-kuatnya untuk mematahkan seluruh teori yang tertulis dalam makalah yang sedang dipresentasikan.
Jadi begitulah. Setiap kali makalah dipresentasikan, dan sebuah topik dilontarkan, maka yang terjadi selanjutnya adalah pertarungan teori yang begitu kejam. Ruang kuliah berubah menjadi arena gladiator, dan perbedaan persepsi menjadi perang yang berdarah-darah. Bodohnya, saya termasuk salah satu gladiator dalam pertarungan itu!
Semua mahasiswa yang bertarung dalam acara presentasi itu ingin menang—begitu pula saya. Akibatnya, hakikat presentasi yang seharusnya untuk berdiskusi jadi berubah menjadi sarana perdebatan. Dan kemudian, ketika sesi presentasi dianggap selesai karena jam kuliah sudah berakhir, siapakah yang kemudian menjadi pemenang…? Tidak ada!
Dalam beberapa kesempatan, saya memang (merasa) berhasil menghancur-leburkan semua teori yang tertulis dalam makalah yang dipresentasikan. Tetapi, saya pun menyadari, bahwa meski begitu pun saya tidak merasa menang. Saya tahu para mahasiswa yang saya kalahkan dalam presentasi itu sakit hati, dan kesadaran akan hal itu sama sekali tak bisa menjadikan saya merasa menang apalagi senang.
Jadi beginilah aturan yang terjadi di dalam perdebatan: Kalau kau kalah, kau akan sakit hati terhadap lawan debatmu, dan itu membuatmu kalah dua kali. Sebaliknya, kalau kau menang, lawan debatmu akan sakit hati kepadamu, dan kenyataan itu sama sekali tak bisa dijadikan sebagai kemenanganmu. Ayolah, kemenangan apa yang bisa kita rayakan jika untuk menang itu harus menyakiti perasaan orang lain…?
Ketika saya mulai menyadari kenyataan itu, saya pun bersumpah pada diri sendiri untuk tidak akan lagi berdebat di mana pun, kapan pun, dengan siapa pun. Karena perdebatan tidak akan menjadikan saya pemenang, tak peduli sebanyak apa pun lawan yang bisa saya kalahkan.
Jadi, bagaimana cara memenangkan perdebatan di mana pun, kapan pun, dengan siapa pun…? Jawabannya menjadi jelas, yakni tidak berdebat!
Ketika orang berdebat, dia membawa keyakinan-keyakinannya, persepsi-persepsinya, bahkan asumsi dan khayalan-khayalannya. Ketika orang berdebat, dia mempertaruhkan egonya, rasa pentingnya, bahkan martabat dan harga dirinya. Karenanya, sangat sulit untuk dapat menemukan orang yang mau mengalah dalam perdebatan, karena itu sama saja mempertaruhkan “nama baik” dirinya.
Ingat, perdebatan tidak sama dengan diskusi. Jika diskusi bertujuan untuk menemukan titik temu, maka perdebatan justru sebaliknya—ia sarana untuk memecah-belah. Diskusi dilakukan dengan kerendahan hati, sementara perdebatan dilakukan dengan keangkuhan dan tinggi hati. Diskusi dilakukan untuk mencari kebenaran bersama, sedang perdebatan dilakukan untuk menunjukkan kebenaran diri sendiri.
Perdebatan itu kontraproduktif—khususnya lagi perdebatan untuk soal-soal yang seharusnya tidak perlu lagi diperdebatkan.
Dale Carnegie, pakar komunikasi terbesar yang pernah dimiliki oleh sejarah, menyatakan, “Orang bodoh menganggap berdebat itu hebat. Orang bijak tahu berdebat itu tolol!”
Sedangkan Socrates, filsuf agung dari Athena, menyatakan, “Kalau kau berdebat dengan orang pintar, kau tidak akan menjadi pintar. Kalau kau berdebat dengan orang tolol, kau akan sama-sama tolol!”
Hari ini, ketika saya menulis catatan ini, saya ingin menyatakan kepada siapa pun bahwa mencari kebenaran itu sejuta kali lebih baik dibanding mencari kesalahan. Dan mencari kebenaran tidak bisa dilakukan melalui perdebatan. Ketika berdebat, kita hanya mengenal kebenaran diri sendiri yang relatif. Ketika berdebat, kita tidak lagi menghiraukan mana yang benar, tetapi hanya berambisi menjadi pemenang sekaligus berupaya untuk dapat mengalahkan.
Jangan berdebat—itulah cara paling mudah untuk memenangkan perdebatan di mana pun, kapan pun, dengan siapa pun.
Orang-orang bijak tidak berdebat—mereka menghargai pendapat orang lain, keyakinan orang lain, tanpa usaha untuk menyalahkan, selain berupaya memahami dan memaklumi. Kita semua memiliki keyakinan pribadi, dan tidak ingin satu orang pun di muka bumi ini menyalahkan keyakinan kita. Begitu pula dengan orang lain.
Mungkin di antara kita ada yang berpikir, “Tetapi jika orang itu jelas-jelas salah, kita perlu mengubahnya, kan?”
Saya setuju. Keinginan untuk dapat mengubah orang lain adalah niat mulia, dan keinginan yang sangat baik. Tetapi, saya pun setuju bahwa keinginan untuk mengubah diri sendiri adalah niat yang seribu kali lebih mulia dan seribu kali lebih baik. Jika ada orang yang harus diubah di dunia ini, maka orang pertama yang harus diubah adalah diri kita sendiri.